Redaksi, Vox NTT-Pada dasarnya, senyum merupakan suatu bentuk ekspresi hati yang lugu dengan kepolosan jiwa. Senyum itu merintis tawaran, senyum itu menggalang perasaan, senyum itu membangun ikatan.
Namun apa jadinya ketika senyum menjadi alat politik kekuasaan?
Trend politik hari ini justru menegaskan bahwa senyum telah menjadi alat politik dalam setiap kali pesta demokrasi. Senyum politik dan politik senyum hampir selalu berkolaborasi menghiasi panggung politik demi mendulang suara rakyat.
Menjelang pilkada serentak 2018, fenomena ini seperti peristiwa musiman yang kembali bersemi di jagat public NTT. Ruang public, baik yang nyata maupun yang maya menjadi semakin ramai berseliwuran senyum para bakal calon yang bertebaran dimana-mana.
Di media sosial (medsos) misalnya, lalulintas kampanye para kandidat makin padat terbaca. Seperti pasar senyum, mereka saling menyalip, menjual senyum termanis. Senyum para calon terpampang apik hampir di setiap grup facebook, funpage, beranda, dan akun-akun medsos tim sukses.
Tak ayal, pilihan politik kaum awam pun terseret dalam giringan politik senyum. Persepsi masyarakat tentang kampanye politik pun menjadi sangat dangkal. Seakan-akan dengan senyum saja, seorang calon bisa mengatasi berbagai masalah ketimpangan sosial yang telah mengakar selama bertahun-tahun di daerah ini.
Akibat arus kampanye yang dimainkan secara massif itu, masyarakat pemilih mendadak lupa ingatan bahwa siklus senyum yang sama tak kunjung membawa kebaikan bersama. Masyarakat seakan-akan begitu percaya bahwa seorang calon yang sering senyum mencerminkan keramahan, rendah hati, dan ketulusan.
Kalau memang anggapan itu benar, mengapa provinsi tercinta ini masih miskin bahkan terus miskin? Di mana pemimpin-pemimpin yang dulunya membawa senyum dan harapan itu?
Senyum politik memang telah terbukti cukup ampuh menggoda rakyat apalagi jika dipoles dengan program abal-abal dan retorika politik. Senyum dalam waktu yang singkat memang berhasil mengumbar harapan namun menjadi bencana jika kita memilih orang yang bertopeng senyum, namun berhati bandit.
Karena itu, kita seharusnya segera sadar bahwa sekian lama provinsi ini terjebak dalam pilihan politik yang dangkal. Akibatnya pemimpin yang dilahirkan juga lebih cerdik mengumbar senyum dari pada program nyata seperti mengentas kemiskinan, kebodohan, masalah kemanusiaan, hukum dan sosial-budaya.
Melampaui Senyum
Bias kebijakan politik itu sendiri sangat menentukan kebutuhan hidup yang paling esensial seperti sandang, pangan dan papan. Dari dapur sampai ruang tamu, dari ranjang sampai ke ruang kerja.
Fakta ini seharusnya menyadarkan kita bahwa selama ini ada yang salah dari cara kita memilih. Pertanyaanya mendasarnya; mengapa dari pilkada ke pilkada kita belum berhasil melahirkan pemimpin yang membawa perubahan?
Kesalahan fatal yang terjadi selama ini justru menampilkan kedangkalan daya kritis dalam menentukan pilihan politik. Masyarakat melalui konstruksi kampanye sengaja dibuat untuk tetap terlena dalam zona nyaman agar tidak kritis membaca makna di balik senyum para politisi.
Sungguh naïf rasanya jika menilai baik-buruknya seorang calon hanya dari factor senyum semata tanpa mempertimbangkan integritas dan komitmen yang lebih dibutuhkan saat ini.
Jika mau provinsi ini keluar dari kemiskinan, kobodohan dan degradasi kemanusiaan, maka sebelum menelan pil senyum para calon, kita harus mengambil jarak terlebih dahulu untuk menilai dengan tenang rekam jejak, latar belakang dan komitmenya.
Seorang politisi yang hanya lihai mengumbar senyum sebagai modal politik harus dicurigai sebagai bentuk lips service dan narsisme belaka. Dia tak punya modal lain dalam dirinya selain mengumbar senyum dan retorika. Tipikal senyuman ini sebenarnya lebih vulgar sarat kepentingan. Di sini berlaku hukum pencitraan biar derajatnya melejit di mata public. Karena itu, sebelum terlena, Waspadalah! (IK/VoN).