Cerpen Eto Kwuta
(Catatan Redaksi Oleh Hengky Ola Sura)
Di setiap hari-hari ini, ada seorang yang muncul dan lenyap seperti merayap dalam gelap yang pekat dan tiba-tiba aku merasa malam menjadi lebih pekat. Tak kusangka kalau seorang itu lebih tahu dan memahami aku yang sudah dibentuknya sejak dari janin kecil di dalam rahim ibu, tapi ia membiarkan aku merana, memerangi malam yang sudah menjadi lebih pekat ini.
Di sebuah balkon, aku berdiri melihat ke luar. Selimut malam masih pekat membentang jauh ke depan. Adapun sebuah kota di depan bola mataku dengan lampu-lampu yang biasanya mengeluarkan cahaya terang kerlap-kerlip di malam hari, tapi rupanya kota itu sedang tidur atau mati. Itu kota karam yang mulai tercium pengapnya, kala seorang itu hanya muncul dan lenyap seperti merayap dalam gelap malam.
“Kamu sendirian di balkon. Menunggu siapa?” tanya seorang pria yang bekerja di surat kabar nasional.
“Sedang tunggu seseorang yang sukanya muncul dan lenyap,” kataku.
“Yang seorang itu rupanya tak mau bertemu denganmu, siapa ya?”
“Seperti yang kau tahu, ia sedang ke kota,” jawabku seperlunya. Si wartawan terkekeh. Ia merasa cocok bicara denganku, katanya.
“Oh ya, dia pasti sukanya hidup dan mati, ‘kan?”
“Mana mungkin kutahu,” jawabku lagi. Kami pun bercakap-cakap tentang seorang yang sedang menuju kota. Dia yang suka jalan-jalan ke luar. Pergi dan pulang, hilang dan muncul.
“Ada apa denganmu? Kamu tampak tak ingin jika dia datang?”
“Siapa?”
“Tuhan, ‘kan?” jawabnya tidak meleset. Kami masih berdiri di atas balkon sebuah gereja yang terletak di bukit. Percakapan kecil baru saja dimulai. Aku memang merasa akhir-akhir ini sebaiknya melakukan tindakan yang bodoh. Bunuh diri pun bisa. Sangat sederhana sekali tindakan itu. Tapi, apa gunanya hidup kalau setiap hari bau tubuhnya tercium, menarik aku ke masa lalu, menggali kuburanku sendiri, lalu mencampakkan aku ke dasarnya. Begitukah yang namanya kehilangan?
Dulu, yang merasa kehilangan itu hanyalah orang yang pulang dari medan perang. Ketika pecah Perang Dunia II, ribuan relawan terjun langsung untuk mati dan hidup lagi. Sekarang, garis tanganku ditakdirkan supaya Maria yang tak lagi mencintaiku pun perlahan membunuh aku dengan caranya. Cara diam, tapi kejam. Ia diam dan aku terus memburunya dalam seorang yang selalu saja ke luar kota.
“Kapan baru ada jawaban? Kamu yang membunuh aku, bukan dia. Bukan dia yang membunuh aku, ‘kan?” kuteriak dengan keras dari balkon. Suaraku membentur dinding-dinding malam yang semakin pengap. Kota karam masih jauh di sana. Ah, mestinya kulupakan kesedihan ini, juga doa-doa yang tak juga sunyi seperti Tuhan. Apalagi dingin merasuk di puncak bukit seolah kami berada di belahan dunia yang jauh ke kutub itu.
“Bro, baiknya kita bercerita tentang vampire…., saya lebih suka menulis berita tentang kematian yang berdarah-darah, atau makhluk apa pun yang lebih ganjil, sebut saja kerajaan vampire melawan kerajaan serigala,” ungkap si wartawan.
“Apa maummu?”
“Cuma menunggu ada kejadian luar biasa, lalu saya bakal meliputnya. 5W1H akan mendapat tempat dalam berita baru. Saya mungkin menunggumu bunuh diri, hehehehe,” katanya ceplas-ceplos. Maklum, wartawan biasanya rajin dan cerdik dalam mengobrak-abrik kata dan membuat berita. Aku mendengarnya bicara seputar vampire dan makhluk ganjil. Ia sungguh menyukai cerita itu. Malahan, dirinya ingin menjadi keduanya, kalau Tuhan mau, katanya begitu. Dengan seluruh ekspresi dan pembawaan seorang wartawan, ia mengambil gambar diriku. Ia menginginkan aku cukup menjadi seorang model, sumber inspirasi dan tokoh utama dalam ceritanya tentang vampire.
“Itu artinya, aku mau jadi antagonisnya,” kataku.
“Jangan, kamu perankan yang protagonis,” bujuk si wartawan dengan ramah.
“Tidak. Aku mau jadi vampire saja. Biar pencipta vampire itu yang protagonis,” kataku sambil melihat kemungkinan menang melawan si pencipta vampire seperti aku ini.
“Sob, kamu membenci-Nya? Gara-gara perempuan yang pergi dari hidupmu, lalu semuanya tampak seperti Tuhan lebih suka hilang bersama sang perempuan itu. Saya terharu. Kita monoteis, bro, kita samawi, dari langit itu, kan?” ia mempertanyakan keyakinanku di malam hari yang sudah sangat pekat sekali.
“Bro, aku akan menjadi vampire yang mati said di tengah kota Jakarta dalam minggu ini. Siap diri, liput aku dari awal sampai akhir, biar Amerika, Rusia, dan China mengetahui, aku laki-laki theis tapi sekarang atheis,” kataku dengan emosi yang semakin tak lagi terkontrol. Amarahku meledak seperti ketika aku meledakkan bom di pulau Dewata, dan aku mau mengulang lagi. Tempat yang pas untuk melancarkan aksiku ialah kompleks perumahan pak Ahok. Biar orang seperti dia juga mengalami kehilangan seperti aku. Pak Ahok kehilangan keluarga dan aku sudah kehilangan pacar.
“Tidak apa-apa bro, saya siap melayani kamu; hanya saja saya tak cukup yakin orang seperti kamu, kita sama-sama Samawi, tapi kok kamu tega begitu sih! Kehilangan yang kamu rasakan itu tidak berbentuk lagi,” kata si wartawan.
Lalu, aku menegaskan bahwa yang tidak berbentuk itu sebenarnya kosong, tidak punya isi, tapi aku punya kehilangan. Kemarin, di kampung Melayu sudah terbukti. Aku juga kehilangan saudaraku yang diledak-ledakan seperti binatang. Lalu, ke mana Tuhan? Ia terus saja muncul dan lenyap seperti ular, seperti ular, Ia terus merayap di balkon ini. Bahkan, merayap di dalam nadiku.
Kita bagaikan orang dungu yang menunggu waktu menghentikan kita. Sama-sama punya Pancasila, tapi masih saja bilang rubah saja Pancasila! Dan, karena ketegaran hati orang-orang yang kehilangan seperti aku, maka aku mau menggantikan sila pertama dengan ke-tuan-an yang maha esa. Itu lebih pas dan tepat sasar.
**
Kami masih bergelut dengan merencanakan sebuah perang. Perang melawan kehilangan sekaligus kehilangan dalam berperang. Aku akan memberi wartawan sebuah kehidupan yang bahagia dan aku juga pasti bahagia kerana memilih mati said. Si wartawan merasa bangga karena aku bisa memberinya berita yang aktual, membuatnya terkenal, nanti bila sudah kuledak-ledakan kota Jakarta.
Dia, si wartawan tampak tersenyum. Malam yang pengap oleh bau kematian terus mengepul di sekitar kami. Aku pun mencium sebentuk bau yang tidak asing. Bau yang sering membuatku terlena dan sebisa mungkin mengalah pada keadaan sekarang ini. Bau itu persis seperti harumnya parfum milik Maria, seorang yang tiba-tiba saja hilang dan muncul seperti bau badan Tuhan yang dipercayai oleh aku yang Samawi. Bau bajunya, keteknya, ya, bau tubuhnya yang kencang oleh karena ia sudah membusuk di dalam kepalaku.
Di kepalaku, malam itu, kami mengumpulkan batu-batu untuk menggali kuburan baru bagi semua yang belum pernah merasakan kecemasan dan kehilangan yang dahsyat. Di atas balkon yang dingin nan sesak, aku tahu Maria duduk tertawa di relung malam itu, di rumahnya yang sunyi tanpa aku. Ia berharap aku segera terbang ke Jakarta dan membuat sejarah terulang lagi. Sejarah yang sebaiknya, jangan sekali-kali kami lupakan, karena kami lebih bahagia membuat Tuhan tertawa dan menangis oleh karena perang.*
Lamahora-Lembata, Minggu, 04 Juni 2017
Teruntuk yang hilang dan yang hidup.
Terinspirasi dari puisi terbaik Indonesia karya Sunlie Thomas Alexander berjudul “Litani Kecemasan”.
Kehilangan yang Asing
Catatan Redaksi Oleh Hengky Ola Sura-Redaksi Seni Budaya Voxntt.com
Litani Kehilangan karya Eto Kwuta kali ini buth pembacaan yang ketat. Jika dibaca mengalir saja maka yang ada dan hidup dalam benak pembaca adalah semacam rasa asing. Apa sih maksud cerpen ini? Percakapan dengan wartawan akhirnya membawa tokoh aku dalam cerpen ini lebih pada rasa frustrasi kehilangan seorang perempuan bernama Maria. Tokoh wartawan dalam cerpen Eto bisa jadi merujuk pada wartawan investigasi yang menulis kisah reportasenya dengan sangat detail dan panjang. Sosok si Aku dan wartawan dalam cerpen ini adalah tipikal orang-orang aneh yang model diskusi mereka saja boleh dibilang berkelas untuk kalangan mereka saja. Diskusi tentang paham ketuhanan juga tentang ateis jadi tema pokok untuk membahasakan kehilangan seorang pujaan hati yang dipunyai tokoh Aku. Jika saja Eto lebih menukik dengan memfokuskan cerita kehilangan perempuan pujaan hati lalu mengeksplorasi rasa kehilangan dengan rencana tindakan anarkis atau semacam sebuah tragedi kehilangan lebih besar dengan mengorbankan banyak orang maka pasti lebih dramatis. Atau bisa jadi mati sahid yang Eto ingin ciptakan mungkin lebih dahsyat bagi pembacaan semua yang menikmati cerpennya.
Sayangnya Eto justru lebih fokus pada semacam cerita seputar bom Bali, tentang Ahok yang hemat saya kurang terlalu menggigit dalam relung juga imaginasi pembaca. Litani Kehilangan seperti yang dikisahkan Eto kali ini kurang sreg tinggal dalam hati dan pikiran pembaca karena secara heuristik dan hermeuneutik kurang memberi makna juga kesan yang mendalam.
Pada halnya dari judul cerpen saja saya kira pembaca musti senantiasa dihantar pada rasa dug-dag akan kehilangan macam apa yang hendak dibawa Eto kepada pembaca. Cerpen macam ini jika plot, alur, penokohan juga setingnya didalami dengan membiarkan cerita bercerita maka kehilangan yang dimiliki si Aku bisa jadi milik semua yang membaca. Jika tidak maka yang terjadi adalah pembaca bisa jadi paham tentang kehilangan itu tapi bisa juga bingung dan merasa ini kehilangan si Aku yang asing.***