Redaksi, Vox NTT-Beberapa hari belakang ini, publik dikejutkan dengan aksi penutupan lokasi Galian C oleh pihak Polres Manggarai.
Penutupan lokasi tambang pasir itu terutama di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur (Matim). Dua kabupaten itu merupakan wilayah kewenangan Polres Manggarai.
Bahkan, tidak hanya menutup lokasi Galian C, polisi juga tidak tanggung-tanggung menahan dan menetapkan tersangka sejumlah pemilik pasir.
Di balik aksi penutupan dan penahanan warga tersebut, polisi berdalil aktivitas penambangan pasir itu belum mengantongi izin dan diduga melanggar amanah UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Ada Upaya Pembiaran
Bukan pengetahuan baru, UU Minerba itu sudah diberlakukan sejak tahun 2009 lalu. Sayangnya, dalam rentang waktu dari 2009-2017, Negara melegalkan aktivitias ilegal di sejumlah lokasi tambang pasir di Mangarai dan Matim.
Pertanyaan yang harus dimunculkan ialah “Dari dulu polisi kemana’’?
Beberapa kabar beredar, Pemerintah Daerah (Pemda) ikut melegalkan yakni sejumlah proyek pembangunan Negara menetapkan spesifikasi material lokal seperti pasir dan krikil dari beberapa tempat Galian C yang sudah ditutup polisi itu.
Proyek-proyek pembangunan APBD sering menggunakan pasir dari Wae Reno, Bondo, Wae Lengkas, dan lain-lain di Manggarai dan Matim.
Tak hanya itu, pemerintah juga selama ini kerap menagih retribusi kepada mobil-mobil pengangkut pasir.
Sebelum penerapan UU Pemerintah Daerah Nomor 23 Tahun 2014, yang salah satunya mengamanatkan urusan pertambangan ada di pemerintah provinsi, institusi pemerintah di kabupaten Manggarai dan Matim rupanya masih melanggengkan aktivitas penambangan pasir ilegal.
Buktinya aktivitas Galian C terus dibiarkan, kendati UU Minerba sudah diterapkan sejak tahun 2009 lalu.
Dengan begitu, maka tidak heran jika rakyat yang dengan keterbatasan pengetahuannya masih menganggap bahwa aktivitas mereka tidak sedang melawan hukum. Yang mereka tau hanya, pekerjaan menggali pasir adalah untuk permenuhan kebutuhan ekonomi keluarga.
Pasca penetapan tersangka sejumlah pemilik pasir oleh Polres Manggarai, wajar masyarakat geram. Sebab, seharusnya setiap penyelenggara Negara berkewajiban memberikan penyuluhan hukum . Hal ini tentu sebagai bagian dari proses edukasi dan pembudayaan hukum.
Seharusnya pula, polisi tidak gegabah menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure), tak terkecuali petani yang tak lulus sekolah dasar, atau warga yang tinggal di pedalaman.
Penerapan hukum hekekatnya membawa konsekwensi bagi pemerintah. Setiap aparat pemerintah berkewajiban menyampaikan adanya hukum atau peraturan tertentu kepada masyarakat. Kalau warga yang tak melek hukum lantas diseret ke pengadilan padahal ia benar-benar tak tahu hukum, aparat penyelenggara Negara juga mestinya ikut merasa bersalah.
Penutupan Galian C Berdampak Sistemik
Penutupan lokasi Galian C di Manggarai dan Matim telah berdampak sistemik bagi roda kehidupan di dua kabupaten itu.
Hal tersebut terutama karena penegakan hukum (law enforcement) atas nama UU Minerba telah mengabaikan aspek keadilan dan aspek ekonomi.
Aspek keadilan, misalnya, mengapa dengan cepat polisi berasumsi bahwa para pekerja tambang pasir adalah penjahat sehingga berujung di balik jeruji besi? Mengapa pula aktivitas pertambangan pasir lainnya di Manggarai dan Matim belum ditutup oleh polisi?
Di titik ini, polisi masih belum sepenuh hati menerapkan hukum dengan mengabaikan aspek keadilan.
Padahal tujuan akhir dari penegakan hukum adalah keadilan. Apalagi, penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum.
Realita penegakan hukum hanya di tempat-tempat tertentu saja oleh Polres Manggarai, sudah pasti mencederai hati rakyat kecil. Itu terutama bagi warga yang sudah ditahan oleh polisi.
Mengabaikan aspek keadilan ini tentu bisa dinilai bahwa polisi tidak mendengar ratapan rakyat kecil. Di satu sisi, ada aktivitas pertambangan pasir ‘ilegal’ yang masih beroperasi, di lain sisi ada warga yang sudah mendekam di balik jeruji besi hanya karena melakukan aktivitas yang sama.
Selanjutnya aspek ekonomi. Dalam penegakan hukum yang berujung pada penutupan lokasi Galian C di Manggarai ternyata sudah berdampak di bidang ekonomi.
Bupati Manggarai, Deno Kamelus misalnya, sudah mengakui bahwa pasca penutupan lokasi tambang pasir di Wae Reno Desa Ranaka Kecamatan Wae Ri’i pada 18 Agustus lalu, telah berdampak pada proyek pembangunan pemerintah.
Menurut dia, sejak penutupan itu sejumlah proyek pemerintah kabupaten Manggarai terhenti lantaran ketiadaan material lokal seperti pasir dan batu. (Baca: Florespost.co, 31 Agustus 2017).
Tak hanya berdampak pada proyek pembangunan pemerintah, ekonomi warga yang kesehariannya diperoleh dari aktivitas penambangan pasir sudah pasti terganggu. Belum lagi keluarga mereka menjerit lantaran matapencaharian sudah ditutup.
Solusi
Melihat kemelut dan dampak tersebut, solusi yang ditawarkan ialah pemerintah, pihak penegak hukum, masyarakat, dan berbagai stakeholder lainnya segera duduk bersama dan saling berkoordinasi.
Selain membahas soal penegakan hukum yang adil bagi warga yang sudah ditahan, juga membahas langkah solutif lainnya.
Koordinasi tersebut tentu diharapkan agar bermuara pada aktivitas penambangan pasir harus sesegera mungkin mendapatkan izinan.
Penyelenggara Negara segera mendorong pemilik segera mengurus izin, bukan malah menempatkan mereka dalam perasaan takut kehilangan pekerjaan. Apalagi, jika warga yang tak berdaya itu bertahan lama di balik jeruji besi hanya karena pelanggaran administrasi. Toh, mereka bukan sekelas koruptor.
Selain itu, koordinasi yang dimaksudkan agar aktivitas pembangunan kembali dijalankan sebagaimana mestinya.***
Oleh: Adrianus Aba, Staf Redaksi VoxNtt.com