Cerpen Martin da Silva-Catatan Redaksi Hengky Ola Sura
Apakah mengenang pengalaman masa lalu itu harus dibayar? Kalau dibayar berapa harganya? Aku punya uang yang cukup untuk membayarnya. Kata perempuan muda itu pada ibunya dengan nada yang parau.
Ibunya terharu. Putrinya merasa masa lalu bagai barang mahal yang harus dibayar jika ia mengenangnya. Apakah aku harus membeli pengalamanku sendiri? Perempuan muda itu mengumpat dalam hati karena tidak kuat menyimpan dan menanggung pengalaman itu. Dadanya sesak.
Kehendak bebasnya mengalahkan kehendak sang ibu. Ia dengan sedih membuka kado itu. Berlinangan air mata membasahi pipinya. Saat ia mengenang pengalaman itu dan membagikannya ke orang lain. Ia tidak peduli ibunya mencap ia menelanjangi diri sendiri dihadapan orang lain. Baginya, kado terindah itu mutlak miliknya dan tidak bisa dibatasi oleh kehendak bebas orang lain.
***
Kebebasan selalu layak diekspresikan. Maka, pulang dari sekolah yang diinginkannya berjalan dengan teman-teman menikmati malam minggu di kota. Rasanya tidak kekinian jika masih muda dan malam minggu dilalui di rumah. Apa lagi hanya memanjakan mata di layar televisi dan berbagi kabar di sosial media. Kali ini tekdanya sudah penuh untukmengarungi malam minggu bersama teman-temannya. Mengelilingi kota dan menikmati udara segar yang dihembus dari ranting-ranting pohon di pinggiran jalan ke kota.
Taman bunga di tengah kota menjadi tempat favorit. Namanya taman buga namun tidak satu pun bunga-bunga taman yang tumbuh. Hanya ada bunga-bunga pohon di ranting yang menjulang tinggi tumbuh mengelilingi tempat itu. Aneh terlihat. Di taman itu, ia bersama teman-temannya menaklukan dan mengarungi malam.
Malam itu dengan lampu remang-remang, ia bersua dengan para pengamen, pasangan muda mudi, pasangan suami isteri, lelaki hidung belang, perempuan tuna susila di warung-warung kecil dan keempat pojok taman bunga. Setiap kali mengangkat muka, mata mereka saling beradu serentak mengumbar senyum termanis seolah-olah saling mengenal. Suasana santai dan kegembiraan menyelimui hati mereka.
Warung remang-remang itu menyediakan kedai kopi yang letaknya di tengah taman bunga. Semua menghampiri kedai kopi, duduk manis segera memesan minuman. Ada yang memesan kopi hitam, bandrek, teh, kopi susu dan jenis minuman lain. Sambil menunggu pesanan semua sibuk mengenggam, mengelus, menyentuh dan mencolek layar gadget masing-masing.
Gadget malam itu bagai bayi yang selalu diperhatikan dan dirawat ibunya. Mata mereka selalu melihat gadget tanpa jenuh. Makin lama melihat makin nikmat. Tiba-tiba ia melontarkan pertanyaan yang menghalau kesibukan teman-temannya. Ungkapnya, “apa perbedaan zaman dahulu dan zaman sekarang ketika seseorang bersama orang lain di bandara, restoran, warung, kedai, kereta api, angkot, dan bus?”
Pertanyaan itu bagai cambuk. Teman-temannya mengangkat muka dan melemparkan senyuman. Jawab seorang teman, “pada zaman dahulu orang-orang pasti saling bercerita dan bertanya antara satu dengan lain, zaman sekarang jarang ditemukan bahkan tidak ditemukan lagi karena semuanya pada sibuk dengan gadget masing-masing”. Di tambah teman yang lain, “akibatnya, orang dekat jadi jauh dan orang jauh dari dekat”. Ia tersenyum mendengar jawaban itu, dan berujar, “apa yang kita lakukan malam ini satu bukti tingkah brutal di zaman ini.” Mendengar itu, semuanya tertawa terpingkal-pingkal.
Di atas meja tersaji pesanan masing-masing. Semua terlihat kompak. Gadget keren di simpan. Mereka menyeguk minuman dengan penuh nikmat apalagi malam itu udara terasa dingin. Ia tiba-tiba kembali bertanya, “apa itu kebebasan?”. Teman di sampingnya menjawab, “tidak terhalang, terganggu, lepas sama sekali sehingga seseorang bergerak dengan bebas”. Seorang teman duduk paling ujung berujar, “lepas dari tuntutan tugas atau perasaan takut.” Seorang teman lagi mengatakan, “keadaan bebas, merdeka tidak terikat dengan aturan dan orang-orang tertentu.”
Ia menyeguk kopi itu terasa begitu nikmat karena jawaban yang diberikan menandakan pemahaman yang sama meski diungungkapkan dengan kata yang berbeda. Tuturnya lagi, “malam ini malam panjang maka, kita layak mengekspresikan kebebasan kita.”
Pandangannya diarahkan ke pojok taman gerombolan muda mudi berdiri santai. Ada yang saling berpelukan, merangkul, menjamah dan berkejaran. Kaki mereka seakan-akan pincang saat berdiri dan berjalan sepoyongan. Ada yang menarik rokok dalam-dalam dan menghembus ke arah satu dengan yang lain. Di depan warung itu terlihat berbagai jenis botol minum keras yang berjejer tidak teratur. Tuturnya, malam ini sangat bebas, mari kita gabung bersama mereka.
Ia merogoh dompet membayar pesanan. Mereka dengan riang melangkah kaki menuju sudut taman bunga. Seketika itu, kenikmatan yang direngkuh karena kebebasan malam itu berujung pada kesedihan yang tak ada ujung. Segerombolan orang di warung itu disandra oleh polisi dan mereka pun berlari tergopo menuju rumah.
Rasa takut menghantuinya. Denyut jantungnya terasa begitu cepat. Ia takut jangan-jangan peristiwa yang terjadi di dengar oleh orang tuanya. Belum selesai memikirkan itu, ia dimarah oleh ibunya. Tutur ibunya, “apa terjadi dengan malam ini? Mengapa wajahmu dan teman-temanmu pucat? Apa yang terjadi sehingga semua berkumpul di rumah ini?
Bertubi-tubi pertanyaan dari sang ibu membuat dirinya frustasi. Ia merasa kepalanya bagai dihujani gumpalan tangan bertubi-tubi dari sang ibu. Ia diam sesaat. Teman-temanya tidur terkelungkup menyesal dengan tindakan malam itu. Ia teringat dengan jawaban yang dilontarkan oleh teman-teman tentang kebebasan jika ibunya melontarkan lagi pertanyaan. Pikirnya, “kebebasan pribadi adalah jawaban yang tepat.”
Maka, dengan percaya diri ia menjelaskan, “waktu kecil ibu selalu mengajarkan bahwa aku harus percaya diri dalam setiap kesempatan. Aku harus sungguh-sungguh mengekspresikan kebebasan agar menjadi pribadi yang mandiri. Kalau aku tidak mengekspresikannya, kapan aku bisa mandiri? Aku jenuh dengan cibiran orang bahwa aku anak mami. Malam ini aku benar-benar mengekspresikan kebebasan dengan menikmati dan mengarungi malam minggu di kota. Bukankah inti dan hakikat kebebasan itu penentuan datang dari diriku sendiri?”
Ibunya menggelengkan kepala mendengar ungkapan hati anaknya. Sang Ibu tertunduk sambil mengusap air mata. Ia tetap memberi penjelasan. Tuturnya lagi, “mengapa ibu harus menangis?” Apa aku tidak layak mengekspresikan kebebasanku? Apakah aku bukan manusia yang datang dari rahim ibu? Kapan aku bisa mandiri seperti teman-teman?”
Sang Ibu menatap dalam-dalam wajah anaknya. Teman-temannya serius mengamati itu. Tanya ibunya, “anakku… apa yang kamu paham tentang kebebasan?” Jawabnya, “kebebasan berarti tidak terhalang, terganggu, lepas sama sekali dari tuntutan tugas atau perasaan takut. Merdeka tidak terikat dengan aturan dan orang-orang tertentu. Intinya, penentuan sesuatu datang dari diri sendiri.”
Sang ibu pun semakin sedih karena anaknya tidak memahami makna kebebasan sesungguhnya. Ia terdiam. Kemudian, ia dengan luwes berkata, “ajari aku tentang kebebasan.” Teman-temannya yang mendengar ucapan itu menggerutu: “apa gunanya pertanyaan itu? Sebentar lagi kita akan ditangkap, dan tangisan akan menggema di rumah ini.” Seorang temannya tersenyum, dan senyumnya bukan senyum mengejek, tapi senyum respek atas keberanian perempuan muda itu.
Ibunya heran melihat tingkah anaknya. Tutur ibunya, “anakku… kamu boleh bebas karena manusia pada dasarnya bebas. Dalam kebebasan kamu harus memiliki pilihan untuk melakukan itu atau tidak melakukan itu. Kehendakmu sendiri yang harus menentukan. Kamu yang bertanggungjawab atas kebebasanmu. Kebebasan harus dibarengi dengan pilihan dan tanggung jawab.”
Mendengar penjelasan sang ibu, ia dan teman-temannya tertunduk. Isak tangis menggema di rumah itu. Tuturnya, “aku sungguh-sunguh menyesal atas tindakanku. Akhirnya, kusadari betapa bodoh diriku. Aku tidak bertanggungjawab dengan kebebasan yang dianugerahkan Tuhan. Aku mengekspresikan kebebasan tanpa pilihan yang mendatangkan manfaat untukku.”
Malam itu mereka ditangkap, isak tangis menggema di rumah itu. Kota itu kini menjadi tidak ramah. Setiap orang yang lewat sangat sulit mengumbarkan senyuman termanis, yang ada hanya senyuman sinis dan mengejek. Semenjak itu, perempuan muda memilih jarang keluar rumah pada malam minggu di kota itu.
Martin da Silva, alumni Sesado Hokeng. Bukunya yang telah terbit Sublimasi Cinta.
Perempuan dan Malam Minggunya Yang Kabur
Oleh Hengky Ola Sura-Redaksi Seni Budaya Voxntt.com
Membaca dua pargraf pertama dari cerpen karya Martin da Silva saya pribadi yakin bahwa cerpen ini menyajikan konflik yang bakal seru dan menghujam degup jantung untuk mencari tahu model kenangan macam apa yang hendak dibuka dari satu luka lama yang terpendam.
Memulai cerpennya dengan pertanyaan si tokoh Aku (baca;perempuan muda) Martin berhasil menarik animo pembaca untuk sejenak tertegun mendalami seluruh kisahan yang bakal tersaji. Hasilnya boleh dibilang cerpen ini masih bergerak abu-abu. Terlalu klise dan akhirnya kabur. Maksud baik untuk membungkus kenangan malam minggu yang kelam itu ternyata tidak cukup menimbulkan ketegangan pada sukma pembaca untuk ikut merasakan kenangan buruk apa yang dibongkar oleh tokoh perempuan muda. Yang tampak dalam bayangan pembaca adalah sosok perempuan dengan malam minggunya yang kabur.
Terlepas dari konflik yang kurang menegangkan cerpen Perempuan yang Menangisi Malam Minggunya hemat saya menarik pada klimaks yang diciptakan Martin. Kisah perempuan muda dalam cerpen ini menyajikan satu klimaks yang datang dengan datar. Bisa dibilang mendayu-dayu dan bisa dibilang klimaksnya logis dengan jalan cerita.
Jika saja Martin fokus membahasakan konflik batin dari tokoh perempuan muda yang menyesali kenangan pada malam minggunya yang kelam itu dengan gemilang maka klimaksnya yang datar dan mendayu itu makin sempurna.
Cerpen ini tetap merupakan sebuah pelajaran berharga dari sisi amanat yang disampaikan kepada pembaca. Salah satunya adalah keberanian untuk membongkar derita dari sakit yang bernama luka batin. ***