Ende, Vox NTT-Rakyat Saga dikenal dengan daerah perkampungan adat yang terbilang masih mistik. Selain keunikan bentuk perkampungan bertingkat serta masih tradisional, sejumlah rangkaian ritual adat masih sangat kental dirayakan.
Misalnya, ritual adat yang dinamakan “Nggua”. Ritual ini merupakan agenda tahunan yang kerap dilaksanakan pada awal bulan September.
Ritual adat Nggua menurut tradisi masyarakat adat Saga sebagai simbol syukuran kehidupan bertani. Masyarakat yang notabene mata pencaharian petani gelar pesta adat sesuai dengan keberadaban hidup setiap hari.
Beberapa urutan ritual Nggua digelar dalam sepekan. Mulai dari Nggua Uta, Uwi, Tuu are tuu, Roro Uwi hingga puncaknya pada tarian Gawi Sodha. Beberapa ritual tersebut menjadi satu kesatuan acara adat “Nggua” yang menyimbolkan kehidupan bertani sejak bukanya lahan baru hingga pesta syukuran hasil bertani.
Rangkaian Nggua ini bermakna sebagai lambang untuk mengikat tali persaudaraan antara “Mosalaki” atau tetua adat dengan “ana kalo fai walo” untuk membangun persekutuan seraya memuja menyembah kepada Pencipta, semesta alam dan leluhur.
Ritual Nggua dipimpin oleh para Mosalaki yang memegang kekuasaan pada wilayah setempat. Di perkampungan Saga, tercatat ada tujuh Mosalaki yang mempunyai kewenangan adat serupa pemerintah pada kalangan birokrasi.
Mereka (Mosalaki) yang tergabung dalam komunitas adat Saga mengendalikan seluruh rangkaian adat Nggua sebagaimana sudah menjadi ciri khas dari leluhur. Sedangkan masyarakat adat biasa lainnya mengikuti dengan hikmat.
Philipus Kami, salah seorang tokoh keturunan Mosalaki menjelaskan keberadaban masyarakat Saga tergantung dari tradisi adat serta alam semesta. Sebab, hubungan batinia serta jalinan komunikasi masyarakat adat Saga sudah tergantungan pada dua komponen tersebut.
Masyarakat yang sudah hidup sangat familiar tersebut menganggap ritual adat Nggua merupakan bagian jati diri mereka masing-masing. Sebab, keberhasilan dari sebuah usaha direstui oleh ritual sakral tersebut.
Philipus menjelaskan ritual adat Nggua bermula dari tahapan acara “So Au”. Ritual ini menunjukan sebuah tempat baru tahap pembukaan ladang. Tahapan ini diikuti dengan beberapa pantangan pada ritual “Ngeti”.
Selanjutnya, tahapan pembersihan ladang dengan upacara pembakaran yang berakhir pada acara “Seru Fata” atau tolak bala semua jenis hama agar ladang tersebut membawa keberhasilan yang berlimpah.
Ladang sudah disiapkan dan tahap selanjutnya adalah menanam atau disebut “Tedo”. Tahap pertama “Tedo” dilakukan oleh para Mosalaki sebagaimana pemegang ulayat daerah tersebut. Selanjutnya dilakukan oleh masyarakat biasa atau pemilik lahan.
Nggua “Uta Bue” akan dilakukan saat tamanan berumur tiga bulan. Nggua ini sama dengan upacara makan kacang-kacangan.
Simbol ini, menurut Philipus, mengingat turunan leluhur yang beruntun hingga anak cucu. Filosofi ini diambil dari bentuk kacang panjang yang bijinya bersusun.
Setelah tanaman sudah matang, tahap selanjutnya adalah “Keti Pare” atau panen padi yang kemudian disimpan dalam lumbung atau “bengge”. Kemudian dilaksanakan ritus makan nasi baru dan berakhir pada pengusiran hama penyakit pada cocok taman berikutnya.
Seluruh rangkaian ritus tersebut ditandai dengan acara tarian gawi. Tarian ini menandakan agar semua masyarakat adat tetap merasa bersyukur terhadap hasil yang ada.
Tarian ini dilakukan di pelataran rumah adat atau disebut “Tubu Kanga”. Tempat yang dilingkari susunan batu ini menjadi pusat tarian adat gawi sodha.
Sebelum tarian, para Mosalaki terlebih dahulu memberi sesajian kepada leluhur berupa makanan dan arak atau moke. Setelahnya, para Mosalaki memulai Gawi kemudian diikuti oleh masyarakat biasa.
Warga yang berasal dari luar diberkenan untuk mengikuti gawi namun wajib mengikuti selama tiga tahun secara berturut-turut. Anggota tarian gawi yang dipimpin para Mosalaki ini juga wajib mengenakan kain adat Lio.
Apabila melanggar kewajiban tersebut diatas maka akan mendapatkan resiko seperti cacat atau resiko kematian. Hal ini dibuktikan pada upacara-upacara sebelumnya.
Acara gawi ini rutin diikuti oleh semua masyarakat adat Saga. Baik yang berada di kampung Saga maupun di tempat perantauan. Sebab gawi menunjukan keberadaban masyarakat adat Saga yang bermakna untuk membangun persekutuan.
Setelah semua ritual Nggua terjadi, tahap terakhir adalah evaluasi para Mosalaki bicara soal masalah atau pelanggaran selama proses ritual. Hal ini dilakukan sebagai pemulihan kembali agar tidak terjadi pada ritus tahun berikutnya. ( Ian Bala/VoN)