*Oleh: Waldus Budiman
“dia sempat pingsan” kata Natania.
“ kenyataan yang sulit diterima” jawab Diana.
Andini. Perawaan muda yang malang, meninggal secara tidak manusiawi. Gadis 18 tahun itu, meninggalkan bangku SMA kelas II.
Satu-satunya alasan meninggalkan bangku pendidikan adalah faktor ekonomi. Sejak kepergian ayahnya dua tahun yang lalu, suatu pukulan yang berat baginya. Seorang ayah penuh perhatian, pengertian dan cinta kasih.
Peristiwa ini memutuskan dirinya untuk berhenti sekolah dan membantu emak jualan di pasar. Memang ini keputusan yang sulit. Penuh pertimbangan yang matang. Seumuran Andini, memutuskan sesuatu memang luar biasa.
Walaupun itu dilihat belum matang dan dewasa dari segi umur. Namun, alasaan tertentu kita dapat menerimanya. Membantu emaknya jualan di pasar tidak berarti ekonomi keluarga ini membaik.
Permintan si bungsu untuk uang sekolah dan utang emaknya mengharuskan Andini mencari pekerjaan lain sebagai sampingan. Sempat ditawarkan bekerja di warung tentangganya dan mencuci pakaian tetapi Andini menolak. Dengan alasan tidak mempunyai keterampilan yang cukup dalam mengerjakan hal itu.
Benar juga. Berpikir sebelum bertindak merupakan hal yang positif. Berpikir kritisten tentang segala sesuatu. Tidak berarti dirinya malas untuk bekerja.
Gadis bermata coklat dan pipi lesung itu sering menyendiri. Entah, apa yang dipikirkanya. Tetapi yang pasti akhir-akhir ini kenyatanya seperti itu. Kepergian sang ayah merupakan moment yang sulit diterima. Raut muka sang ayah selalu hadir dalam mimpinya.
Kekhasan senyumnya selalu dirindukan. Kerinduan adalah seuatu penyiksaan. Kadang pula penjajahan terhadap diri. Entah.. ketika rasa rindu selalu menepi dan tidak pernah sampai hanya air mata yang mampu membahasakannya. Rindu lebih miskin dari pada cinta.
Mengapa demikian? Bukankah rindu itu ada dan selalu menyatu dan menyata dalam cinta. Yang jelas bagi Andini rindu adalah doa yang tidak dapat dibahasakan dengan kata.
Suatu sore emaknya bertanya kepada Andini
“si bungsu ada telfon. Katanya….” Emak tidak melanjutkan pembicarannya. Andini berusaha menangkap maksud emaknya. Ini pasti berkaitan dengan uang. Ia, benar. Andini masih menunggu pembicaraan emaknya selanjutnya.
“si bungsu minta uang, nak. Apakah kamu punya uang?” lanjut emaknya sambil menyeka air matanya. Benar dugaanku. “ada bu, tapi tidak seberapa” jawab Andini.
Ketika itu juga Andini melihat ada kebahagian di mata emaknya. Pancaran kesedihan dan beban dari bola mata emaknya perlahan hilang. Yang walaupun itu tidak seberapa. Hampir setiap bulan si bungsu minta uang. Anak sekolah zaman sekarang kebutuhannya banyak sekali.
Hasil jualan di pasar tidak seberapa. Pengeluaran lebih besar dari pada pemasukaan. Makan sehari-hari ala kadarnya. Nasi putih kadang menyendiri di atas meja makan. Kadang pula ditemani oleh sahabat setianya, garam. Ia memang. Persahabatan kadang memilih. Mencari kesaaman dalam diri dan sulit menerima perbedaan.
Hingga melahirkan konflik dalam kehidupan bersama. Tapi konteks kehidupan Andini bukan menolak perbedaan dan mencari kesamaan. Kenyataannya memang demikian. Tidak ada pilihan lain. Andini merasa putus asa dengan keadaan ini. Seringkali menangis dalam kesendirian melihat perjuangan emaknya. Seumuran Andini belum matang dan mampu bagaimana cara untuk menghasilkan uang. Kesedihan menyelimuti hidupnya.
Ditemani segelas kopi pahit dan ubi rebus Andini duduk santai di depan rumahnya suatu sore. Pikiranya jauh. Berimajinasi tentang kehidupan yang baik. Tidak kurang suatu apapun. Harta melimpah. Seandainya dulu aku anak seorang DPR, aku tidak merasakan pahitnya kopi dan pasti ubi ini diganti dengan roti. Ah… aku terlalu berlebihan. An..di..ni.. Sepertinya ada memanggil namaku. Andini tersentak dari lamuanya. Tapi Siapa ya?. Oh.. padahal Vera.
“Andini kamu apa kabar?”. Tanya Vera. “a..k…u baik Ver”? jawab Andini sambil mengulurkan tanganya bersalaman dengan Vera. Suaranya terbata-bata. “ah.. kamu semakin cantik, An”? goda Vera. “tidak ko ver, kamu yang cantik?”. Jawab Andini tersipu malu.
Apakah pujian atau penghinaan. Vera teman kelasnya Andini waktu SMP. Dia meninggalkan bangku sekolah dan mengikuti pamannya ke Malaysia. Sekarang dia gadis yang sukses. Dulu rambutnya kriting, lebih bagus dari rambutku. Sekarang, luar biasa. Rambutnya lurus. Lalat pun enggan singgah takut jatuh. Terlalu licin. Punya handphone Oppo, baju baru, sepatu baru. Pokoknya baru semua. Perubahan yang luar biasa.
“kamu luar biasa Ver, cantik dan punya segalanya” kata Andini. “ kamu mau jadi seperti aku. Kebetulan aku datang sama pamanku dan dua hari lagi aku harus kembali ke Malaysia. “kenapa cepat sekali Ver..” Tanya Andini. “itu sudah An.. aku hanya diberi waktu dua minggu untuk berlibur oleh bossku” jawab Vera. “dan aku ke sini untuk cari teman.
Bosku menyuruhaku. Katanya masih butuh tenaga” lanjut Vera. Kalau kamu mau bisa pulang denganku. Tidak usah piker tentang biaya. Semuanya sudah ditanggung oleh bossku. Dan kalau kamu tidak punya hanphone nanti bossku yang beli” bujuk Vera. “ia juga si Ver.. aku beri tahu emak dulu” jawab Andini. “intinya kamu mau saja An.. soal itu pamanku yang bicarakan” jawab Vera.
MALAISYA. Ah.. Aku pernah mendengar dan membaca di buku tentang kota itu. Orang menyebutnya negeri jiran. Banyak orang sukses pulang dari sana. Semoga hidup kami akan menjadi lebih baik. Si bungsu bisa melanjutkan sekolahnya di perguruan tinggi. Andini mulai menghayal.
“An, emak berat melepasmu pergi” kata emaknya. “bu, aku akan baik-baik saja, lagian aku pergi sama Vera dan pamannya. Mereka orang baik ko” jawab Andini menyakini emakanya. “tapi emak meragukanmu, emak punya firasat buruk. Apalagi kamu tidak punya keterampilan apa-apa” lanjut emaknya. “sudahlah bu, semoga kehidupan kita lebih baik dari sekarang.
Jika aku sudah dapat kerja nanti aku kirim uang untuk emak dan bungsu”. Dengan berat hati emak melepaspergikan sulungnya. Air mata mengiringi perjalanan anaknya. Kerinduan dan kehilangan menyatu dan menyata. Perjalanan ke negeri jiran yang menjanjikan susu dan madu menggairahkan.
Dua bulan kepergian Andini. Belum ada kabar. Setiap malam emaknya berdoa untuk keselamatan anaknya. Tiga bulan sama saja. Kecemasan dan ketakutan menghantui emaknya. Permintaan uang sekolah si bungsu menambah beban. Lengkaplah sudah penderitaan.
Lima bulan kemudian rumah Andini didatangi petugas pemerintah. Entah dari instasi apa. Raut mukanya tiba-tiba berubah. Ketika petugas itu selesai menjelaskan sesuatu. Entah.. apa yang terjadi perempuan tua itu pingsan. Tentangga mulai berdatangan. Rumah Andini dibanjiri manusia. Dari yang kecil sampai yang tua. Emaknya tidak menyadarkan diri. Andini gadis perawaan muda itu ditelan bencana zaman.
*Mahasiswa STFK Ledalero, tingal di rumah Filsafat Scalabrinian Maumere Flores NTT
Cerpen: Andini dan Energi Perlawanan Kita
Catatan Redaksi Oleh Hengky Ola Sura
Waldus Budiman, cerpenis kita Minggu ini menghadirkan kisah tentang Tenaga Kerja Wanita (TKW) bernama Andini. Kisah tentang Andini adalah kisah kita, hidup kita juga keseharian kita. Maksudnya adalah bahwa hampir seluruh keseharian hidup kita orang-orang NTT senantiasa dihadapkan dengan satu persoalan pelik tentang tragisnya banyak TKW asal NTT yang nasib juga kematian mereka menjadi tanda tanya tak berujung.
Merujuk pada unsur intrinsiknya cerpen ini menghadirkan secara sempurna kisah tentang latar, tokoh, alur juga seting yang taksa. Temanya adalah tema yang dekat dengan kita. Secara pribadi saya salut dengan cara Waldus membahasakan realitas orang-orang NTT yang perantau itu.
Tekanan kemiskinan dan seretnya sumber ekonomi keluarga memaksa Andini larut dalam janji punya segalanya dari Vera. Larut dalam janji kebahagiaan Vera jadi pegas penyemangat bagi Andini untuk meraih segalanya. Yang terjadi adalah satu kisah tragik yang memelas keluarga juga semua kita yang membaca cerpen dari Waldus kali ini.
Cerpen menghadirkan satu pembacaan yang kritis bagi kita semua untuk turut menjadi pemerhati yang peduli dengan orang-orang sekitar kita akan keputusan yang berhubungan dengan menjadi TKW. Tanpa bermaksud menakut-nakuti Waldus secara implisit ikut mengajak semua yang peduli dengan garis nasib orang-orang kecil untuk peduli. Untuk membangun kepekaan sosial juga menanamkan model perantau macam mana yang harus juga diatur dalam kebijakan dan aturan perlindungan bagi TKW.
Beberapa hal yang saya kira jadi beberapa titik perhatian adalah kisah yang terlalu berputar, melow dan juga hal teknis macam gramatikal yang perlu perhatian khusus agar tidak menimbulkan kesan terlalu berbelit-belit dan membosankan pembaca.
Cerpen Andini tetap merupakan sebuah ajakan juga serentak perlawanan untuk ikut belajar dari kisahnya Andini. Segalanya tentang TKW memang harus dilindungi apa lagi merujuk pada perlakuan tidak adil yang dialami. Yang menarik dari keseluruhan cerpen ini adalah cara Waldus menutup cerpennya tentang kematian Andini.