Oleh: Afe W.
Ada beberapa hal yang sering Kai lakukan pada jam empat sore ; mengunyah jagung rebus, berlari-larian di pantai yang airnya tengah surut untuk mencari kerang, mengetuk kepala adiknya yang berusia tiga belas tahun, Sol, sebanyak tiga kali untuk memancing keributan kecil. Tapi, hari ini, barangkali karena mendapatkan wangsit dari leluhur lewat desiran angin laut yang berbau anyir, Kai memutuskan untuk menulis sebuah cerita. Ia teringat kepada karibnya yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai tukang cerita, Liluye ; anak ayam yang terbang setinggi Elang. Namanya dihadiahkan oleh sang Kakek, Jaci, yang bekerja sebagai penjaga keamanan di rumah judi Oneida *). Ia tak menyukai nama pemberian sang Kakek, dan meminta semua orang, termasuk Kai, memanggilnya dengan nama tengahnya : Hopi.
“Terdengar seperti Hope, harapan.”
Seru riang Liluye terdengar seperti cericit burung pipit jam enam pagi. Riuh. Sekali waktu, pada pekan keberagaman budaya – sebuah acara tahunan yang digelar di Kampus- ia tampil membawakan cerita tentang leluhurnya, seorang anak lelaki yang mencari arti kehidupan ;
A bertanya kepada setiap orang-orang tua yang dijumpainya : mengapa suatu saat nanti, kita akan menua dan mati ? Tak seorangpun menjawab pertanyaan A. Ia memutuskan bahwa pertanyaan sulit seperti pertanyaannya mungkin hanya bisa dijawab oleh mereka yang telah mengalami kematian. Ruh leluhurnya yang berada di sebuah padang rumput hijau, jauh dari pemukiman mereka. Tanpa membawa makanan dan minuman. A yang penasaran – yang segera ingin mengetahui rahasia terbesar kehidupan ini – meninggalkan perkampungan. Ia berjalan ke arah matahari terbenam, melewati wilayah-wilayah perbukitan dan lembah – hingga ke jarak terjauh yang bisa dijangkau pandangannya. Setiap tiba pada jarak terjauh, ada jarak lain lagi yang meminta dilewati. Ia melangkah tak henti, hingga tiba waktunya ia merasa lapar dan haus. Tujuannya belum juga kelihatan ; tak ada banteng liar, para kepala suku yang menarikan tarian penjaga keseimbangan semesta, tak ada kijang liar yang berlari kesana – kemari. Di bawah pohon Dedalu, ia putuskan untuk beristirahat.
Ketika malam tiba, ia bermimpi ditemui seorang lelaki tua. Dari hiasan kepala yang dipakainya, ia yakin bahwa lelaki tua itu adalah kakek dari kakeknya ; Si Mata Elang.
“Kakek, katakan, apakah tujuan kita menjadi tua dan mati ?”
Si Mata Elang tak menjawab. Ia tersenyum sambil memamerkan deret giginya yang cokelat oleh tembakau.
“Untuk menikmati keabadian.”
***
Musim gugur menghantui seluruh pemandangan di jendela : oranye, kuning dan merah – warna daun yang masih menempeli ranting pepohonan. Mahasiswa berjalan terburu-buru, beberapa menggenggam secangkir kopi, yang lain memasukkan tangannya ke saku jaket. Angin membikin gigil. Luliye bergerak, jingkat kucing liar yang hati-hati, menuju kafetaria. Kari tengah menunggu. Ada beberapa urusan yang mesti diselesaikan sebelum halloween : pemutaran film dari negara-negara dunia ketiga, presentasi kebudayaan dan kunjungan ke museum Oneida.
“Apa kau sudah memastikan semua teman-temanmu ikut ?”
Pupil toska Kari seolah berusaha membaca seluruh isi kepalanya. Luliye telah mengecek kesiapan Regina si orang Moldova yang akan memasak makanan tradisional, Anu si India yang akan mempraktikkan gerakan bela diri dan Aziz si Tunisia yang akan bermain piano. Kai mengatakan bahwa ia akan ikut membacakan puisi tapi ia tak pasti ; ia tak tahu puisi apa yang akan dibacakan. Ia sendiri akan tampil membacakan cerita dalam presentasi.
“Akan kupastikan Kai tahu puisi yang akan dia baca!”
***
Kai tahu ia seharusnya mulai menyalakan laptop dan mengetik. Apa saja. Tapi, ia tak bisa mengerjakan apapun tanpa kafein di darahnya. Sol sibuk menggumamkan nama-nama hewan dalam bahasa Inggris, tugas sekolah. Giraffe, Rat, Camel, Horse…. Di Qubic Coffee House, ia ingat pernah mengobrol dengan B, teman Indonesianya tentang mengapa Jerapah berleher panjang. B ngotot mengatakan leher jerapah berbentuk sebagaimana leher jerapah saat ini agar otak jerapah mendapatkan sinar matahari yang cukup, dan mempunyai jarak pandang yang lebih jauh dari hewan-hewan lain.
“Kalau berada di hutan yang sangat rimbun, kau pasti perlu mencari cahaya matahari kan?” Berkata B sambil menjilat es krim cokelat vanila di tangannya. Akhir pekan ke empat di kota GB, ia dan serombongan mahasiswa internasional lainnya menjelajahi daerah wisata tepi danau Michigan. Kai mengajukan teori lain, yang dibacanya di buku pelajaran biologi, teori tentang jerapah leher pendek yang punah. B acuh. Luliye menghampiri mereka dan mengatakan bahwa Kai berwajah seperti penduduk asli Amerika.
“Kai, nama yang berarti Pohon Dedalus, the willow tree.”
Pada layar laptopnya yang putih kosong, Kai mengetik : Pada suatu hari, ketika kami mengobrol– aku seperti menemukan diriku yang lain yang memiliki asal – usul yang lain yang belum sempat kukenali. Kai berhenti sejenak, mengamat-amati kesesuaian bentuk huruf dengan pengaturan halaman. A4, times new roman 12, spasi 1,5. Ia memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, menimbang apakah sebagian dirinya yang tiba-tiba ingin menulis cerita tentang dirinya yang lain lagi (yang belum sempat ia kenali) telah merasa puas dengan pengaturan yang mula-mula, atau ia perlu mengubah beberapa bagian ; ukuran kertas, jenis huruf, spasi ?
Letter, Nyala 11, Spasi 1.
Kalimat pembuka biasanya hanya terdiri dari enam sampai tujuh kata saja. Kata mana yang harus dihapus. Pada suatu hari ? Ia menghapus pada suatu hari, jari-jarinya belajar kepatuhan lebih cepat dari yang ia duga. Kini ia harus memecah kalimatnya menjadi dua bagian. Masing-masing hanya terdiri dari tujuh kata. Ketika kami mengobrol, aku eperti menemukan diriku yang lain. Kalimat pertama. Diriku memiliki asal-usul lain yang belum sempat kukenali. Kai, si pohon Dedalus.
Tiga kalimat. Ia mesti berhenti sejenak untuk memutuskan apakah ia akan menggunakan namanya sebagai nama karakter utamanya, atau ia perlu mencari nama lain yang tak punya kaitan dengan dirinya – seperti Luliye yang minta dipanggil Hopi. Ia mengganti namanya dengan Jacob. Jacob, si Pohon Dedalus. Terdengar asing, terbaca janggal. Kalimat pertamanya meminta diganti juga. Ia tak ingin menjadi pembuka cerita jika Kai diganti menjadi Jacob. Kai (yang penulis) mencoba melakukan tawar menawar. Ia palingkan wajah dari layar. Foto wisuda ditempelkan di dinding ; I will see you again. Ia berdiri diapit B dan Jacob. Ah! Tentu saja, jika ia menukar Kai menjadi Jacob, kalimat pertamanya merengek pula minta diganti.
Aku tak suka badut. Aku tak suka pesta ulang tahun.
Kai tak ingat apakah Jacob memang tak menyukai badut, atau tak menyukai pesta ulang tahun. Ia hanya ingat melihat Luliye dan Jacob bergandengan tangan ; sepasang kekasih. Jacob yang bermata cokelat malaikat dan Luliye si tukang cerita yang ceria. Bukankah mereka sepasang yang serasi ? Ia menangisi Jacob selama dua menit. Setelah menghapus air matanya, ia menggumam : Di dunia ini ada jutaan orang bernama Jacob, tapi aku jatuh cinta pada Jacob yang tak menyukai badut dan tak menyukai pesta ulang tahun.
Kalimat pertamanya, lebih dari tujuh kata.
(2015)
Catatan : *) Oneida : Nama salah satu suku Indian.
Penulis adalah peminat satra dan suka menulis. Tahun 2015 terlibat dalam Makassar International Writers Festival. Saat ini ia tinggal di Ende.
Penulis Pemula dan Ekspetasi Terhadap Pembaca
Catatan Redaksi oleh Hengky Ola Sura
Cerpen Afe W edisi Minggu ini membutuhkan pembacaan yang lebih jeli. Tampak sangat sederhana tapi tetap saja butuh pengulangan dalam-dalam untuk mengerti. Dengan narasi yang detail menjelaskan tokoh juga harapan masing-masing tokoh dalam cerita mengantar pembaca untuk sibuk juga memahami maksud sang penulis tentang pelajaran menulis bagi sang pemula.
Berkenaan dengan struktur yang dibangun dalam cerpen ini tampak bahwa orientasi dan komplikasi yang disajikan terlalu berpendar. Afe W, hemat saya bisa jadi adalah seorang yang pernah mendalami sungguh kisah tentang Oneida atau bisa juga pernah tinggal dan hidup di Amerika untuk jangka waktu tertentu. Kisah tentang penulis pemula itu dibungkus Afe W dengan sangat taktis pada karakter tokoh dan harapan masing-masing tokoh tersebut. Pada struktur cerpen yang merujuk pada orientasi dan komplikasi maka kisah harapan-harapan para tokoh itu sukses diangkat oleh Afe W.
Sedangkan jika merujuk pada unsur intrinsik cerpen maka yang tinggal dalam sukma dan pikiran pembaca adalah semacam hal-hal biasa yang dilebih-lebihkan. Bisa saja ada kebingungan yang tinggal lalu ada semacam protes pembaca. Tentang hal macam ini memang tergantung kebiasaan membangun intrepertasi pembacaan. Dan secara pribadi saya bangga dengan keberanian Afe W untuk ikut menambah khasana model cerpen seperti ini untuk pembaca di NTT.
Kisah tentang seorang penulis pemula, saya kira ikut merangsek daya imaginasi kita untuk paham unsur-unsur ekstrinsik sebuah cerpen berupa latar belakang masyarakat, latar belakang pengarang, biografi dan juga kondisi psikologis. Kisah tentang penulis pemula dalam cerpen minggu ini kiranya ikut mengajak kita untuk paham bahwa sebuah karya sastra lahir untuk juga memberi pemahaman-pemahaman baru tentang apa, siapa, dimana dan kebudayaan suatu masyarakat tertentu.***