Catatan Kritis Atas Penyerangan Terhadap LBH Jakarta
Oleh: Andy Tandang
Seminar bertajuk “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966” yang digelar Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Sabtu kemarin dibubarkan aparat kepolisian. Dalilnya, isu yang diangkat di dalam seminar sangat sensitif dan dikhawatirkan akan ada serangan dari pihak tertentu.
Alasan tersebut menurut penulis, sebetulnya hendak menunjukkan ketidakwarasan negara dengan bobot akal yang telah ditukar tambah dengan para broker. Mari kita selidiki. Ketika pihak kepolisian membubarkan sebuah acara dengan alasan takut diserang, maka sesungguhnya ia kehilangan nyali dan negara sedang diserahkan kepada mobokrasi.
Nyali ciut, adalah bentuk kekeroposan jiwa kepolisian. Ia juga adalah representasi dari ambruknya kekuatan negara. Polisi kalah digertak, negara sakit diintimidasi, dan rakyat hanya menelan pil pahit represif. Publik mesti mencurigai bahwa narasi “mengayomi dan melindungi” yang sering dikoarkan negara begitu mudah digadai dengan kekuatan massa.
Hilangnya nyali negara serentak memberikan ruang kekuasaan kepada segerombolan massa, untuk memegang dan mengendalikan negara. Dengan menghidupi spirit barbarian, gerembolan massa ini cendrung membawa pemerintahan dan negara ke lingkaran anarkisme dan kekacauan. Di situlah esensi mobokrasi.
Mobokrasi pertama kali muncul dalam sejarah manusia ketika terjadi penaklukaan negara bangsa (nation state) oleh para tentara dan pejuang perang (warriors). Jauh sebelum itu, mobokrasi juga sudah muncul ketika bangsa Barbar (barbarian) menginvansi wilayah berdaulat.
Setelah suatu negara bangsa berhasil ditaklukan, mereka kemudian membagi-bagikan kekuasaan di atara mereka, yang sesungguhnya tidak paham soal pemerintahan. Akibatnya, mereka cendrung mengatur pemerintahan sesuai kemauan mereka.
Mobokrasi bisa ditemukan dalam sejarah kepemimpinan Alexander Agung dari Makedonia. Ketika antara tahun 336-325 SM, sebagian wilayah Eropa dan Asia berhasil ditaklukkan, ia membagi-bagikan wilayah tersebut kepada komandan pasukan dan para pengikutnya. Mereka menjalankan kepemimpinan sesuai dengan keinginan meraka. Mobokrasi jugalah yang menyebabkan Makedonia terpecah belah pasca Alexander wafat.
Aksi pengepungan Kantor Lembaga bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada Senin dini hari tadi, merupakan cerminan geliat mobokrasi. Massa dengan cara yang anarkis, menuntut masuk ke dalam gedung untuk memastikan bahwa tidak adanya atribut PKI yang terpampang di sana. Ini sangat tidak waras. Keterbatasan akal menumbalkan spirit demokrasi yang sedang dihidupi.
Bagaimana mungkin gerombolan massa melegalkan dirinya sebagai pengatur setiap diskursus publik? Siapa yang memberikan kewenangan kepada mereka? Negara sekalipun tidak pernah boleh mengintervensi kebebasan warganya. Tugas negara adalah melindungi dan memastikan warga negaranya aman.
Ketidakwarasan gerobolan massa ini hanya akan menciptakan kebodohan publik dan merusak citra demokrasi di mata dunia. Apalagi dengan doping argumentasi yang tidak masuk akal dan memadai. Mereka ingin menciptakan sebuah pemerintahan baru dengan bertindak sesuka hati, seoalah mengontrol arus diskursus publik, tetapi dengan cara-cara yang tolol.
Lonceng Kematian Demokrasi Kian Dekat
Kita mengamati, ruang diskursus yang menjadi khazanah demokrasi akhir-akhir ini disapu gelobang anarkis. Tak ada benturan gagasan di sana. Bobot akal semakin menipis, kekuatan otot semakin menebal. Semestinya, bila ingin menolak diskursus, maka gunakanlah cara-cara elegan dalam nuansa demokratis. Akal dikedapankan, keberingasan fisik tak perlu dipakai. Sebab, hal itu hanya menunjukkan murahnya harga diri manusia.
Konsolidasi demokrasi memang sudah tertinggal oleh akumulasi kekuasaan. Energi yang pernah kita himpun untuk menghentikan otoritarianisme, tidak lagi cukup untuk menggerakan perubahan. Sehingga memungkinkan seorang jenderal pelanggar HAM duduk berdebat semeja dengan seorang aktivis HAM, mengevaluasi kondisi demokrasi.
Dalam kondisi seperti ini, negara semacam kehilangan nyali menangkal keganasan massa. Ia membiarkan dirinya didikte kekuatan tersebut. Lebih parahnya lagi, jika dalil yang disodorkan negara adalah, takut lantaran ditekan oleh kekuatan besar dibalik layar. Sesungguhnya, negara telah menggadaikan kehormatannya di hadapan rakyat.
Pembubaran seminar dan pengepungan kantor LBH menjadi pratanda lonceng kematian demokrasi kian dekat. Atas nama ‘tekanan massa’, kebebasan berkumpul, berpendapat dan berkespresi dirantai. Negara sedang menunjukkan watak anti demokrasi. Negara sedang melarikan diri dari kewajiban untuk melindungi warganya. Jika dibiarkan, maka akan berbahaya bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Di sisi lain, kita mencium nalar demokrasi yang telah digeser rezim para bandit. Mereka menjebol jantung pertahanan demokrasi. Kebebasan. Rasanya, kita kembali hidup di zaman orde baru. Ruang diskursus ditutup, tindakan represif semakin menjadi-jadi, barbarisme mendominasi.
Demokrasi kita sedang dikelola segerombolan bandit dengan standar akal yang sangat rendah. Negara, yang sejatinya mengepakkan sayap untuk melidungi warganya diseret dalam arus kospiratif. Ada kekuatan yang melampaui negara, yang dengan gampang menggeser haluannya, dan menjadikan negara seperti singa ompong..
Harus disadari, kerumunan massa bukanlah penopang demokrasi. Apalagi jika dilakukan dengan segala kepicikan untuk menggolkan kepentingan elit tertentu. Mobokrasi pun merupakan penghianatan atas demokrasi. Sebab ia berkhianat pada karakter asasi demokrasi. “Yang membuat demokrasi unik,” tulis William Riker (1982)” adalah berpadunya tujuan dan cara. Bukan hanya tujuannya harus baik, tetapi cara untuk mencapainya.”
Dalam karya klasiknya, Political Man, Seymour Martin Lipset juga mengingatkan bahwa demokrasi bukan hanya sekedar cara membuat setiap kelompok dapat mencapai tujuan mereka. Demokrasi juga cara untuk membangun masyarakat yang baik. Kita tak ingin negara ini dipimpin segerombolan massa dengan kualitas nalar yang rendah. Presiden Jokowi mesti ambil langkah., bila tak ingin negara diambil alih dan dicap sebagai rezim reprsif totaliter.
Penulis adalah Pengurus Pusat PMKRI, Mahasiswa Pasca Sarjana UI