Larantuka Vox NTT– Dari Maumere 06 September 2017, seorang ibu hamil ditemani suami dan ibu bidan datang berkunjung untuk memeriksakan kehamilannya.
Tak ada yang janggal dengan penampakan fisik sang ibu, tetapi saya sangat kaget ketika mengetahui bahwa tekanan darah pasien saat diperiksa di ruang depan mencapai 220/170 mmhg. Tidak ada keluhan sama sekali dari pasien, dan dikatakan dari kehamilan yang pertama selalu tinggi tekanan darahnya.
Saya lakukan pemeriksaan, dengan hasil kondisi janin dalam kondisi yang tidak baik. Air ketuban hanya sedikit dan nyaris habis. Tafsiran berat badan janin kurang, dan tidak sesuai dengan usia kehamilannya. Atau yang dalam istilah medis disebut intrauterine growth restriction (IUGR).
Dengan kondisi ibu dan janin seperti ini, saya mengharuskan pasien untuk segera dirujuk ke Rumah Sakit dan segera diberikan perawatan khusus.
Yang terjadi adalah, suami pasien dengan tegas menolak untuk dilakukan rujukan ke rumah sakit. Dia berpendapat, istrinya sudah terbiasa dengan tekanan darah setinggi itu. Dan kejadiannya sama persis selama hamil anak pertama dan kedua. Kondisi istrinya saat itu tidak terjadi apa-apa. Dia tetap tegas menolak.
Saya memberikan penjelasan kembali, bahwa kondisi ibu sekarang ini tidak bisa dianggap remeh. Dan bapak harus bersyukur, bahwa dengan kondisi seperti ini pada kehamilan pertama dan kedua Tuhan masih memberikan kasih sayangnya pada bapak ibu berdua.
Tetapi kita tidak akan tahu bagaimana kehamilan yang ketiga ini akan terjadi. Tampak istrinya mau jika dilakukan rujukan, tetapi suami pasien tetap tidak mau. Saya memberikan penjelasan bahwa risiko yang akan terjadi adalah, istrinya akan mengalami kejang dan bayi akan meninggal di kandungan.
Dengan penjelasan tersebut, sang suami tetap menolak untuk dilakukan rujukan ke Rumah Sakit. Saya langsung berkoordinasi dengan grup WhatsApp 5H3 Center (Grup yang berisi tenaga medis dan pemangku kesehatan untuk pelayanan ibu hamil dan neonatus). Saya minta dikoordinasikan dengan ibu bidan, kepala puskesmas dan lintas sektor seperti bapak kepala dusun
Tanggal 7 September 2017 siang hari, Tim dari Puskesmas didampingi Kepala Dusun melakukan kunjungan ke rumah pasien untuk kembali memberikan penjelasan dan meminta pasien mau untuk dilakukan rujukan ke Rumah Sakit. Suami pasien dengan tegas kembali menolak.
Akhirnya tim meminta untuk suami pasien menandatangani surat penolakan. Tim pulang dengan hasil tidak berhasil membujuk suami pasien untuk dilakukan rujukan.
Dini hari tanggal 8 September 2017, sekitar 01.30 Wita, saya ditelpon dari dokter Puskesmas memberitahukan bahwa pasien tersebut mengalami kejang sebanyak empat kali dan saat ini sedang dipersiapkan untuk dilakukan rujukan emergenci ke Rumah Sakit.
Saya tanya bagaimana kondisi pasien dan janin. Kondisi Janin sudah tidak terdengar denyut jantung janin dan kondisi pasien saat ini kesadaran menurun tidak bisa diajak komunikasi. Pasien akhirnya dijemput ambulans untuk dirujuk. Siang hari, pukul 14.40, setelah melahirkan bayi perempuan dengan berat 1800 gram, pasien meninggal. Tragis.
Kisah di atas adalah kisah yang diceritakan oleh Dokter.Rudi Priyo SpoG dari RSUD Maumere. Pesannya jelas yakni menjadi bapak siaga. Adagium, pengalaman adalah guru terbaik rupanya tidak wajib diterapkan pada kasus seperti yang diungkapkan oleh Dokter Rudi.
Kisah tentang kematian ibu dan anak memang jadi catatan serius bagi NTT pada umumnya. Masing-masing kabupaten punya strategi untuk menekan angka kematian ibu dan anak. Di Sikka sendiri ada 5H3 Center.
Di Flotim sendiri ada dua praktik cerdas yang layak juga ditiru adalah 2H2 Center dan Posyandu Bapak. Tentang kesigapan Bapak, rasa-rasanya satu praktik cerdas yang layak ditiru adalah Posyandu Bapak yang diinisiasi oleh Darius Don Boruk, kepala desa Boru Kedang. Maksud dari Posyadu Bapak adalah partispasi para bapak yang mengantarkan istri dan anaknya ke Posyandu.
Memasuki tahun kedua praktik Posyandu Bapak berjalan di desanya, Darius Don Boruk dan seluruh warga desa layak berbangga karena partisipasi bapak-bapak untuk peduli dan bertanggung jawab terhadap kesehatan ibu dan anak meningkat signifikan.
“Menjadi bapak itu tidak hanya kerja cari nafkah tapi pencarian nafkahnya mengharuskannya untuk bertanggung jawab penuh pada kesehatan seluruh anggota keluarganya,” Tandas Don tentang Posyandu Bapak yang digagasnya.
Dulu saat awal-awal berjalan banyak yang bilang bapak desa itu buat program sembarang saja. Tapi baru dua tahun berjalan hasilnya luar biasa. Semua calon bayi dan bayi juga langsung punya simpanan berupa buku rekening bank dan koperasi. Itu wajib, tidak bisa bilang tidak. Cerita Don dengan tegas mengenai Posyandu Bapak.
“Jadi bukan sekedar bapak antar istri dan anak ke Posyandu tapi para bapak juga harus tahu perkembangan kesehatan ibu dan anak. Selain itu semua anak wajib punya tabungan. Setiap bulan semuanya wajib simpan uang sebesar lima puluh ribu rupiah. Ini sederhana sekali tapi pelan-pelan membangun kesadaran warga desa. Hasilnya kesehatan warga desa saya baik. Kalau semuanya sehatkan pembangunan desa berjalan dengan sangat baik,” Ungkap Kades Don.
Kisah yang diceritakan Dokter Rudi adalah kisah kita, hidup kita dan bisa jadi keseharian kita. Dinkes Sikka sendiri memang sudah punya 5H3 Center yang bergerak sigap untuk memantau perkembangan ibu hamil pada lima hari sebelum melahirkan dan tiga hari setelah melahirkan.
Di Flotim punya 2H2 Center. Kerjanya memang mirip. Tetapi yang terpenting adalah kesadaran untuk terus membuat semacam doktrin penyadaran kepada para bapak jauh sebelum kehamilan seperti yang dipraktikan oleh Pemerintah Desa Boru Kedang dengan Posyandu Bapaknya. Tentang kisah yang diutarakan Dokter Rudi, pengalaman tidak bisa jadi guru yang terbaik. (Hengky Ola/VoN)