Oleh: Fandis Nggarang*
Baiknya diskursus mengenai kebangkitan komunisme tidak terpolarisasi dalam dikotomi benar atau salah.
Pasalnya, premis benar atau salah kebangkitan komunisme memiliki kelemahan yang sangat mendasar yaitu tidak menjelaskan situasi riil masyarakat saat ini.
Justru yang terjadi hanyalah perdebatan tanpa ujung yang sifatnya memecah belah disusul beragam tanggapan yang bermain di ruang simulakra.
Padahal, kalau boleh mengajukan pertanyaan alternatif, kita dapat menelisik sesuatu yang lebih mendalam dengan bertanya; mengapa isu komunis begitu memikat (alih-alih apakah kebangkitan komunis itu benar atau salah)?
Hemat saya, kita sebaiknya tidak terus terjebak dalam alasan mengenai penulisan sejarah, sehingga kemudian menengok kembali zaman Orba.
Bukan karena metode tersebut tidak benar, tetapi karena cara tersebut tidak cukup untuk melihat perkembangan masyarakat di masa kini.
Toh, masa-masa itu sudah berlalu dan kita sekarang hidup di tengah perkembangan informasi yang semakin pesat. Apalagi kekuasaan sudah terdiseminasi dan tidak berpusat seperti yang kita alami di pra reformasi.
Barangkali, kita sudah masuk dalam peradaban dimana “yang benar” dan “yang salah” bukan lagi persoalan utama.
Barangkali kita sudah masuk dalam masa dimana sesuatu yang dikemas secara emotif akan lebih sesuai bagi suatu pelampiasan hasrat dan amarah.
Barangkali, kita sudah masuk di suatu waktu dimana tipuan itu jauh lebih nikmat, justru karena kita menyadari daya ekstasinya. Sehingga, jangan sampai, tipuan ternyata lebih memihak hasrat kita yang tidak terpenuhi di bumi Indonesia ini.
Coba kita sedikit merenung, apakah kita benar-benar merasa tidak nyaman saat kita ditipu? Saat di hadapan industry film dan iklan?
Coba berpikir sejenak, kepada kita dinyatakan bahwa ada konflik tertentu dalam sebuah sinetron, tetapi kepada kita juga disangkal bahwa itu hanyalah simulasi belaka.
Kepada kita dinyatakan bahwa sabun Lux bisa menghaluskan kulit kita, tetapi kepada kita juga disangkal bahwa efek sabun tersebut tidak berfungsi apa-apa.
Dalam ritual modern tersebut, narasi yang memahami diri kita, sesuatu yang terasa nikmat, harus berupa pernyataan dan sekaligus penyangkalan yang hadir bersamaan.
Tentu ilustrasi di atas tidak bermaksud menyederhanakan perkara komunisme yang serius dan memandangnya dengan sebelah mata.
Penjelasannya hanya ingin memberikan pemikiran betapa hal-hal terkecil dalam perkembangan modernitas turut mempengaruhi cara kita dalam berpikir dan bertindak tanpa kita sadari.
Apakah, semua orang yang turun berdemo dan menyuarakan “ganyang PKI” adalah orang yang sama sekali tidak tahu menahu tentang kematian komunisme di percaturan ideologi bangsa dan dunia?
Saya pada posisi skeptis mengenai hal ini termasuk dengan media yang membesar-besarkan ketakutan masyarakat.
Tetapi, hemat saya, mereka tahu bahwa mereka sedang ditipu oleh wacana palsu mengenai kebangkitan komunis, tetapi mereka memilih untuk menyangkalnya karena itulah kenikmatan yang bisa menyalurkan kemarahan mereka.
Pertanyaannya, kemarahan atas apa? Kemarahan akan krisis keadilan sosial yang merebak di masyarakat, suatu situasi yang memicu kecemburuan satu sama lain, dan semakin dipicu oleh segregasi identitas yang dalam sejarah diskriminatif.
Sehingga, komunisme adalah bangunan mitos yang tidak menunjukan dirinya yang menakutkan, tetapi proyeksi keterputusasaan masyarakat kita yang tercerabut dari akar, terisolasi dari pertarungan, dalam kegamangan situasi menentukan arah.
Dalam isu komunisme semuanya itu didamaikan, semuanya itu ‘seolah-olah’ digenapi, seperti bahasa kekerasan yang mendapatkan legitimasi ketika saluran artikulasi terhambat.
Revolusi mental sebagai proses (alih-alih proyek) kebudayaan baiknya hanya mempertimbangkan persoalan benar-salah, tetapi juga melihat artikulasi yang melampaui benar-salah tersebut.
Benar dan salah adalah dua titik ekstrem yang semakin absurd dan kita akan semakin kelelahan karena terlalu banyak memforsir tenaga memperdebatkannya.
Kisah seorang pemuda yang dibakar di jalanan Bekasi karena diduga mencuri barang dari Masjid bisa menggugah kita untuk berpikir bahwa tidak ada lagi tempat untuk mempertimbangkan apa cara yang tepat untuk saya memperlakukan siapapun dalam situasi tertentu.
Inilah titik terberat dari persoalan sosial kita, ketika kita membiarkan diri dibimbing oleh wacana tipuan apapun, tipuan yang kita sadari justru karena kebermanfaatannya.***
*Penulis adalah PP PMKRI/Magister Linguistik Peminatan Bahasa dan Kebudayaan Universitas Indonesia