*NADA MAYOR PARA MINOR*

Tak bisa berpaling

Negeri ini

Mengusir penjajah

Di belakang

Kami saling menjajah
Dari awal proklamasi

Kini semarak korupsi

wahai pelopor

Tataplah ke sini

Kami juga butuh nasi
Malang nian nasib kami

Jatahmu kau simpan

Jatah kami, kau libas

Kantongmu nian kencang

Perut kami kerontang nian
Bukan soal cintaku dan Natalie

Tapi ini cinta kita pada negeri

Yang kau khianati dengan dustamu

Pada darah pahlawan

Bertumpah ruah

Demi kau dan kami yang jelata
Adakah setiamu pada ikrar yang kau ucap?

Di atas kitab dan roh para pahlawan.

Jangan kau nodai

Dengan ego pun tamakmu
Petinggi

Bukan penindas

Buang egomu,

Telanjangi dirimu,

Dari segala munafikmu,

Niscaya kami dan keluargamu

Bangga atas ulah dan karya sucimu

*Bali, 2017*

*’NAK, INGAT PESAN AYAH*

Kau berulah

Kau lupa

Padahal dulu

Kau diajar bukan tuk menipu

Oleh dia yang kau tipu

‘Nak…!

Eluslah perutmu

Niscaya rahimu akan bergetar
Lain kali

Jangan luangkan

Memikir tipu

Lebih baik

Luangkan waktumu

Untuk serius merawat diri
‘Nak…!

Rawat dirimu

Rawat cantikmu

Jaga rahimmu
Dirimu; tanah air

Cantikmu; Nusantara

Rahimmu; bumi pertiwi ini

Sebab alam ini milik kita

*Bali, 2017*

*DOA YANG TERLANTAR*

Mari kita tunduk kepala

Menutup mata

Membuka hati

Menyusun kata

Merunut doa

Untuk negeri tercinta ini
Wahai Sang Kuasa

Beri kami petunjuk

Utuslah kami sang pemimpin penuh iman

Pemimpin yang merakyat

Yang tahu duka kami

Yang mengerti jeritan kami
Di sini terpaut sejuta piluh

Bergudang-gudang lara nun menusuk

Bagai nestapa terwaris

Dari leluhur kami,

Dari nenek moyang pengkhianat negeri

Kian melanda

Hingga detik ini
Korupsi meraja lela

Kolusi di bawah laci

Nepotisme di dalam saku

Abai yang menjerit

Abai jelata
Yang egois

Yang rakus

Yang palsu

Yang jangan Kau utus.
Yang tafakur

Yang istiqomah

Yang kami mohon Kau utus

Ya Tuhan ya Rabi. Amin

*Bali, September 2017*

*Itok Aman- Remaja petualang yang rindu bangku kuliah, gemar membaca. Asal Mukun, Manggarai Timur.

Puisi Yang Berkabar

Catatan Redaksi Hengky Ola Sura

Tiga puisi dari Itok Aman pekan ini adalah luahan kegalauan akan praktik dari hidup berbangsa dan bernegara yang dikuasai para koruptor. 

Satu luahan yang dalamnya terdapat peran mengingatkan.  Karya sastra (puisi) punya peran mengadabkan cara hidup yang penuh dengan kepedulian sosial. 

Puisi Nada Mayor Para Minor  adalah tipikal puisi yang tanpa metafora panjang lebar langsung menohok kesadaran semua yang ada dalam lingkaran kekuasaan untuk paham bahwa jabatan adalah amanah. 

Maka Nada Mayor Para Minor adalah satu karya yang mengkritisi jalannya kekuasaan yang timpang. Puisi macam ini adalah model puisi yang aktual dari satu konteks atau peristiwa sosial politik di Indonesia.

Pada puisi Nak, Ingat Pesan Ayah dan Doa Yang Terlantar dari Itok Aman adalah puisi-puisi yang menggugah. Ia hadir dengan nada datar tanpa arah propaganda. Saya pribadi suka dengan cara Itok merebut komunikasi dari puisi yang hendak dikabarkannya. Perhatikan penggalan berikut;

Menutup mata

Membuka hati

Menyusun kata

Merunut doa

Ada semacam nada musikal yang sedap didengar ketika puisi ini dibacakan. Itok Aman hemat saya memiliki semacam proses kreatif dalam berkabar. Puisi-puisi Itok Aman pekan ini adalah suara dari satu proses perenungan akan kenyataan bahwa panorama yang bernama keadaban itu musti senantiasa terus disuarakan. Salah satunya adalah dengan bersastra (baca, menulis karya sastra). 

Satu lagi yang menarik adalah bahwa puisi Itok juga memiliki totalitas penciptaan seni yang mengingatkan pembacanya untuk berkiblat pada Tuhan Sang Empunya Hidup. Pada puisi Doa Yang Terlantar  pun Itok masih terus menaruh harapan bahwa masih ada waktu untuk terus berbenah dalam praktik kekuasaan yang korup.***