Oleh: Yusta Roli Ramat
Anggota pada Komunitas Dialektika dan “Molas Ba Gerak” Kupang
Praktik Saracen yang dilakukan beberapa oknum di negeri ini sungguh sangat meresahkan masyarakat. Pasalnya Saracen tidak hanya menjalankan tugas untuk menyebarkan berita palsu (hoax) tetapi juga ujaran kebencian yang ditujukan pada individu atau kelompok masyarakat tertentu dengan maksud menghasut dan memecah belah persatuan.
Media Indonesia memberikan data menarik. Selama kurang lebih lima tahun terakhir para penggiat Saracen memakai facebook sebagai sarang untuk mempropagandakan kebencian terhadap sesama. Data Polri menunjukan bahwa ada sekitar 800 ribu akun facebook yang terindikasi sebagai agen Saracen yang berlatang belakang SARA. Beberpa oknum terkait telah diringkus oleh pihak kepolisian.
Data lain juga menunjukan bahwa para penggiat saracen terus berinteraksi dan giat berkomunikasi dengan para petinggi partai di republik ini untuk berkompromi dalam penyebaran ujaran kebencian. Dengan modal yang cukup besar, isu SARA kemudian dibingkai dengan cantik untuk dijadikan senjata politik bagi segelintir orang yang kurang percaya diri dan sportif dalam kontes politik. Bahkan Saracen hanya satu dari sekian kelompok yang didanai dan dikelolah oleh kelompok besar, yang tengah dipersiapkan untuk kontes politik tahun 2019 mendatang.
Jika ini benar terjadi, maka bangsa ini perlu mengaku dosa dan salah kepada para pendiri bangsa. Sebab, oleh pendiri bangsa partai sejatinya memiliki peran dan fungsi ideal untuk melayani rakyat. Ini berarti dugaan banyak orang tentang pelembagaan Saracen mendapat pijakan di bumi Indonesia. Saracen memang seperti hantu di dunia sosial dan alam maya Indonesia. Dia seperti roh halus, tak kelihatan tetapi ada dalam derap perjalanan bangsa.
Era keterbukaan media yang tidak dimanfaatkan secara positif oleh segelintir orang yang haus dan rakus atas kekuasaan dan modal secara gamblang menunjukan bahwa moral masyarakat kita telah ambruk dan mengalami degradasi serius.
Disfungsi Kelembagaan
Kehidupan politik kita mutlak tak terlepas dari peranan partai politik itu sendiri. Namun, tak bisa dielak partai politik di Indonesia banyak mengalami disfungsi sosial. Disfungsi partai menyebabkan banyak hal yang secara normatif tidak dijalankan partai.
Partai yang seharusnya bertugas sebagai mediator antara masyarakat dan pihak pemerintah justru mengalami kebimbangan akut antara melayani masyarakat umum atau melayani kebutuhan internal partainya. Selain itu, pada tataran etika bermasyarakat dan etika berpolitik, partai politik justru menunjukan citra buruk yang menyebabkan masyarakat menjadi apatis.
Praktik Saracen yang disponsori oleh partai besar menunjukan bahwa di ruang praksis sosial partai telah gagal menjalankan fungsinya. Padahal secara normatif jelas bahwa partai politik harus menjadi sarana komunikasi dan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat.
Disfungsi partai politik merupakan bukti konkrit bahwa kepentingan internal partai lebih mendominasi kinerja partai itu sendiri. Dalam khazanah politik, etika politik, obyektifitas dan transparansi menjadi hal yang mustahil terjadi.
Rakyat kemudian hanya dijadikan kelinci percobaan dari kebijakan politik yang amburadul. Sementara elit politik terus disibukan dengan kepentingan untuk memperluas skop kekuasaan, dan modal disisi lain.
Maka pembenahan internal partai menjadi point penting yang perlu dilakukan. Reformasi pada tubuh partai itu sendiri harus terus dilakukan untuk mengingatkan kembali komitmen partai sesuai fungsi semestinya. Peristiwa Saracen harus menjadi pelajaran yang membuka jalan untuk mengembalikan kehormatan partai.
Produk Kapitalisme
Hadirnya modernisasi yang menyajikan beragam peluang dan kemudahan telah menjadi pemicu perkembangan berbagai lini kehidupan masyarakat, khususnya pada bidang teknologi dan informasi.
Memasuki sistem teknologi informasi ini kita sebenarnya telah masuk dalam era “masa tanpa waktu” dimana informasi tersedia secara bebas dimanapun dan kapanpun. Dalam hal ini, informasi terorganisir dalam jaringan yang jelas yang akan melampaui waktu dan ruang secara fisik.
Munculnya masyarakat, kebudayaan dan ekonomi baru dalam teknologi informasi menurut Castells merupakan restruturisasi fundamental sistem kapitalis, yang disebut sebagai kapitalisme informasi dan masyarakat informasi. Keduanya didasarkan atas informasionalisme. Inti dari analisis Castells adalah apa yang disebutnya sebagai paradigma teknologi informasi memiliki beberapa ciri utama.
Pertama teknologi informasi adalah semua jenis teknologi yang digerakan oleh manusia, jadi karena digerakan oleh manusia maka informasi tersebut dapat disajikan seturut kehendak dan kemauan aktor.
Kedua, karena informasi tersebut adalah bagian dari aktivitas manusia, maka teknologi dan informasi memiliki dampak besar baik secara langsung ataupun tidak bagi khalayak.
Ketiga, semua sistem yang menggunakan teknologi informasi didefinisikan sebagai logika jaringan yang memungkinkan mereka mempengaruhi berbagai proses dan organisasi.
Keempat, teknologi baru ini sangat fleksibel sehingga memungkinkan mereka beradaptasi dan bergerak secara konstan.
Kelima, teknologi-teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan sistem informasi menyatu menjadi satu sistem yang padu.
Berbagai ciri jaringan teknologi informasi di atas menunjukan bahwa semua pihak bisa saja keluar dan masuk dalam lingkaran sistem ini selama memiliki modal dan kemampuan untuk mengoperasikan teknologi dan mengelolah informasi.
Sifatnya yang terbuka, universal dan fleksibel memberi ruang secara umum untuk bebas menjadi warga masyarakat informasi.
Kemampuan teknologi untuk bekerja sebagai satu unit terpadu dalam waktu yang bersamaan pada skala planet juga menyebabkan penyebaran informasi semakin sulit dkendalikan karena beroperasi secara global. Masalahnya tidak semua orang kemudian mampu menempatkan teknologi informasi sebagai alat untuk menciptakan kemajuan yang berbau positif. Dalam hal ini transformasi informasi justru menjadi komoditas menarik untuk mendatangkan laba.
Merujuk pada sindikat Saracen, maka kapitalisme perlu disebut di sana. Dalam sindikat ini kelompok Saracen menetapkan tarif sekitar Rp 72 juta dalam proposal yang ditawarkan ke sejumlah pihak.
Mereka bersedia menyebarkan konten ujaran kebencian dan berbau SARA di media sosial sesuai pesanan asalkan melakukan pembayaran yang meliputi biaya pembuatan website sebesar Rp 15 juta, pembiayaan 15 buzzer sebesar Rp 45 juta per bulan, dan anggaran tersendiri untuk ketua sebesar Rp 10 juta. Sedangkan selebihnya adalah biaya untuk membayar orang-orang yang disebut wartawan.
Besarnya nominal yang ditentukan pada jasa penyebaran ujaran kebencian ini, jelas menunjukan bahwa kaum pemilik modal merupakan agen utama yang bermain dalam sindikat ini. Isu SARA dipakai untuk meracuni opini publik.
Kebiasaan instant masyarakat menyebabkan beragam informasi tersebut diterima dan ditelan bulat-bulat tanpa dianalisis terlebih dahulu sehingga mengarahkan energy masyarakat pada konfrontasi merusak diri. Sebagai akibatnya berbagai bentrok pun terjadi dimana-mana.
Pada sisi lain, keterbukaan jaringan seakan menjadi pelicin kerja kapitalisme. Sifatnya yang mengelobal menyebabkan kapitalisme semakin terorganisir berdasarkan aliran modal. Seperti hantu, kerja dari kapitalisme memang mengila, rapi tanpa cela. Tak terlihat namun sungguh menakutkan.
Sistem kapitalisme yang sulit diretas merupakan tantangan besar bagi Negara kita. Negara tentu harus lebih cerdas dan jeli ketika berhadapan dengan pengaruh kapitalisme.
Jangan sampai Negara kehilangan jati diri dan tunduk pada sistem kapitalisme lalu mengesampingkan kepentingan rakyat. Maka tugas Negara adalah memastikan jalan baru agar NKRI tidak mati dan hantu Saracen segera dimusnahkan dari dunia sosial dan alam maya Indonesia.***