Oleh: Ronald Adipati
Malam itu begitu lengang. Tiada sesiapa yang lalu lalang. Jangkrik enggan bermusik, katak enggan pula berpadu suara. Hanya suara tokek yang masih setengah ragu sesekali membisingi bilik ini. Satu, dua, dan hanya dua kali dia bersuara.
“Melet”* biasanya tokek yang mendiami loteng rumah ini terbilang cukup cerewet. Jika ia mulai bersuara, aku sampai cape menghitungnya: sepuluh, limabelas, duapuluh, dua puluh lima, dan seterusnya. Ia memang pandai memahami suasana rumah ini.
Begitupun malam ini. Ia enggan barangkali karena pemilik rumahnya rada-rada enggan. Ah, entahlah.
“Ayah”………….. suara panggilan itu membuyarkan lamunanku pada tokek di loteng rumahku.
“Ah, dia pasti sudah bangun lagi”, begitu bisikku dalam hati. Agak malas aku bangkit dari tempat dudukku berjalan enggan menuju kamar tidur. Ia masih terbaring, matanya masih sayu, tidur enggan bangunpun tak mau.
“Co,o adek, to,o ite ga?”*, tanyaku padanya. “Ayah cerita pe”, pintanya memelas dengan logat Manggarai yang kental. “Ah, anak ini tertular juga virus literasi”, pikirku.
Mungkin karena keseringan mendengar cerita anak-anak dari handphone hingga tengah malam beginipun ia masih memintaku untuk mendaraskan ulang cerita anak-anak yang sudah ia dengar entah untuk keberapa kalinya.
Akupun tak kuasa menolak permintaannya. Aku mulai bercerita tentang seekor kuda yang sombong. Seekor kuda yang menganggap dirinya hebat dan merendahkan binatang lain.
Suatu hari seekor semut yang merasa terinjak oleh sang kuda menantangnya untuk jatuh dari atas pohon tetapi sang kuda tidak berani dan malah kabur karena malu dengan sang semut.
Aku meliriknya sesekali dan sepuluh menit, dua puluh menit, ia mulai pulas terbawa mimpi malam.
Perlahan kutarik selimut dan mulai menyelimuti tubuh mungilnya sambil tak lupa mengecup keningnya: SELAMAT TIDUR NAI, TUHAN SERTAMU MALAM INI. Kata-kata yang selalu kudaraskan tiap malam ketika ia pulas tertidur.
Akupun dengan agak pelan dan perlahan meningggalkan tempat tidur menuju meja kerja tempat laptop dan kertas kerjaku masih stay on.
Adek, begitulah ia kusapa. Aku tak memanggilnya kaka sebagaimana yang lain memanggil anaknya yang pertama.
Tetapi jelas ada nuansa historis dan psikologis melatarinya. Aku merupakan anak bungsu dari lima bersaudara.
Sebagai anak bungsu perasaan membutuhkan hadirnya seorang adik entah laki/perempuan juga pernah mengusikku hinggga mengundang tanya kepada ibuku.
Pernah suatu ketika aku meminta adik kepada ibuku yang dijawabnya dengan perlahan: Nak, harga seorang adik itu mahal. Ibu harus mati supaya kau bisa mendapatkan adik.
Belakangan baru ku ketahui bahwa semenjak aku dilahirkan ternyata ibu menderita penyakit kanker leher rahim yang menurut analisis dokter, kecil kemungkinan untuk bisa menambah anak lagi tetapi jika bisa maka ibu harus rela untuk meninggal.
Ah, aku tak mau ibuku mati. Ibuku yang telah cukup umur dan kenyang pengalaman tentang pahit dan getirnya menjadi orang susah. Jelas kemudian niat untuk mendapatkan adik kubatalkan asalkan ibu tak mati.
Lagi pula, anakku kini adalah adikku, teman mainku yang telah lama kurindukan.
Rumah yang kami tempati tak begitu besar. Satu kamar tidur, satu ruang tamu, dengan perabotan seadanya cukuplah untuk kami berdua.
Berdua? Ya, berdua. Semenjak ibunya meningggal karena persalinannya sejak itu pula kami tinggal berdua.
Barangkali malam ini alam sengaja memberiku waktu bernostalgia. Ia sengaja memberiku ruang pengingat tentang pahitnya perpisahan kami.
Pantas alam begitu senyap dan penghuninya sedikit tak punya ruang riuhnya malam ini.
“Mana suaminya?”, tanya dokter yang menangani operasi kelahiran istriku.
“Saya Dok”, jawabku singkat. “Bapak Maaf beribu maaf, kami sudah mengerahkan segala daya dan upaya untuk menangani istri Bapak.
Si kecil bisa kami selamatkan tetapi Tuhan lebih menyayangi ibunya. Ibunya sudah pergi menjawab panggilan Tuhan”, kata dokter bedah yang menangani persalinan istriku.
Mendengar tuturan dokter, dunia seakan runtuh. Aku mencoba tegar tetapi tak bisa. Aku rapuh. Perlahan, setitik, dua titik air mata jatuh menyusuri kedua sudut mataku.
Istriku yang kusayangi, istriku yang kucintai meninggal karena persalinan. Ah, Tuhan Allah, dosa apakah aku ini sampai Engkau setega ini? Pernikahan kami masih belum seumur jagung.
Aku juga dia sejatinya masih membutuhkan curahan kasih sayang. Anak kami yang kau titipkan kepadaku nanti bertumbuh tanpa merasakan hangatnya kasih sayang ibunya. Ujian ini masih terlalu dini Tuhan. Saya belum siap.
“Nana, mai ce,e. Elo adek ho.o. Aduh gantengnya”, suara sang perawat memecah gelisah dan galauku. “Nana, iklaskan saja.
Tuhan punya cara lain untuk takdirnya. Bukankah kita ini miliknya? Nana harus sabar. Meski ibunya sudah tidak ada, jangan biarkan gundah dan gulanamu menjalar ke si kecil ini”, kata-kata sang perawat kemudian menghentak kesadaranku.
Aku memang dari tadi hanya menangis dan semua urusan terkait kepulangan jenasah istriku diambil alih oleh keluargaku.
Aku berjalan mendekati anakku yang oleh dokter perawat belum diijinkan pulang. Kutatap wajahnya kemudian menyapanya dalam tangisan.
“Adek, ibumu sudah tiada. Berjanjilah kepadaku untuk nanti tumbuh menjadi anak yang baik yang bisa membahagiakan ibumu di Surga.
Aku kini, ayah juga ibumu. Tuhan mengirimmu kepadaku untuk menguji batas kemanusiaanku. Bertumbuhlah dalam Cinta terhadap Tuhan juga ibumu”, kataku berbisik.
Pada akhir rangkaian kata itu, ia kemudian menangis. Buru-buru ku buatkan segelas susu formula di dot yang memang telah disiapkan istriku sebulan sebelumnya kemudian ku berikan kepada anakku. Ya, susu formula.
Tak ada tetesan Air Susu Ibu pertama buatnya. Ia mengisapnya sekejap kemudian terbaring diam.
********
Bayangan tentang perihnya lakon perpisahan itu menyakitkan hingga tanpa sadar dua, tiga, empat butir titik air mata jatuh perlahan kemudian mengalir deras laksana gelombang.
Kutengok jam dinding di kamarku dan tepat pukul 03.23 Wita. Mata ini belum juga bisa dikompromi.
Di tempat tidur, anakku terbaring. Ada damai dalam tidurnya. Desahan napasnya pelan dan hampir tak bersuara.
Ia yang kini mahir untuk hidup tanpa ibu mulai pelan-pelan melupakan kisah di waktu itu. Saya ingat dokter itu menceritakan tentang bagaimana ketika ajal datang menjemput istriku.
Ia meminta memeluk anaknya untuk yang terakhir kali sambil berkata: “Maafkan ibu, Anakku”.
**********
Cerita ini adalah hasil imajinasi semata. Jika ada kesamaan kisah, itu merupakan suatu kebetulan dan tidak mengandung unsur sengaja.
Ronald Adipati adalah alumnus STKIP St. Paulus Ruteng