Oleh: Alfred Tuname
Jakarta adalah kota sibuk. Setiap warganya terus bergerak dan bergegas.
Pragamatis “kerja, kerja, kerja” menciptakan manusia yang dikuasai waktu. Di hari libur dan weekend pun mereka bergegas.
Sebagai ibukota negara, Jakarta eksis sebagai kota “miniatur” Indonesia.
Tak peduli asal suku, agama, ras, golongan, warga Jakarta bergegas. Mereka yang malas akan tertindas kesengsaraan.
Mereka yang bergegas akan terlepas dari ketertindasan (ekonomi). Yang kerja pasti jaya, yang malas pasti masikin (miskin).
Itulah Jakarta kini. Hidup dalam hasrat tumpukan bakul ekonomi membuat warga Jakarta sejatinya tak peduli pada status perbedaan sosial.
“Money talk” adalah cara survive di Jakarta. Jika membaca ulasan dan deskripsi Jakarta dalam buku sejarah, ilmiah dan sastra, kultur “money talk” pasti mencuat ke permukaan.
Kehidupan ekonomi mulai terusik manakala masyarakat diingatkan lagi perihal perbedaan status sosial komunitas etnis, suku, golongan dan ras.
Memori warga Jakarta ditarik ke belakang pada pola diskriminatif pemerintah kolonial Belanda di Batavia.
Batavia dibagun oleh Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1619 berdasarkan peta yang digambar Simon Stevin.
Batavia sebenarnya duplikasi kota di Belanda, sebab orang-orang Belanda saat itu selalu rindu dengan kampung halamannya.
Maka benteng dan kanal-kanal dibangun di Batavia. Saat itu, Batavia berfungsi sebagai kota dagang dan benteng pertahanan (bdk. Kees Grijns dan Peter J.M Nas, ed., 2007)
Tetapi, di balik kehidupan kota Batavia yang megah saat itu, oud Batavia adalah kota budak (ibid).
Gelombang penduduk yang datang dari Jawa dan Sunda menjadi budak di Batavia.
Mereka dilarang masuk kota Batavia. Begitu juga dengan “bala tentara” yang didatangkan dari Bali, Ambon, Nusa Tenggara, dll tinggal di luar kota Batavia.
Jika diperlukan, mereka diundang untuk sekadar makan bersama di dalam kota Batavia.
Sementara itu, kolompok etnis Cina, Arab, Betawi juga hidup melebur bersama orang-orang Belanda dan Eropa di Batavia.
Selain Betawi, ada perlakuan khusus kepada para pedagang Cina dan Arab.
Diskrimasi itu menimbulkan luka sejarah yang laten hingga saat ini.
Yang jelas, priviledge utama ada pada kolonial Belanda dan orang-orang Eropa.
Batavia lulun dan hancur karena sebaran penyakit malaria, TBC, tifus, dan lain-lain.
Berbagai pemberotakan juga menghacurkan kehidupan kota dan benteng Batavia.
Munculah kampung-kampung yang berbasis komunitas etnis. Ada yang bertahan hingga saat ini.
Di antaranya, kampung Ambon, Manggarai, Melayu dan Pecinan (Glodok).
Rasa kebersamaan dan senasip tentu membuat masing-masing orang se-etnis berkumpul dan bangun ruang hidup bersama.
Ketika semua bergabung dalam Jakarta, konflik dan pertikaian nyaris sepi.
Capaian kesejahteraan lebih berharga ketimbang sibuk mengorek luka sejarah perbedaan.
Konflik hanya terjadi ketika kekuasaan memperdaya perbedaan etnis, suku, agama dan golongan demi kepentingan politik.
Kasus konflik Poso, Kupang, Ambon, Yogyakarta merupakan hasil design dan kepetingan politik elite-elite tertentu pasca runtuhnya rezim Orba.
Di Jakarta, konflik bernuansa SARA mencuat di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.
Elite-elite politik meruncing perbedaan agama dan megasah parang perbedaan etnis demi kekuasaan.
Lagi-lagi, politik mengorek luka sejarah lantas membiarkannya berdarah.
Pasangan Ahok-Djarot pun tumbang di Pilkada DKI Jakarta 2017.
Gara-gara politik itu, Ahok sudah dipenjara. Djarot sudah purna tugas dari jabatan wakil gubernur DKI Jakarta.
Anies Baswedan-Sandiaga Uno (Anies-Sandi) sudah menang dan siap bertugas. Persoalan kles sosial itu sudah selesai. Habis.
Tetapi, tidak bagi Anies. Pada pidato pelantikan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta di Balai Kota (16/10/2017), Anies mengungkapkan kalimat, “dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan.
Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri…” Tampaknya, ada kepolosan (innocent) Anies dalam penyataan itu, bahwa Jakarta tidak lagi dipimpin Ahok, tetapi Anies.
Persoalannya, Anies bukan politisi karbitan dan terkesan lugu.
Sebagai seorang yang pernah dinobatkan sebagai intelektual berpengaruh, Anies Baswedan pasti sadar dan mengerti arah dan maksud pernyataannya.
Bahkan ia sudah bisa menembak dampak kata “pribumi” yang ada dalam tulisan pidato pelantikannya.
Pasca Orde Baru, Presiden B.J. Habibie pernah menerbitkan Inpres Nomor 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi.
Jika membaca secara seksama, Inspres tersebut tidak bermaksud menghilang kata “pribumi” dalam bahasa Indonesia.
Inpres hanya ingin melenyapkan unsur-unsur diskriminatif dalam kebijakan pemerintah dengan penggunaan kata “pribumi”.
Itu berarti, Anies sudah pasti melanggar atau gagal paham aturan.
Konotasi yang diskirminatif rasial pada penyataannya tampak nyata.
Hermetika atas penyataan Anies tersebut adalah pemerintah Anies-Sandi yang disangkanya sebagai “pribumi” Jakarta akan menggunakan kekuasaan untuk “menyingkirkan” pihak-pihak yang disangkanya sebagai “non pribumi”.
Itu berarti keturunan Thionghoa (seperti Ahok) (dan bahkan kaum Kristiani) akan mendapat kesulitan dalam aksi pemerintahan dan kebijakan Anies-Sandi.
Jika demikian, pemerintahan Anies-Sandi membawa Jakarta abad 21 kembali ke Batavia abad 17-18. Le histoire se repete. Sejarah berulang.
Celakanya, arus balik itu bukan mengusung kejayaan bersama, melainkan mengulang luka kebiadaban dalam sejarah bangsa.
Sepertinya, Anies dalam langgam politik traumatiknya sedang menyusun suatu kekuataan yang traumatik pula.
Kata “pribumi” digunakan Anies sebagai “keyword” untuk merapakatkan kelompok dan barisan sakit hati: mereka yang terdesak oleh kepapaan dan fundamentalis agama dan mayoritas yang berpikiran sempit.
Mereka pun berkerumun jadi “bangsa” yang disangka pribumi, yakni “bangsa” karena kesamaan trauma, pikiran sempit, lugu dan fundamentalis serta di-fait accompli mencari musuh bersama.
Jika demikian, rasa-rasanya, Jakarta yang modern ternyata menyimpan mayoritas manusia “bangsa” traumatik.
Itulah penyakit manusia Indonesia. Lalu, qu’est-ce qu’une nation? Apa itu bangsa? Penyataan itu pernah ditulis sejarawan, filsuf dan sastrawan Prancis, Joseph Ernest Renan.
Menurut cendikiawan yang lahir di Treguier, Bretagne, Prancis, 28 Februari 1823 itu, fundamen esensial bangsa adalah “c’est d’avoir fait ensemble de grendes choses dans le passe et de vouloir en faire encore dans L’avenir” (pernah membuat hal-hal besar di masa lampau dan bertekad membuat hal-hal besar pula di masa depan).
Suatu bangsa yang besar harus berpikir besar melampaui setiap perbedaan SARA demi kebaikan dan kejayaan bersama.
Celakanya, bila kita tidak pernah belajar dari sejarah keburukan bangsa sehingga kita dihukum untuk mengulangi keburukan yang sama: Jakarta abad 21 mengulangi Batavia abad 17-18. Anies menjadi “authorintellectualis” kecelakaan sejarah itu.
Dengan demikian, soal pemimpin ternyata bukanlah urusan kapasitas kehebatan intelektual (seperti Anies Baswedan), melainkan persoalan mentalitas kolonial dan feodal yang masih melekat pada pribadi para pemimpin.
Kita ingat kata Mahatma Gandhi, “ setelah penjajah pergi, mereka yang pernah terjajah akan mengulangi perilaku penjajah ansich”.
Akhirnya, semoga Jakarta berubah dan lebih baik dari pemerintah sebelumnya.
Jakarta berubah bila meneladani kebaikan dan progresivitas kebijakan pemimpin terdahulu dan berbuat lebih dari apa yang sudah dibuat, bukan mengulangi kesalahan yang sama.
Alfred Tuname adalah Penulis dan Esais