Oleh: Ronaldus Adipati Kunjung
Pernahkan Anda menjejakan kaki di tanah Lamba Leda? Ketika Anda bertandang ke Lamba Leda, kesan pertama yang muncul dalam benak Anda adalah parahnya akses infrastruktur jalan raya, keramahan penduduknya, dan juga keterbelakangan lainnya.
Lamba Leda adalah sebuah kecamatan yang termasuk dalam wilayah administrasi kepemerintahan Kabupaten Manggarai Timur (Matim).
Kecamatan di Matim bagian utara itu memiliki luas wilayah ± 34.94 km2 dengan total penduduk sekitar 34.750 jiwa.
Topografi alamnya yang berbukit membuat kecamatan ini sering digelari sebagai salah satu daerah terisolir di wilayah Kabupaten Matim.
Tentu ini bukan tanpa sebab. Meski mempunyai potensi ekonomi yang cukup menjanjikan, jalur akses ke dan dari wilayah Lamba Leda yang tidak mendukung membuat gerak laju perekonomian masyarakatnya menjadi lambat.
Tengok saja, jalur Cabang Colol menuju Benteng Jawa. Kondisi jalan yang rusak parah seringkali mengundang teriakan ketakutan dari para penumpang: Yesus, Maria, Yosef, tolonglah kami (sebuah kalimat tolong kepada Tuhan dalam ajaran Katolik).
Musim Pilkada Matim seringkali menjadi cerita seru di tanah Mbula, Lamba Leda.
Setiap suku, juga keluarga yang sedikit punya pengaruh mulai berkalkulasi dan meracik strategi.
Jika ada anggota keluarga suku A yang tampil menjadi bakal calon Bupati/Wakil Bupati maka suku atau anggota keluarga lain tak mau ketinggalan.
Pertanyaan retoris yang seringkali mereka jawab sendiri adalah: Mengapa hanya suku atau keluarga mereka saja yang tampil? Keluarga kita juga bisa.
Maka mulailah bermunculan para bakal calon dari Lamba Leda. Entah serius atau tidak yang penting nama keluarga tidak mau tertinggal dari keluarga lain.
Alhasil, dari dua Pilkada yang telah kita lewati, minimal dua orang dari Lamba Leda maju ke Pilkada Matim entah sebagai Wakil atau sebagai Bupati.
Padahal, semakin banyak calon yang bermunculan dari satu wilayah maka peluang keterpilihan menjadi semakin kecil.
Pilkada di tanah Lamba Leda menjadi semakin seru bukan saja karena cerita menariknya visi misi atau program kerja yang wah, tetapi lebih dari itu menjadi ajang pertarungan harga diri, gengsi keluarga.
Jangan ada yang maju, semua pasti ikut-ikutan. Lihat saja dua periode Pilkada yang telah berlalu, pasti ada dua atau tiga orang yang muncul dari Lamba Leda.
Efek lanjutan dari gengsi ini adalah, jika analisis penulis benar, orang Lamba Leda tidak akan pernah bisa untuk memimpin Matim, sejauh gengsi dan harga diri tidak bisa dikendalikan.
Maka sampai kapanpun juga cerita ketertinggalan, cerita buruknya infrastruktur akan kerap menghiasi bibir-bibir juga media di Matim.
Pengaruh media tidak bisa dipungkiri menjadi faktor penting dalam memberitakan gagapnya pembangunan khususnya di tanah Mbula, Lamba Leda.
Infrastruktur jalan, jembatan penghubung, air, listrik dan infrastruktur lainnya sebagai soko guru tegaknya kemajuan hampir tidak menyentuh wilayah ini.
Ataupun jika sudah menyentuh, pembangunannya selalu asal jadi. Surat Kabar online VoxNtt.com (13/10/2017) menyajikan berita tentang pembuatan jalan aspal yang asal jadi.
Baru berusia dua minggu, lapen di jalur Benteng Jawa-Dampek Kecamatan Lamba Leda Kabupaten Manggarai Timur (Matim) sudah mulai rusak.
Diduga lapen tersebut dikerjakan asal jadi. Belum lagi suara-suara minor dari Lamba Leda bagian timur (Compang Necak, Waewego, Wae Nenda, Lompong, Pantar, dan sebagianya).
Wilayah-wilayah ini adalah daerah yang paling rentan untuk dilupakan oleh pembangunan, oleh pemangku kepentingan.
Satu hal yang paling miris, Desa Compang Necak di ujung timur Kecamatan Lamba Leda, pernah 12 orang penduduknya tewas dalam kecelakaan mobil sepulang dari Pasar di Benteng Jawa.
Tetapi sampai sekarang, niatan untuk membangun jalan beraspal ke wilayah ini masih pikir-pikir.
Sementara di sisi lain, wilayah ini merupakan salah satu wilayah penopang perekonomian Kecamatan Lamba Leda. Sungguh ironis memang.
Pesatnya laju pembangunan tidak serta merta membuat Lamba Leda makmur.
Meski infrastruktur kerap menggempur, narasi tentang pembangunan infrastruktur yang asal jadi jadi buah bibir.
Lamba Leda yang menurut tuturan pendahulu merupakan salah satu wilayah Kedaluan yang paling besar kini jatuh tersungkur di kaki pembangunan.
Cerita indah masa lalu dan pekik heroisme nenek moyang kini hanyalah dongeng pengantar tidur bagi anak cucu.
Barangkali lirik lagu semasa kecil ini cocok untuk mengungkapkan keperihatinan tentang tanahku, Lamba Leda: Bermain Pancasila, deko tumpak wa main (analisa le ru)- Bermain Pancasila, celana tambal (analisa sendiri).
Penulis tinggal di Necak, Kecamatan Lamba Leda