Oleh: Gusty Fahik*
Sebuah puisi berjudul “Maria Pulang” menjadi penutup diskusi kepenulisan yang diselenggarakan Komunitas Leko di Seminari Menengah Sta. Maria Immaculata Lalian-Atambua, Sabtu (21/10).
Puisi yang cukup singkat itu ditulis oleh Osny Mataubana, siswa kelas XII Seminari Lalian. Karena cukup singkat saya akan mengutipnya secara lengkap di sini.
Maria Pulang
Yoseph menggali kuburan
untuk liburan Maria nanti
Setiap kali Maria berlibur
Maria membeli jarum
dan aku menulisnya: Hujan
Yoseph tidur dalam kuburannya
Lalian 2016
Ketika mendengar dua baris pertama puisi ini dibacakan oleh penulisnya, saya berpikir Yoseph sedang mempersiapkan kuburan untuk Maria.
Kesan ini makin kuat ketika pada baris berikutnya penulis secara tersurat menggambarkan kebiasaan Maria membeli jarum ketika berlibur.
Namun, ketika tiba pada baris terakhir, saya kemudian terkejut sebab Yosephlah yang tidur dalam kubur yang seakan-akan ia siapkan untuk Maria.
Keterkejutan ini membuat saya kemudian memeriksa kembali baris demi baris puisi ini sekaligus berusaha mengoreksi kesan awal yang terlanjur hadir dalam kepala saya.
Dua baris pertama puisi ini menyebut secara eksplisit dua nama; Yoseph dan Maria, yang bisa dianggap sebagai tokoh dalam puisi.
Keberadaan dua tokoh ini kemudian memberi kesan, seolah-olah tindakan salah satu tokoh ditujukan bagi tokoh lainnya.
Dengan demikian aktivitas menggali kuburan yang dilakukan Yoseph (tokoh 1) seakan-akan ditujukan bagi Maria (tokoh 2).
Jika kuburan itu disiapkan untuk Maria, maka kuburan itu adalah kuburan Maria. Dengan lain perkataa, Yoseph menggali kuburan Maria.
Benarkah demikian? Rupanya tidak. Aktivitas itu ditujukan pertama-tama bukan untuk Maria, melainkan untuk liburan Maria.
Ini berarti, aktivitas menggali kuburan dilakukan Yoseph untuk sebuah momen, bukan untuk seseorang.
Hal ini dipertegas dengan hadirnya sebuah kata keterangan, nanti, pada akhir baris kedua.
Ada sebuah momen yang sedang dinantikan Yoseph, dan momen tersebut membawa serta kehadiran Maria.
Saya sengaja membatasi kuburan sebagai sebuah benda, dan liburan sebagai sebuah momen untuk mencari lebih jauh hubungan antara keduanya, serentak hubungan antara Yoseph dan Maria. Kuburan dan liburan adalah tempat dimana orang memperoleh istirahat.
Bedanya ialah istirahat dalam kuburan sifatnya abadi, sedangkan istirahat dalam liburan bersifat sementara, tidak abadi.
Orang bisa berkali-kali menikmati liburan, tetapi orang hanya akan sekali menikmati istirahat dalam kuburan.
Dengan kata lain, orang bisa memiliki begitu banyak liburan dalam hidupnya, tetapi orang hanya akan memiliki satu kuburan di akhir hidupnya.
Kuburan yang disiapkan untuk sebuah liburan sebetulnya memberi arah pada penafsiran tentang bersandingnyasesuatu yang hanya mungkin dinikmati satu kali, dengan sesuatu yang dapat dinikmati berkali-kali.
Proses yang terus-menerus dijalani seperti sebuah rutinitas dengan akhir yang hanya mungkin dinikmati satu kali sebagai sebuah kepastian yang tidak mungkin dielakkan.
Pemilihan dua penanda ini hemat saya memberi bobot terhadap puisi dan penulisnya yang masih terbilang berusia sangat muda, seorang siswa kelas XII sekolah menengah.
Adapun mengenai hubungan Yoseph dengan Maria,Osny membiarkan penikmat puisinya untuk mereka-reka segala yang mungkin.
Apakah mereka sepasang kekasih? Dua bersaudara? Ayah dan anak? Atau dua sahabat yang terpisah oleh jarak dan waktu? Semua serba mungkin, meski dengan konsekuensi penafsiran yang berbeda.
Kecenderungan Osny untuk memberi ruang imajinasi bagi penikmat puisinya ini akan kembali terulang pada bait kedua puisi “Maria Pulang.”
Pada bait kedua yang terdiri atas tiga baris, Osny melanjutkan kisah yang dimulainya pada bait pertama.
Osny mengisahkan apa yang menjadi kebiasaan Maria ketika berlibur, Maria membeli jarum.
Dengan hanya menyebut jarum, Osny seakan membiarkan penikmat puisinya untuk kembali bertanya-tanya, jarum apa yang dibeili Maria? Jarum jahit, atau jarum suntik, atau jarum pentul atau jarum yang lain? Belum usai pertanyaan ini dijawab, Osny sudah memberi kejutan baru dengan menghadirkan tokoh ketiga,aku lirik.
Kehadiran si aku lirik sebagai tokoh ketiga serentak menghadirkan pula sebuah penanda baru yakni hujan.
Pada sisi lain kehadiran aku lirik dalam bait kedua juga mengeliminasi kehadiran Yoseph.
Ini berarti pergantian bait sekaligus menjadi momen pergantian tokoh, meski tidak seluruhnya, sebab Maria menjadi tokoh yang tetap hadir dalam dua bait ini.
Menariknya adalah dalam bait pertama dan kedua Osny selalu menggunakan dua tokoh. Pada bait pertama ada Yoseph dan Maria, sementara pada bait kedua ada Maria dan si aku lirik.
Mari kita lihat peran yang dimainkan oleh masing-masing tokoh dalam bait kedua.
Pada bait kedua, Maria membeli jarum, sedangkan si aku lirik mencatat(nya).Aktivitas mencatat yang dilakukan si aku lirik pada level tertentu dapat disamakan dengan peran Yoseph menggali kuburan.
Mereka sama-sama bekerja untuk sesuatu yang abadi. Mereka berjuang mengekalkan sesuatu.
Sebagaimana kuburan menjadi tanda istirahat yang kekal bagi seseorang, demikian juga sebuah catatan mengekalkan peristiwa-peristiwa yang mungkin dapat begitu saja dilupakan orang. Verba volant, scripta manent, yang terucap lenyap, yang tertulis tetap.
Selain peran masing-masing tokoh, jarum dan hujan yang dimunculkan dalam bait kedua adalah dua benda yang sama-sama menhujam. Hujan selalu turun dari ketinggian dan menghujan ke bumi.
Demikian pula halnya dengan jarum yang hampir selalu digunakan untuk menghujam sesuatu seperti tubuh manusia, kain jahitan atau benda-benda lainnya.
Artinya, Osny secara cerdas menempatkan dalam sebuah kesejajaran, baik tokoh maupun penanda-penanda lainnya.
Kejutan dari puisi ini muncul pada bait terakhir: Yoseph tidur dalam kuburannya. Ini juga menarik, sebab Osny menggunakan kata tidur.
Artinya ada dua kemungkinan: Yoseph masih hidup dan tidur dalam kuburan yang ia gali (bdk, bait 1) atau tidur adalah istilah lain untuk melukiskan seseorang yang meninggal dan terbaring dalam kuburan.
Jika memilih kemungkinan pertama maka bisa saja Yoseph sengaja menggali sebuah kuburan untuk dijadikan tempat bermain selama liburan Maria.
Tentu saja ini agak sulit diterima, sebab kuburan bukan tempat untuk bermain. Kuburan hampir selalu dipandang sebagai tempat yang dihargai sebab di sana terbaring jasad orang-orang yang pernah hidup.
Kemungkinan kedua kelihatan cukup bisa diterima, bahwa Yoseph sebetulnya telah meninggal dan terbaring (dibaringkan) di dalam kuburannya.
Ia telah menyatu dengan bumi yang selalu setia menanti hujan yang dicatat si aku lirik. Adakah hubungannya dengan kebiasaan Maria membeli jarum setiap kali liburan?
Puisi Osny Mataufani, siswa kelas XII Seminari Lalian ini saya anggap cukup istimewa karena dibacakan pada bulan Oktober sebagai bulan bahasa.
Meski cukup singkat, puisi ini hemat saya cukup berhasil menunjukkan bahwa persoalan berbahasa bukanlah hal yang sederhana.
Puisi ini menarik justru karena ia mengandung jebakan-jebakan yang membuat penikmatnya mesti memeriksa kembali asumsi-asumsi spontan yang bisa saja muncul dari ketidakcakapan berbahasa.
Pengguna bahasa sering kali terjebak dalam ketidakcermatan membedakan unsur-unsur paling sederhana dalam sebuah kalimat seperti subjek, predikat dan objek.
Bila bahasa masih diyakini sebagai unsur yang turut membentuk dunia sosial dan budaya sebuah masyarakat, maka kemajuan masyarakat harusnya bisa dilihat dalam kecakapan para anggotanya menggunakan bahasa.
Sebab bahasa juga mensyaratkan keterkaitan (relasi) di antara penanda-penanda yang bisa dimaknai secara berbeda-beda dan bisa saja tidak terbatas.
Puisi adalah salah satu sarana menjaga keelokan berbahasa, serentak menjadi arena untuk menguji ketajaman logika berbahasa anggota masyarakat.
Selamat berbulan bahasa…
Penulis bergiat di Institut Sophia dan Komunitas Leko Kupang