Ketika Karang Saling Memandang
(for Foursma Kupang*)
Ku ajak hatiku menuntun tapak berseri nun letih
Dari irama-irama penharapan yang pernah kita gantungkan
Lalu kejar dengan segala ringkik lelah
Hidup ini ziarah juga Tanya yang tak bertepi
Hati tak henti menuntun rasa
Mengekalkan kisah dengan kidung-kidung flobamorata
Kenangan adalah luka yang memantik rindu keluh di hati
Kita akhirnya pergi nanti juga lenyap
Terhempas dari rahim panutan
Cita hidup kita adalah segala tentang yang senang
Catatan-catatan waktu lalu bersileweran
Waktu memang tuan untuk segalanya
Rahim panutan memanggil
Ketika usia sudah terjual
Rindu sudah dua muka
Ketika karang saling memandang
Pinjam Sayapmu
Ku pinjam sayapmu
Meski dalam mimpi
Tuk terbang tinggi bersama angin sepoi
Menoreh aneka kisah
Merenda lalu melumat dalam sua
Ah asmara pertama
Saat angin mengundang
Ada notasi-notasi yang berceracau
Melumat kata jadi sua
Terbitlah cinta jadi senyum
Tahun-tahun berlalu
Ziarah ini pantas kita simpan
Ah pelangi cinta
Pinjamkan aku sayapmu untuk menemukan kenangan
Memeluk Pelangi
Perempuan-perempuan yang letih memeluk kenangan itu akhirnya berangkat ke langit
Tak ada yang lebih mulia selain rindu memeluk pelangi
Ketika tiba, air mata pelangi jatuh dirundung kekal peluk perempuan-perempuan letih
Perempuan-perempuan itu tak pernah sendiri
Hanya kadang pergi jika luka tersayat pada hati
Perempuan-perempuan itu selalu menerbitkan rindu
Karena di bidar dadanya
Mengalirlah kehidupan yang kelak rindu juga pulang ke langit memeluk pelangi
Firmus Kana, penyuka puisi, saat ini tinggal di Mukusaki-Ende Lio. Puisi ini adalah persembahan untuk kawan-kawan alumni SMAN 4 Kupang.
Yang Luhur dari Puisi
Oleh Hengky Ola Sura, Redaksi Seni dan Budaya VoxNtt.com
Menurut penyair metafisik Inggris, John Keats, puisi adalah satu-satunya yang mampu merangkul manusia dalam keterasingannya. Keluhuran puisi pulalah yang membawa Aristoteles sampai pada penilaian bahwa puisi harus berperan menciptakan efek katarsis guna menekan adanya nafsu. Dua afiramsi ini saya kira cukup mengena jika dilekatkan pada tiga puisi dari Firmus Kana pada edisi kali ini.
Firmus memang fokus menulis puisi untuk kawan-kawan angkatannya di SMAN 4 Kupang toh tiga puisinya jadi semacam pilinan kenangan yang ikut merangsek ingatan pembaca untuk masuk dalam segala yang bernama perjumpaan, suka-duka juga impian-impian saat ada bersama. Pada puisi Ketika Karang Saling Memandang, Firmus dengan telaten mengguratkan kata jadi satu suasana yang dekat sekali dengan masa-masa ada bersama. Pengalaman sesungguhnya adalah jarak yang hanya berhenti sebentar lalu berkelana lagi. Ini bisa jadi penegasan yang paling lekat dengan puisi Ketika Karang Saling Memandang. Diksi untuk judul ini saja sudah sangat puitik untuk menggambarkan betapa pengalaman ada bersama itu diramu jadi satu keluhuran hidup.
Pada puisi Pinjam Sayapmu, ada semacam ambiguitas akan diksi sayap. Toh pilihan kata macam ini jadi daya tarik yang membawa pembaca ikut berkelana. Mereka-reka puisi ini saya ikut disadarkan bahwa mimpi jadi serupa kegairahan bertemu sosok atau tokoh serupa malaikat yang dirindukan penyair untuk membawanya pada perjumpaan-perjumpaan saat ada bersama, saat jatuh cinta juga saat-saat merenda cita. Puisi ini pun saya kira masih tetap ditujukan pada sahabat-sahabat sang penyair kita minggu ini untuk kawan-kawannya.
Selanjutnya pada puisi Memeluk Pelangi, Firmus saya kira mendedikasikan puisi ini pada sejumlah sosok/tokoh perempuan luar biasa. Refleksi tentang kedalaman dari puisi ini saya kira baru menjadi nyata saat membaca penggalan baris
Karena di bidar dadanya
Mengalirlah kehidupan yang kelak rindu juga pulang ke langit memeluk pelangi
Puisi ini bisa jadi sebuah penghormatan akan sosok-sosok yang dikagumi sang penyair. Ya begitulah puisi, dunia aneh ini serupa jalan pulang untuk memurnikan segala yang bernama kenangan. Puisi selalu lahir karena digdayanya yang luhur mematuk-matuk perasaan untuk memurnikan kualitas hidup.