Kupang, Vox NTT-Dinamika politik menjelang pemilihan Gubernur NTT pada tahun 2018 mendatang ditanggapi Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) cabang Kupang.
Sebagai organisasi mahasiswa yang turut berkontribusi membangun NTT, GmnI secara khusus menyerukan fenomena tarik ulur dukungan calon dari partai politik yang akhir-akhir ini cukup dinamis.
“Kami mencium aroma tak sedap berupa politik transaksional yang sangat kental dalam pilgub kali ini” tegas Ketua DPC GmnI Kupang, Leonardus Liwun kepada Vox NTT, Kamis (02/11/2017).
Leo, demikian ia disapa menegaskan aroma politik transaksional itu sangat tampak dalam tarik ulur dukungan partai politik tertentu dalam mengusung calon Gubernur.
“Fenomena ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan NTT ke depan apalagi jika sejak awal sudah diwarnai politik uang dan transakasi kepentingan pragmatis” tegasnya.
Leo menegaskan, soal besar kita selama ini, koalisi politik yang pernah dibentuk kerap tidak mampu menghadirkan pemerintahan yang efektif. Ketidakefektifan pemerintahan koalisi ini terjadi karena dua alasan.
Pertama, koalisi dibangun tanpa komitmen yang jelas pada gagasan kebaikan umum.
Kedua, koalisi dibangun hanya untuk kepentingan power sharing atau sekedar bagi-bagi kekuasaan.
Akibatnya, koalisi politik tidak pernah sampai pada level substantif. Demokrasi mandeg di tangan elit politik opurtunis.
“Bagi saya, inilah bahaya terbesar dari model koalisi ‘bongkar-pasang’ ini” ungkap Leo.
Menurut Leo, fenomena merebut kendaraan politik inilah yang menjadi titik rentan kuasa uang dalam politik.
“Di sini politik transaksif bisa mendapat kepenuhan. Politik uang memang sulit dibuktikan mengingat kecanggihan pemainnya dalam menyembunyikan kedok, namun dampak politik uang mudah dirasakan oleh semua orang termasuk yang awam politik sekalipun,” ungkapnya.
Pada bagian lain aroma tak sedap itu mengemuka lewat pengusungan kader yang asal-asalan. Menurut Leo, proses penjaringan kader seharusnya mengacu pada tiga poin penting yakni kapabilitas, integritas dan elektabilitas.
“Ketiga point ini seharusnya menjadi acuan partai politik dalam mengusung kader” pungkasnya.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Andre J