Ruteng, Vox NTT-Waktu sudah malam. Suasana hening seketika di tengah kebisingan bicara Pemilihan Gubernur (Pilgub) tahun 2018 mendatang.
Tua adat itu kemudian memanggil Benny K Harman (BKH) dan keluarga agar duduk sejejer dengannya di dekat Siri Bongkok (tiang utama rumah adat Manggarai).
Mereka duduk dengan posisi kaki melipat dan menghadap ke pintu utama rumah adat.
Sementara di luar rumah adat Kampung Denge Desa Satar Lenda Kecamatan Satarmese Barat Kabupaten Manggarai itu ratusan keluarga sedang menyimak dengan tenang jalannya ritus adat.
Nama ritus adat Manggarai itu ialah wuat wa,i one mai tana poro putes (ritus adat perutusan dari tanah kelahiran).
Fabianus Bahat, tu’a gendang (tua adat) Kampung Denge selanjutnya memanggil arwah leluhur untuk datang ke rumah adat.
Intonasi suara Fabianus begitu pelan, selayaknya orang yang sedang merintih dan memohon anugerah Tuhan. Ia sampaikan itu dalam bahasa adat Manggarai memanggil para roh leluhur.
Merinding memang, sebab ia sedang memanggil roh yang tentu saja tidak terlihat.
Baca Juga:
- Maju Calon Gubernur NTT, Benny Harman Ziarah Adat ke ‘Anak Rona’
- Safari ke Narang, Begini Peneguhan BKH untuk Keluarga
Sambil memanggil arwah leluhur sebagai naga tana (penjaga tanah), tangan Fabianus memegang seekor manuk lalong bakok (ayam jantan berwarna putih). Sementara dua tokoh adat di samping kirinya masing-masing memegang ayam yang lain.
Ayam jantan putih sebagai hewan kurban dalam ritus wuat wa,i itu untuk berdoa kepada Sang Kuasa.
Dia berdoa meminta restu dari Tuhan dan roh leluhur agar BKH menang dalam pesta Pilgub NTT di tahun 2018 mendatang.
Usai torok (bicara adat) dengan nuansa doa, warga yang lain kemudian memotong ayam itu lalu dibakar.
Ayam jantan putih itu dipotong bersamaan dengan dua ayam yang masyarakat lokal menyebutnya lalong cepang (ayam jantan berbulu merah) dan manuk kina rae (ayam betina kemerahan).
Manuk lalong bakok digunakan sebagai ucapan syukur dan permintaan kepada Tuhan. Lalu, manuk lalong cepang sebagai simbol keberanian dalam meraih cita-cita. Sedangkan manuk kina rae digunakan untuk menangkal roh jahat sebagai penghalang perjuangan mengejar cita-cita atau orang-orang yang berkehendak buruk.
Setelah dibakar, sebagian daging ayam dengan sedikit nasi disimpan dalam piring untuk selanjutnya menjalankan ritus helang (memberi makan kepada roh leluhur).
Agus Kabur, kakak kandung BKH menjelaskan mereka menjalankan ritus wuat wa’i di rumah gendang Denge lantaran di situ ia dan kedelapan saudaranya dilahirkan.
Kampung Denge kata dia, adalah tana poro putes mereka (tanah atau tempat tali pusar mereka dipotong).
Di sana ibunda Katarina Ulus mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan BKH dan delapan saudaranya yang lain.
Ayah mereka Damianus Kabur mengajar di SDK Denge tahun 1955-1982. Itulah sebabnya BKH dan saudara-saudaranya dilahirkan di Kampung Denge.
“BKH termasuk kami adalah salah satu orang yang menghargai adat. BKH tidak lupa tana poro putes agu tana loas (tanah tali pusar dipotong dan tanah kelahiran),” ujar Agus saat berbincang-bincang dengan VoxNtt.com.
Sebagai orang yang menghargai adat Manggarai lanjut dia, BKH wajib datang menjalankan ritus adat meminta restu leluhur agar niat memimpin NTT lima tahun ke depan dapat terwujud.
Terpisah, BKH dalam orasi politiknya di depan ratusan masyarakat Denge menjelaskan ia dan keluarganya menjalankan ritus adat di kampung itu bukan tanpa alasan.
Ia sadar bahwa Kampung Denge merupakan tanah kelahirannya. Sesaat setelah dilahirkan tali pusarnya dipotong di tempat itu.
Karena itu sebagai orang yang menghargai adat, maka dirinya wajib datang meminta restu leluhur dan keluarga agar perjuangannya menjadi Gubernur NTT lima tahun ke depan dapat tercapai.
Penulis: Adrianus Aba