(Soal Bakal Calon Gubernur NTT Asal Manggarai)
Oleh: Lasarus Jehamat
Sosiolog Undana; Peneliti Institut Sophia Kupang
Manggarai (Raya) masih menyimpan banyak sekali sumber daya manusia politik. Elit politik yang berasal dari Manggarai NTT seperti tidak pernah habis. Mereka berkiprah di berbagai level; lokal hingga nasional.
Wajar memang. Selain karena dukungan jaringan, struktur sosial dan perkembangan modernitas memberi ruang yang cukup bagi banyak orang untuk terlibat dalam berbagai bidang termasuk politik. Saya tidak perlu menyebut satu per satu orang Manggarai yang wajahnya nampak di beberapa media dan namanya selalu disebut di banyak kesempatan. Yang pasti, Manggarai bagaikan lahan; tempat tumbuhnya generasi emas bangsa dan daerah ini.
Ketika menyebut Manggarai, saya tidak sedang mengabaikan tokoh dari daerah lain di daerah ini. Semua daerah jelas memiliki karakteristik dan dinamika perkembangan elit. Selain karena saya sedikit tahu tentang mereka yang gemar disebut elit itu, karena berasal dari Manggarai, dari aspek politik, Manggarai (raya) menjadi salah satu wilayah yang memiliki cadangan tokoh yang sering nampak ke publik melalui berbagai media.
Saya pun harus mengatakan bahwa pernyataan ini tidak sedang mengabaikan daerah lain berikut tokoh-tokoh yang dilahirkan dari daerah lain tersebut.
Tulisan ini ingin membahas banyaknya bakal calon Gubernur NTT yang berasal dari Manggarai berikut implikasi politik akibat ramainya mereka berkontestasi.
Data menunjukan bahwa di tahun 2008 lalu, saat kontetasi politik tingkat provinsi berlangsung, hanya nama Gaspar Parang Ehok (Almarhum) yang muncul.
Tahun 2013, 2 orang putera Manggarai coba mengejar mimpi. Muncul Beny K Harman (B) dan Chris Rotok (C) kala itu.
Saat ini, ketika kontetasi politik baru akan dilakukan tahun 2018, empat nama bakal calon muncul bersamaan datang dari Manggarai; Beny K Harman (B) dan Chris Rotok (C), dan Andre Garu (A). Itu belum termasuk beberapa nama yang masih beredar kuat di masyarakat saat ini seperti Robert Soter Marut (R).
Pertanyaan penting yang harus segera dijawab oleh mereka itu adalah apakah filosofi ‘muku ca puu’ (persatuan/persaudaraan) sudah benar-benar hilang di Manggarai hanya karena orang Manggarai sudah mengenal paham demokrasi modern yang memiliki nilai kebebasan itu?
Lalu, apakah ‘lonto leok’ (duduk bersama) untuk membahas masalah bersama telah ditelan oleh satu dua kepentingan mereka yang memiliki kepentingan itu? Maka politik yang sedang dimainkan Beny (B), Chris (C) dan Andre (A) harus segera digugat agar tidak memunculkan realitas ‘Am (A) Bike (B) Cepisa (C)’ (soliditas Manggarai mungkin akan pecah nanti).
Manggarai akan kehilangan momen jika Beny, Chris dan Adri (BCA) tidak segera duduk bersama (lonto leok) sebab tanda-tanda perpecahan (ABC) mulai menunjukan dirinya secara real dan faktual.
Salah Paham
Demokrasi yang diangkut dari luar NTT dan Manggarai mengusung sebuah nilai kebebasan. Maka, setiap orang memiliki hak yang sama dalam politik. Hemat saya, itulah yang menyebabkan tiga atau beberapa tokoh yang berasal dari Manggarai ramai dan sibuk berkontestasi dalam politik lokal NTT.
Masalahnya adalah setiap yang mau bersaing itu sangat paham dengan politik dan mereka memiliki cadangan pengetahuan tentang demokrasi yang hampir paripurna. Baik jika dilihat secara obyektif dan dari latar belakang teoritik.
Masalah lain muncul di sini. Semua yang belajar demokrasi akan sepakat mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah memiliki infrastruktur politik. Hanya saja, Indonesia kandas di level praktik. Itulah alasan mengapa para ahli politik menyebut Indonesia masuk dalam kategori negara yang masih berkutat dengan transisi demokrasi.
Kenyataan tentang demokraasi hemat saya dipahami secara salah dan keliru oleh para bakal calon gubernur asal Manggarai. Nafsu yang menggebu-gebu atas kekuasaan rupanya menutup mata hati dan pikiran mereka untuk duduk bersama. Mereka lupa bahwa di level sosial, politik Indonesia dan juga NTT masih terjebak dalam beragam sekat. Primordialisme etnis dan agama menjadi taruhan penting di sana.
Kalimat ini tidak untuk mengatakan bahwa saya anti terhadap nilai-nilai demokrasi dan terjebak dalam beragam politik primordial murahan. Saya hanya ingin menggugah mereka yang mengejar kekuasan dan kebetulan berasal dari Manggarai.
Selain menggugah, saya juga harus menggugat apatisme para bakal calon untuk duduk bersama dalam kerangka ‘lonto leok’. Sebab, keputusan dalam ‘lonto leok’ jelas merupakan buah dari demokrasi juga.
Saya yakin benar bahwa pilihan untuk maju dalam kontestasi itu tanpa skema ‘lonto leok’ terlebih dahulu. Naïf dan sungguh memalukan. Jika mereka belajar sejarah untuk mengingat sedikit sisa-sisa data lama politik lokal NTT, sulit untuk tidak mengatakan bahwa politik yang terlampau egois dan ingat diri tidak akan laku dijual. Bayang-bayang kekalahan jelas menanti di sana.
Egoisme individu dan hasrat kekuasaan kental menyelimuti orang-orang seperti ini. Sebab dasarnya jelas. Jika benar mereka mewakili masyarakat Manggarai dan NTT secara umum, mengapa nian tidak berdiskusi dan duduk bersama terlebih dahulu.
Saya harus katakan sekali lagi bahwa pernyataan ini tidak sedang menolak liberalisme politik dengan kebebasan individu sebagai nilai pokoknya. Masalahnya adalah realitas di masyarakat yang telah matang berdemokrasi jauh berbeda dengan kita yang masih menjajaki demokrasi. Hampir pasti bahwa masyarakat Manggarai mencibir kerja elit yang berwatak seperti ini.
Pilihan sekarang adalah duduk bersama para elit dan masyarakat Manggarai di ruang lonto leok. Ini penting dilakukan. Diskusi dan duduk bersama tidak saja bertujuan untuk proses mendapatkan kekuasaan (Gubernur NTT) tetapi menunjukan kekuatan sosial dan budaya lonto leok. Sebab, sekarang, banyak orang di luar Manggarai mentertawai model dan pola perilaku politik elit Manggarai.
Kalau itu tidak dilakukan maka masyarakat Manggarai harus memilih calon lain di luar Manggarai. Itu bentuk hukuman atas kecongkakan elit poliitk Manggarai dan kepongahan kekuasaannya. Sadarlah!