(Catatan dari Kota Pahlawan untuk NTT)
Oleh: Alex Andiwatir*
Catatan awal
Hingar bingar pesta demokrasi dalam Pilkada serentak tahung 2018 mendatang, kini semakin memancar.
Setiap figur yang merasa dirinya mampu menahkodai daerahnya bersiap – siap untuk melegitimasikan dirinya sebagai figure public yang pantas dalam persiapan perhelatan akbar tersebut.
Pribadi-pribadi ini dengan berbagai strategi dan tips merancang jargon – jargon menarik demi memikat hati rakyat. Mereka juga menelorkan visi – misi dan program – program unggulan untuk meraup dukungan.
Pada sisi lain, kendaran – kendaraan politik yang berperan sebagai perantara kekuasaan politik telah membuka dirinya untuk menerima deretan nama – nama yang telah setia menanti.
Dengan cara yang sama kendaraan politik ini telah menyiapkan strategi dan taktik melaui fit and proper test untuk mencari figur andalan mereka.
Berbagai cara dan metode telah dilakukan oleh masing – masing pihak. Baik oleh partai politik maupun figure – figure yang sudah mendaftarkan diri. Mereka hadir dengan berbagai motivasi dan kepentingan.
David McClelland (1917-1998), seorang Psikolog asal AS dalam teori tiga motivasi social, menyatakan bahwa dalam kehidupan social, sesorang memilki motif – motif tertentu.
Pertama, Achivment Motivation. Orang yang ingin berprestasi akan berusaha untuk menghadapi tantangan agar cita – cita dan harapannya dapat terwujud. Bagi kandidat yang maju dengan motif ini, melihat tantanagan sebagai peluang untuk berprestasi.
Kedua, Affiliation motivation; Orang – orang dengan motif ini adalah mereka yang ingin menjalin persabaatan atau hubungan yang harmonis agar dapat diterima oleh orang lain. Dia yang maju dengan motif lebih menekankan dirinya pada interkasi pribadi dalam melakukan setiap pekerjaan.
Dan yang ketiga adalah Power Motiv; yakni motif yang dimliki oleh seseorang untuk berusaha mengarahkan orang lain dalam keuasaannya. Hal ini menurut catatan McClelland adalah perilaku yang tidak diinginkan. Namun di sisi lain perilaku ini juga perlu karena dibuthkan oleh perusahaan atau lemabaga untuk dapat membangun institusi yang dipimpinnya.
Dengan beragam motif ini, setiap orang akan mendeklarasikan dirinya untuk menjadi pemimpin. Ada diantara mereka mengklaim bahwa dirinya adalah figure yang memilki pure motiv yaitu semata – mata untuk perubahan dan peningatan kehidupan rakyatnya.
Ada figure yang piawai dalam beretorika, sangat memukau dan berhasil membuat rakyat terpesona namun gagal dalam mengeksekusi kebijakannya sendiri.
Namun ada figure yang sedikit berbicara, namun memilki daya yang memukau. Ia menghipnotis rakyat dengan hasil kerja yang memuaskan.
Utopia Kesejahteraan
Moment lima tahun ini adalah rutinitas yang polanya hampir sama dengan janji – janji atau kontrak politik namun diakhir cerita hasilnya hampir sama. Diawali dengan janji – janji yang muluk serta taktik politik yang dinamis namun hanya memberikan harapan palsu pada rakyat. Ini adalah siklus yang terus berulang dari pilkada ke pilkada.
Mirisnya, kemiskinan dan kesenjangan social yang ada, seolah – olah didiamkan. Kemisikinan adalah realitas yang tidak berusara, namun gaungnya sangat nampak. Realitas ini tak dapat dipungkiri dan ada di sekitar kita, bahkan sedang kita alami.
Selain itu, potret pendidikan yang sangat memprihatinkan. Di beberapa daerah, anak- anak sekolah harus berjuang melawan alam untuk menuntut ilmu.
Mereka harus melewati sungai yang tidak berjembatan, berpayung daun pisang dan tak beralas kaki (tanpa sandal dan sepatu). Ironisnya, setelah mereka tiba di sekolah tempat mereka menuntut ilmu, di sana tidak ada seorang pendidik. Jika ada pun hanya satu atau dua orang. Inilah potert pendidikan kita. Pemerataan pendidikan dan ekonomi hanyalah utopia belaka.
Suara kebijakan pemerintah dalam rencana pembangunan terdengar memukau hingga ke pelosok – pelosok daerah, namun eksekusi atas realisasi program seakan – akan tidak terdengar. Hasil yang ditampilkan adalah kurang lebih seperti hasil yang kemarin. Tidak menampakan perubahan yang siginifikan.
Quo Vadis NTT?
Melihat situasi dan kondisi ini, setiap figure yang merasa dirinya mampu untuk membenahi seluruh aspek kehidupan ini merasa terpanggil untuk tampil sebagai pahlawan. ‘Panggilan’ ini dalam konteks Pilkada serentak, akan tampak dalam kekuasaan.
John R.P. French dan Betram Raven (1959) menguraikan macam-macam kekuasaan.
Pertama Kekuasaan Paksaan (Corecive Power) yakni kekuasaan yang diberikan secara paksa kepada seseorang yang tidak ingin mengemaban tugas itu. Pemberian kekuasaan itu dimaksudkan untuk memodifikasi perilaku.
Kedua, Kekuasaan Imbalan (Insentif power) yakni kekuasaan yang diberikan kekapda seseorang atas kepatuhannya. Hal ini sangat berkaitan erat dengan teknik modifikasi perilaku. Berupa pemberian reinforcement sebagi bentuk rangsangan untuk tetap mempertahankan perilaku yang ada.
Ketiga, Kekuasaan Sah (Legitimate Power); kekuasaan jenis ini merupakan kekuasaan yang diperoleh lewat kemampuan seorang figur mempengaruhi pilihan politik. Kekuasaan ini sangat dipengaruhi oleh bakat dan kemampuan seseorang dalam mengaplikasiakan seni dari kekuasaan tersebut. Ia mampu mengejahwantakan ide-ide ke dalam tataran praktis.
Keempat, Kekuasaan Pakar (Expert Power); Kekuasaan yang diberikan kepada seseorang karena dia memilki keahlian yang khusus.
Kelima, Kekuasaan Rujukan (Referent Power); Kekuasaan jenis ini merupakan kekuasaan sesorang yang berbasiakan kharisma yang dimilki. Ia tidak hanya memilki keyakinan – keyakinan sendiri (faktor atribusi) tetapi juga ia memilki tujuan – tujun luhur abadi yang supernatural.
Kembali ke NTT, Provinsi ini sudah lama dikenal sebagai daerah yang miskin. Karena itu judul dari tulisan ini adalah tertinggal, karena sebenarnya NTT meruakan daerah yang kaya akan sumber daya alam.
Karena itu NTT tercatat sebagai daerah yang tertinggal. Tertinggal dari pemerataan pembangunan, pendidikan, dan ekonomi. Semuanya kita tertinggal.
Anehnya, di tengah stigma negatif yang terus melekat itu, NTT adalah daerah yang memilki kekayaan sumber daya alam yang sungguh luar biasa. NTT memiliki pesona wisata yang mendunia, namun pertanyaannya : apa kesalahan kita?
Padahal kita memilki potensi dan daya yang sama untuk melangkah. Kita memilki kepala daerah yang juga adalah pilihan rakyat. Kita memilki jajaran pemimpin daerah yang sama yang telah diuji kelayakan atau disebut dengan lelang jabatan “yang begitu transparan”.
Catatan akhir untuk rakyat NTT
Agar kekuasaan itu dapat menjadi instrumen perubahan, NTT butuh orang yang betul-betul memahami dan mengerti potensi sumber daya. Dia adalah orang yang tahu dan mampu memanfaatkan kekuasaan untuk kebaikan bersama, mampu merumuskan kebijakan, dan mampu melaksanakan kebijakan yang dirumuskan itu secara konsekuen.
Kita berharap bahwa para figure yang sudah mendeklarasikan diri dan yang masih menanti untuk dideklarasikan adalah orang – orang yang mampu merumuskan kebijakan pembangunan lima tahun ke depan.
Namun kejelian dalam melihat kualitas diri, ketegasan serta keberanian figur-figur ini kembali kepada rakyat NTT sendiri. Tolok ukurnya jelas yakni rekam jejak, reputasi, gagasan dan karakter.
Rakyat tidak boleh cepat tergiur dengan janji manis yang dipoles dalam retorika yang memukau. Juga, tidak boleh tergiur dengan senyum kandidat yang menawan namun berhati busuk. Keputusan satu menit dalam bilik suara akan melahirkan penyesalan selama lima tahun. Semoga!