Oleh: Irvan Kurniawan
Tanggapan khalayak selalu menjadi trending topic di media sosial pada setiap episode kasus Novanto. Frekuensi tanggapan netizen terlihat semakin meningkat sejak kejadian tabrak tiang listrik di Kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, pada Kamis (16/11/2017) lalu.
Drama politik Novanto menjadi menarik disimak karena Pertama, sorotan media sejak awal kasus ini bergulir, telah berhasil menyedot sensasi keingintahuan public. Publik selalu bertanya seperti apakah ending dari deretan episode yang selama ini dimainkan Novanto? Kedua, melalui media sosial, public semakin mudah melampiaskan aspirasinya lewat beragam aplikasi komunikasi yang ditawarkan. Kemudahan ini mendorong setiap orang untuk memberi tanggapan termasuk dalam setiap episode kasus ini.
Ketiga, di zaman demokrasi digital telah banyak lahir produk-produk komunikasi publik seperti meme, karikatur, gambar, audio, video maupun audio-visual yang dirancang secara kreatif dan mudah disebarkan ke lini masa media sosial. Melalui perangkat-perangkat yang disebarkan secara online ini, episode drama kasus Novanto bukan lagi suguhan yang serius dan menjenuhkan melainkan menjadi serial akrobat dan drama komedi yang menarik, lucu, sedikit genit dan dapat dicerna oleh hampir semua kalangan.
Kini, publik sedikit bernafas lega. Episode tabrak tiang yang awalnya ditakutkan memperpanjang serial drama kasus ini, justru sekejap berubah menjadi anti-klimaks lewat strategi jitu KPK menjemput langsung pemindahan Setnov dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana Jakarta. Aksi kejar-tangkap ini untuk sementara berakhir di rutan KPK.
Fenomena Kids Zaman Now
Keesokan harinya usai Novanto menjadi tahanan resmi KPK, saya terkejut dengan pertanyaan polos dari teman adik saya. Bayangkan, saat lagi naik daunya kasus Novanto, muncul satu pertanyaan yang bagi saya cukup mendebarkan jantung. Adik itu bertanya begini: “Kak, saya sering dengar orang omong Novanto, tapi dia itu siapa?”
Pertanyaan remaja yang kemudian saya tahu lahir pada tahun 2000 ini sontak membuat saya tertawa tebahak-bahak.
”Waduh zaman now masih belum tahu siapa Novanto?” demikian saya mencerca dia. Teman-teman saya juga turut menertawakan pertanyaan adik yang tergolong kids zaman now itu.
Mendengar reaksi bernada sinis tersebut, raut wajah kecilnya terlihat merah dan tersipu malu. Agar tak membuatnya terjebak lama dalam situasi yang tak nyaman, saya pun cepat menjelaskan bahwa Novanto itu pengusaha asal Surabaya yang ikut caleg DPR RI di NTT, terus lolos ke Senayan selama tiga periode dan sekarang menjadi tersangka kasus KTP-el yang merugikan Negara 2 triliun lebih.
Adik yang kelihatan polos itu pun cuma menjawab singkat: “Oh…begitu. Soalnya, saya tidak suka nonton berita politik kak.”
Bagi sekelompok orang yang tiap hari menonton berita di televisi atau orang seperti saya yang sebelum tidur malam selalu terbayang wajah Novanto di atas langit-langit kamar, mendengar jawaban adik ini seperti lelucon konyol yang akan terus nongol. Namun setelah diresapi mendalam, jawaban sang gadis yang kini berusia 17 tahun ini, sangat berpotensi melahirkan keresahan baru dalam babak berikut kasus Novanto. Apa yang terjadi jika remaja seusia dia kebanyakan anti berita berbau politik dan sosial?
Fakta yang terungkap dalam Survei Nasional CSIS periode 23-30 Agustus 2017 tentang kegiatan yang paling menarik minat Generasi Milenial menampilkan data yang merisaukan. Hasil survei responden berumur 17-29 tahun menempatkan olahraga sebagai minat yang paling tinggi (30,8%), disusul musik (19,0%), nonton film (13,2%). Sementara membahas isu sosial-politik berada pada posisi dua dari terakhir yakni 2,3%. Hasil survey ini sepertinya menjawab mengapa gadis berumur 17 tahun di atas jarang menonton berita politik di televisi.
Lalu saat mereka membuka facebook dan muncul meme-meme seputar ‘Papa Tabrak Tiang’ dan seterusnya, apa yang ada di dalam benak kecil mereka? Hampir pasti dia dan teman sebayanya akan mendapat potongan informasi yang sepotong-sepotong. Survey CSIS menegaskan penetrasi media sosial sangat kuat di kalangan milenial dibandingkan non-milenial. Akun facebook misalnya dimiliki oleh 81.7% milenial. Fakta ini menguat kemungkinan bahwa yang direkam kebanyakan milenial mengenai kasus Novanto hanya remah-remah informasi yang telah direkayasa dalam bentuk salinan meme di facebook.
Mereka hanya mendapat kepingan-kepingan informasi yang tak jelas ujung pangkalnya. Dalam benak mereka Novanto adalah Super Man yang melampaui Matahari. Bayangkan (menurut salinan meme yang beredar) dia bangun telat saja, Matahari yang minta maaf. Mereka juga bisa membayangkan sosok Novanto seperti dukun sakti yang mampu menyulap orang-orang agar mengeroyoki ayam walaupun dia sendiri yang mencuri ayam itu.
Tak hanya sekadar itu, hemat saya yang lebih mencemaskan kalau si milenial tahu bahwa Novanto adalah tersangka korupsi, lalu pada saat yang sama mereka melihat salinan meme-meme lucu di facebook, bukankah akal budinya terselip keyakinan bahwa korupsi itu lucu dan mengasyikan? Hal ini sangat mungkin terjadi karena jika kebanyakan milenial tak berminat membaca isu sosial politik, maka preferensi lain seperti berita media online yang bertebaran di media sosial, juga mereka abaikan. Maka dalam pandangan mereka, korupsi itu bukan extraordinary crime seperti yang sekarang ramai dikampanyekan pegiat anti korupsi.
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa orang yang menerima salinan meme Novanto cenderung mengalami perubahan perilaku sejalan dengan persepsi yang ada di dalam akal budinya. Jika dia meyakini Novanto adalah sosok antagonis dalam setiap episode kasus ini, maka memparodikan Novanto dalam bentuk salinan meme, menyebar dan memberi komentar adalah cara terbaik untuk melampiaskan kerisauannya.
Sebaliknya, jika si milenial yang tidak tahu ujung pangkal masalahnya, lalu keburu mendapatkan salinan meme-meme ini, maka kemungkinan besar akan menilai korupsi itu sebagai lelucon yang pantas ditertawakan seperti tiang listrik yang jadi tersangka karena ditabrak tersangka korupsi.
Karena itu, kepekaan kita untuk melakukan literasi politik terhadap kaum milenial sangat penting pada titik ini. Hubungan kausalitas atas sebuah kasus dan fenomena di media sosial menjadi strong point untuk dijelaskan kepada si milenial. Jangan sampai alih-alih memparodikan Novanto justru berpotensi melahirkan ‘Papa-Papa baru’ di masa depan.***