Fian Watu*
“Ibunya mengidam baca buku?”
“Tepat sekali. Semenjak dari dalam rahim ibunya, ia telah mengenal buku.”
“Dari mana kau tahu?”
“Dari isi kepalanya.”
“Tidak mungkin.”
Dua kali kau ajukan pertanyaan ini selama tiga bulan KKNmu di kampungku. Bukumu masih tersimpan rapi bersama fotomu yang kau selipkan di halaman pertamanya. Aku ingat, kau menangis panjang setelah berikan sambutan singkat malam itu. Kau sangat melankolis. Aku sendiri tidak percaya kau bisa menangis sedalam itu.
“Jika kau rindu aku, baca saja buku itu tetapi harus buka dulu halaman pertamanya.”
“Kenapa?”
“Ada fotoku disana. Hahahaha..”
Itu percakapan terakhir kita di malam perpisahanmu. Kau bilang buku dan foto itu bisa kembalikan wajahmu. Aku percaya padamu. Aku buat tempat khusus untuk meletakkan buku dan foto itu. Aku bahkan membawa buku itu ke sawah, ke kebun, bahkan ke kamar kecil pun kubawa. Aku juga ikut saranmu: membuka halaman pertama buku itu meski aku sudah baca sampai halaman terakhir.
Aku bersyukur kau bisa hadir di kampungku waktu itu. Paling tidak kampungku masih dikenal oleh orang kota sepertimu. Padahal kau tahu, kampungku letaknya sangat jauh dari kota. Bahkan aku kadang merasa kampungku termasuk salah satu kampung yang dikecam oleh orang-orang kota. Mendengar nama kampungku saja, badan dan pikiran mereka pasti langsung sakit. Kau pasti juga merasakan itu. Hari pertama kau tiba, kau sudah mengeluh sakit badanmu karena dihantam truk kayu. Belum lagi kau bilang jalan ke kampungku lebih layak disebut tempat mandi kerbau. Aku hanya membawa senyum ke halaman matamu waktu itu. Orang kampung sepertiku tidak akan menerima tamu dengan muka masam.
“ Ujung-ujungnya mabuk dan kacau.”
Kau katakan itu saat kau dengar suara anak-anak muda bermain gitar sambil bernyanyi setengah berteriak. Lalu kau mulai mengucapkan sumpah serapa tentang kelakukan jelek anak-anak kampung seperti kami. Kau bilang kalau mereka sudah berkumpul pasti ribut. Anak kampung selalu menghabiskan uang untuk minuman keras. Setelah itu pasti mereka buat keributan. Kalau tidak ada uang mereka mencuri barang orang. Aku hanya diam saja waktu itu karena aku tahu kau tamu di rumahku. Kau sebenarnya tidak ikhlas untuk datang ke sini. Aku tahu, kau datang hanya untuk memenuhi syarat dari tempat kuliahmu. Tidak ikut berarti tidak sukses, begitulah. Aku bisa menangkap kecut di wajahmu ketika kau menikmati makanan pertama yang disiapkan ibuku. Aku tahu kau ingin muntah tapi kau dengan cepat menelannya begitu ibuku melihatmu.
“Kau guru di sini?”
“Tidak. Aku hanya mengajar anak-anak. Aku tak suka disebut guru. Aku lebih senang dipanggil Kakak pendamping.”
“Dimana kau mengajar? Tidak ada sekolah di sini.”
“ Tepat. Tak ada sekolah. Sekolah hanya ada di kota. Aku bermain bersama anak-anak di Bukit Baca.”
Itu percakapan pertama kita saat kau dapati banyak buku di kamarku. Aku kaget waktu kau masuk tanpa permisi. Tapi aku maklumi karena memang saat itu kau hendak mencariku dan pintu kamarku tidak tertutup. Kau heran dengan jumlah buku yang kutata rapi di dekat tempat tidurku. Kau tambah heran saat aku bilang aku lulusan sarjana Bahasa Indonesia.
Aku tahu kau pasti tidak percaya tapi faktanya seperti itu. Setiap pagi dan sore aku menghabiskan waktu di Bukit Baca bersama anak-anak yang tidak bersekolah. Mereka punya keinginan yang kuat untuk bisa bersekolah tapi keinginan itu ditekan bukan oleh diri mereka sendiri melainkan oleh kaum elit. Kaum elit itu membangun jalan di atas jalan yang sudah baik. Jalan ke kampungku tak pernah kenal aspal. Mereka membangun terminal mobil di atas awan dan membangun pelabuhan laut di atas gunung. Lalu anak-anak ini? Mereka hanya butuh satu hal: sekolah. Saat kau dan anak-anak di kota menulis di atas kertas, anak-anak ini menulis di atas meja,lantai, bahkan di atas udara.
Minggu berikutnya kita pergi ke Bukit Baca. Kita dan anak-anak melewati sungai kecil. Kau hanya terdiam saat kami berjalan sambil menyanyikan lagu-lagu daerah. Anak-anak itu tahu cara menghibur hati meskipun mereka menderita. Kau mengeluh betismu sakit saat kita mesti menanjaki sebuah bukit kecil. Anak-anak menertawakanmu, kau diam saja. Waktu itu aku bilang padamu, kau terlalu manja. Lelaki tak akan menyerah pada panas. Kampus tak pernah mengajarkanmu untuk mendaki gunung dan cara bertahan di bawah sinar matahari. Kau datang ke tempat kuliah, duduk, dengar, menikmati game online, dan pulang.
Air mukamu berubah saat kita tiba di atas Bukit Baca. Kau ingat, waktu itu kau disambut seperti seorang bupati. Anak-anak berebutan untuk mencium tanganmu hingga tanganmu penuh air liur mereka. Yang begini tidak akan pernah kau temukan di kota, kataku waktu itu. Kau makin heran saat kau lihat sebuah pondok tua dan buku-buku yang tersusun tapi di raknya. Kau tambah heran saat kau lihat seorang gadis yang berbicara di tengah lingkaran dengan penuh semangat dan tanpa putus. Di tangannya, dia memegang dua buah buku. Anak-anak lain berdiri melingkarinya sambil memberikan pertanyaan. Dia menjawabnya dengan cepat dan tepat. Aku ceritakan tentang gadis itu. Dia paling pandai di sini.
Aku dan beberapa anak muda yang membangun pondok itu. Di hari wisudaku, aku menangis. Aku mendapat gelar sarjana namun aku sedih. Anak-anak di kampungku tidak bisa mencecap pendidikan. Kuputuskan untuk menjual semua buku dan diktat kuliahku untuk membeli buku-buku pelajaran bagi anak-anak ini. Percuma kupajang buku itu di kamar kosku. Lebih baik dibaca manusia daripada dibaca rayap. Aku menjualnya karena ilmunya sudah ada dalam pikiran dan hatiku.Bukankah kita belajar agar kita memiliki sesuatu dalam diri kita? Perjalanan kita tidak berakhir di atas kertas ujian.
“Ibunya mengidam baca buku?”
“Tepat sekali. Semenjak dalam rahim ibunya, dia telah membaca buku.”
Kau tanyakan itu berulang-ulang setelah kita pulang dari Bukit Baca. Kau masih kagum pada Lidia, gadis enam tahun yang menjitak hatimu lewat cara bicara dan ilmu yang dia punya. Harus aku akui kalau cara bicaramu masih kalah dengan gadis kecil itu. Ya, ibunya rajin membaca buku saat mengandungnya. Kau tahu, ibunya menghabiskan paling tidak satu buku sehari dan kau pasti dapat menghitung jumlah buku yang ia baca sampai sekarang.
Kerinduan kami pada gedung sekolah setara dengan kerinduan kami pada buku-buku. Anak-anak mencintai buku seperti mereka mencintai matahari dan menyayangi cahaya bulan. Mereka hanya ingin meraih bintang namun mereka tidak tahu jalan ke sana. Aku hanya membantu mereka menemukan jalan itu. Aku kira Lidia sudah menemukan jalannya. Kau kembali memujinya setelah aku sebut nama gadis itu. Kau lalu bergurau ingin memiliki anak seperti Lidia suatu saat nanti.
“Aku lebih mencintai buku ketimbang wanita.”
“Ah. Aku tidak percaya.”
“Tapi bila ada wanita yang mencintai buku, aku akan mencintai wanita itu.”
Kau katakan itu tiga minggu sebelum kau kembali ke kota. Kita menikmati senja dari atas Bukit Baca. Saat itu anak-anak telah kembali. Hanya kita berdua. Kau menggodaku tentang semua yang aku lakukan bersama anak-anak. Kau bilang kau cinta padaku. Aku merasa lucu. Kau lebih layak disebut penggoda daripada pecinta.Selanjutnya, kita hanya diam sampai matahari seutuhnya ditelan mulut bukit.
“Aku akan mengirimkan buku untuk anak-anak ini.”
“Ahh. Itubukan caramu berjanji, kan?”
“Bukan. Ini caraku mengingat kalian.”
Kau bilang itu dua hari sebelum kau pulang ke kota. Aku bangga paling tidak kau telah belajar memberi di tengah zaman yang menuntutmu untuk lebih banyak menerima. Terima kasih karena kau telah menepati janjimu. Dua hari lalu, kami menerima kiriman buku-buku darimu setelah dua bulan kepergianmu. Anak-anak Bukit Baca bahagia. Hanya satu orang yang bersedih: Aku. Aku sedih karena aku tak mengidam baca buku. Aku sedih karena janin dalam rahimku ini berontak saat aku baca buku yang kau berikan. Janin ini hanya tenang kalau aku melihat foto ayahnya di halaman pertama buku ini.
*Fian Watu, lahir di Boru, Wulanggitang, FloresTimur, NTT. Sekarang menjadi mahasiswa di STFK Ledalero Maumere. Bergiat di kelompok Teater Tanya Ritapiret.
Catatan Redaksi atas cerpen Bukit Baca Karya Fian Watu
Oleh Henkgy Ola Sura
Redaksi Seni Budaya Voxntt.com
Cerpen Bukit Baca adalah contoh cerpen yang sangat menarik. Secara pribadi saya menikmati cerpen ini. Fian membangun ceritanya dengan telaten dan yang paling utama adalah berhasil menghipnotis pembaca dengan jalan cerita yang unik nan menelikung. Kesan cerita yang tunggal tentang buku dan bacaan anak-anak berhasil dibungkus Fian dengan kisah cinta Lidia yang gila baca itu dengan sosok laki-laki pengunjung bukit baca.
Cerpen ini hadir dengan tenang, lamban dan memukau. Fian mengantar pembaca secara sempurna hingga akhir cerita dan yang didapati dari akhir cerpen Bukit Baca adalah kisah miris tentang laki-laki tak setia yang meninggalkan perempuan luar biasa, penjaga taman baca yang cerdas. Ia seolah menenggak kerinduan semu saat tak mendapati lagi sang lelaki tak berkunjung.
Cara Fian melukiskan kisah tentang Lidia yang bercerita tentang jalan hidupnya, tentang ibunya yang gemar membaca sejak Lidia masih dalam kandungan tampak sangat apik. Membuat semua yang ikut membacanya tak menyangka akhir dari kisah ini adalah semacam sebuah kisah hidup dari Lidia yang tak sebanding dengan kisah janin yang hidup dalam kandungannya.
Cerpen Bukit Baca saya kira mungkin bisa dibaca sebanyak mungkin semua yang ‘tercebur’ dalam dunia menulis karya sastra untuk mengembangkan model cerita dengan gerak cerita yang tetap dalam kontrol dengan hasil yang memukau. Akhir dari cerpen ini memang sebuah kisah sedih tapi cara Fian mengungkapkan ceritanya ini yang layak diapresiasi.***