Oleh: Lorensius Irjan Buu
Malang, sungguhlah malang
Nasib anak sehat dijadikan prematur
Semula bergema bernyanyi riang
Namun kini
Hanya berpacu pada melodi
Tiada syair dimaknai
Dulu, kalau saja dia lahir
Tak disapa bayi tabung
Mungkin dia lebih mengenal
Kecapan air susu ibu kandungnya
Kini dia serupa anak tiri
Terlantar mengemis
Bahkan
Mencuri
Nak, berapa usiamu?
Siapa ayahmu?
Mengapa terlantar?
Karya : Irjan Buu
(Jakarta, 14 Juni 2017)
Sejarah mencatat kabupaten Nagekeo sudah berjalan sepuluh tahun terhitung sejak peresmian tanggal 22 Mei 2007 dengan jumlah luas wilayah 1.416,96 km2 dan jumlah penduduk 123.289 jiwa.
Data BPS tahun 2010 mengalami kenaikan jumlah penduduk menjadi 127,066 jiwa. Nagekeo yang beribukota Mbay, kini perlahan surut mengemban nasib di ujung tanduk. Perjalanan sistem pemerintahan/otonomi daerah sampai saat ini belum mampu mencakup pemerataan kesejahteraan rakyat bahkan jantung Nagekeo sendiri.
Kasus-kasus yang tersirat maupun tersurat menjadikan Nagekeo mengalami kemandekan dalam pembangunan infrastruktur. Di sisi lain dalang utama kemandekan konstruksi infrastruktur tersebut tidak bisa dipungkiri adalah pejabat yang menjabat di posisi Nagekeo I dan II dan jajarannya.
Ini bukanlah sebuah tuduhan yang sarkasme, namun realitas yang terkuak di beberapa media massa bahkan berseri secara sistematis atas kisah kasus-kasus yang terjadi di Nagekeo. Rakyat akan sangat mudah mengambil kesimpulan, jika kasus tersebut dipersulit untuk ditangani atau dimudahkan dengan pelicin, sementara kasus-kasus yang sudah pernah diekspos oleh media massa merupakan kasus yang perlu diultimatum keras.
Apa yang ingin kita petik dari pemimpin-pemimpin kita ini? Dan apa sesungguhnya yang dinilai pemimpin adalah orang yang mampu secara finansial atau orang yang sederhana atau orang yang berkualitas serta BERSIH? Nah, sesungguhnya publik Nagekeo sudah secara kasat mata melihat terang-terangan bahwa Nagekeo cacat/lumpuh saat ini.
Kualitas pemimpin semakin menurun, dikarenakan embel-embel beraura negatif yang melekat dalam sistem demokrasi di Nagekeo. Sehingga Nagekeo terlihat serupa penganut Politik Identitas. Kekuatan massa diperhitungkan sebagai pendongkrak utama.
Kuantitas ini bisa kita tempatkan di posisi sekunder. Daya ketertarikan seorang pemimpin terlihat ketika mampu mengayomi rakyat dalam perbedaan dan cerdas dalam memanajemen daerah dengan memberikan kepercayaan kepada rakyatnya untuk bersama membangun serta mensejahterakan rakyat. Pemimpin dilarang keras menjadi dalang/pemicu kontra antar masyarakat atau sebagai aktor antagonis.
Sepuluh tahun Nagekeo sudah menjadi daerah otonomi tersendiri. Namun gema perubahan hanya dirasakan pada kaum tertentu. Sementara pemerataan kesejahteraan masih mengalami interval yang jauh. Nagekeo bukanlah sistem pemerintahan yang berdasarkan hukum alam atau kasta. Hal yang fundamental yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah ANTI FEODAL, ANTI AROGAN DAN ANTI KKN.
Pemimpin yang sesungguhnya adalah melayani, baik kebutuhan yang kecil/diremehkan sampai pada kebutuhan besar/komunal-universal dan tanpa harus memilah. Syarat pemimpin pada umumnya adalah diterima dan mempunyai kredibilitas dan aksesbilitas yang kompetitif dalam membangun daerah.
Kepiawaian dalam seni memimpin bukan sebagai penebar aroma kebencian dan berpolitik balas budi. Hal ini tidak tercantum dalam aturan hukum/konstitusi. Sebab, pasalnya jika pemimpin yang memanfaatkan kesempatan berpolitik balas budi dengan menggadaikan aset-aset negara atau mengambil alih hak milik warga, maka akan tampak jelas bahwa keberpihakan pemimpin ketika menjalani tugasnya. Tidak heran, pemimpin seperti ini lebih banyak mendapatkan kritikan pedas, sindiran, demonstrasi penolakan bahkan tergores sejarah pertumpahan darah. Miris, ini serupa tumbal dalam prosesi kepemimpinan.
Kasus-kasus yang terjadi di Nagekeo menjadi dasar publik berasumsi bahwa pemimpin Nagekeo belum berterus terang akan apa yang sedang dihadapi. Namun, walaupun belum berterus terang atau tidak sama sekali, akar masalah bermula dari hak masyarakat. Mereka (masyarakat Nagekeo) lebih tahu akan hak dan hereditas leluhur yang menjadi habitat mereka. Sejumlah kasus yang menumpuk ibarat memecahkan misteri.
Nominal yang besar dan tanggung jawab yang minim bahkan menelantarkan hak warga, hal ini akan terus berlanjut dan diserang baik langsung maupun tidak langsung jika tuli dan buta datang pada saat di ujung tanduk. Melepaspergikan tanggung jawab atau mengalihkan isu atau pula menyepelekan hukum. Bahkan hukum dipermainkan. Pada akhirnya pelaksanan hukum dilabel bersandiwara. Maka, mubazirlah hukum yang telah dengan susah payah disusun untuk memerdekakan rakyat dari ketidakadilan. Lantas, apa yang harus publik lakukan?
Ketentuan hukum menjadi senjata utama. Sebab keberpihakan hukum hanya pada validasi dan akurasi. Kasus yang ibarat tersihir dari tatapan nyata, seolah-olah dianaktirikan dari kacamata hukum. Perspektif mendekati realistis bahwa peran hukum dalam mengeksekusi kasus dengan aktor utama (tersangka) sedang pada rel yang berlawanan.
Sistem birokrasi di era reformasi harus lebih banyak berbenah dan menyaring dari yang harus layak dipisahkan.
Dengan kata lain, perlu adanya reparasi dalam tatanan pemerintahan mengenai aturan dan percaturan politik, agar tidak terbelit benang merah penghubung kesejahteraan. Pasalnya, jika percaturan politik dijadikan sebagai permainan judi kelas mavioso, maka yang terjadi adalah kompetisi tidak sehat dan ini terjadi tidak hanya pada lingkup pemerintahan, tetapi juga melibatkan rakyat sebagai korban.
Kompetisi ideologi dan berujung pada fisik menandakan lemahnya birokrasi dalam menangani masalah. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak tegas atau sedang mengambil keberpihakan dari salah satu sisi, bukan sebagai mediasi. Terkadang, yang mengatur (pemimpin) berlari dari resiko dengan melakukan pendekatan-pendekatan emosional, yang pada akhirnya berujung pada kemandekan proses hukum. Perilaku seperti ini akan sangat merugikan rakyatnya dan tentu harus dikuak dalam-dalam demi tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.
Bangkitnya semangat rakyat Nagekeo ketika berdemonstrasi terkait kasus-kasus yang menganga lebar di hadapan publik akhir-akhir ini menandakan bahwa ada indikasi perjudian dalam birokrasi hukum. Legitimasi politik yang telah dicanangkan dalam negosiasi kadang melibatkan improvisasi konyol.
Secara tidak langsung telah menghujat managemen dan kredibilitas politik legal itu sendiri. Reputasi politik akan selalu bertalian dengan budaya setempat. Dimana, seorang pemimpin harus menghargai budaya yang diemban dan telah menjadi warisan kodrati. Ketika pemimpin salah dalam berasumsi tentang budaya atau menentang bahkan semena-mena mengambil alih hak warisan dan memberikan kepada yang bukan hak, maka akan dikatakan pemimpin mempimpin dengan politik tanpa prinsip dan perdagangan tanpa moral. Tujuan dasar alur politik adalah mensejahterakan rakyat, bukan disejahterakan dari pengambilan hak yang menyertakan resiko boomerang. Dan, berujung pada banalitas korupsi dalam lingkaran nepotisme.
Nagekeo, harus kembali melihat ke belakang, jejak sejarah awal menjadi kabupaten dan dimulai dari kerja sama dengan motto; Too Jogho Wagha Sama, yang artinya gotong royong. Dalam motto atau semboyan gotong royong/kerja sama, perlu merevisi komitmen, prinsip, visi dan misi yang semula ada namun pada pelaksaanan tidak berimbang dan terpajang sebagai representatif politis.
Indikator politik merupakan pokok bahasan kita bersama dan berhak mengkritisi pemimpin dari segala segi, ketika realitas yang muncul di permukaan adalah bahan analisa bersama dan telah terbukti merugikan banyak pihak, maka hak bersuara dan berintervensi merupakan rasionalitas yang legal.
Sebagai kesimpulan, Nagekeo dikatakan “nasib di ujung tanduk”, hal ini dipertimbangkan dari kinerja pemimpin yang lebih banyak menyisakan pecahan-pecahan kasus yang terakumulasi dari tahun ke tahun. Pada tahapan transisi hanya beberapa insan yang merasakan kesejahteraan, perlu adanya pendewasaan politik pada bidang-bidang tertentu.
Nagekeo adalah kabupaten yang sarat bermuatan budaya khas dan menjunjung tinggi kesakralan kebudayaan. Jika kasus demi kasus dihidangkan terus di mata publik, maka Nagekeo masih sangat dini untuk dikatakan kabupaten. Otonomi daerah yang masih terus ditelanjangi sendiri oleh pemimpin. Zaman modern sekarang, ideologi begitu mudah digadai dengan pelicin dan etos kerja dalam skema karya politik dalam masa kepemimpinan sering memberikan batasan dan ruang aspirasi tegas dari rakyat.
Maka, sebagai evaluasi untuk kita bersama dengan tidak melemahkan pihak-pihak tertentu. Jurus hukum terpatri dan sangat fundamental. Percepat proses hukum dan ekseksusi sesuai ketentuan yang berlaku. Bahwa, setiap warga negara mendapatkan hak dan keadilan yang sama di mata hukum.
Penulis : Lorensius Irjan Buu, Mahasiswa di Jakarta.