Soe, Vox NTT- Kekerasan seksual yang dialami perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat, terdapat 64 kasus sejak Januari hingga Desember 2017 yang didampingi Yayasan Sanggar Suara Perempuan (SSP) Soe. Angka ini meningkat derastis dari tahun 2016 yang hanya 55 kasus.
Koordinator Devisi Pendampingan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan SSP Soe, Sarci Maukari dalam paparannya pada Laucing Catatan Akhir Tahun di kantor SSP Soe, Jumat (15/12/2017) menyampaikan, jumlah korban kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di TTS pada sepanjang tahun 2017 sebanyak 64 kasus yang didampingi SSP Soe.
Dari 64 kekerasan seksual yang dialami perempuan dan anak tersebut dirincikan kasus kekerasan seksual sebanyak 64 kasus yamg terdiri atas: Persetubuhan 31 kasus, ekspoitasi seksual 24 kasus, pemerkosaan 4 kasus, incest 2 kasus, pelecehan seksual 4.
Dari 64 kasus tersebut tak hanya dilakukan di dalam rumah pelaku dan korban tetapi juga terjadi di kebun, hutan, di rumah kosong dan di jalan umum, bahkan di dalam kandang babi.
Sementara modus terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terjadi cukup beragam yakni karena mabuk, karena cemburu, tidak punya keturunan, tidak ada anak lak-laki. Alasan tidakmempunyai anak laki-laki ini dipengaruhi oleh budaya patriarkhi dan intervensi keluarga.
Dari 64 kasus tersebut baik pelaku maupun korban adalah orang-orang terdekat, misalnya orang tua, keluarga dekat, tetangga, teman/pacar, guru dan lain-lain.
Kebanyakan korban berumur 13-18 tahun. Sedangkan upaya yang dilakukan oleh SSP dalam menangani 64 kasus tersebut adalah dengan melakukan pendampingan dan advokasi.
Dari 64 kasus yang diselesaikan secara kekeluargaan 19 kasus, yang diselesaikan di tingkat pemerintahan desa dan kelurahan sebanyak 3 kasus, yang diselesaikan di tingkat Pemerintahan Daerah sebanyak 3, ditangani pihak kepolisian Polres TTS sebanyak 22 kasus, di tingkat pengadilan 3 kasus dan yang sudah berkekuatan hukum tetap sebanyak 14 kasus.
Dalam proses pendampingan dan advokasi yang dilakukan SSP, kata Sarci, kerap menemukan hambatan.
Hambatam yang dimaksud lanjut Sarci, belum semua masyarakat sebagai korban paham akan hak sehingga memilih menyelasaikan secara kekeluargaan.
Selain itu, hambatan lain adalah terbatasnya sistem hukum yang mengakomodir persoalan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Kebanyakan pelaku adalah keluarga sehingga korban sulit untuk melanjutkan kasusnya ke ranah hukum. SSP lebih menekankan disahkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang diusulkan oleh Forum Pengada Layanan dan KOMNAS Perempuan yang drafnya sedang dibahas di Balegnas RI.
Penulis: Paul Resi
Editor: Boni Jehadin