Oleh: Rian Agung
Mahasisa Hukum Universitas Esa Unggu
Jelang hari anti korupsi sedunia pada 9 Desember 2017 kemarin, Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) kembali merilis data temuan pungutan liar (pungli) dalam layanan publik yang melibatkan aparat penegakan hukum.
Hasil rilis tersebut menyimpulkan, praktik pungutan liar memang rawan dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dalam lingkungan pengadilan misalnya tim MaPPI FHUI menemukan dua jenis layanan publik pengadilan yang dengan mudah menciptakan peluang terjadinya pungli yakni saat pendaftaran surat kuasa dan perolehan salinan putusan.
“Dari 77 Narasumber yang diwawancarai, pungutan liar terhadap layanan pendaftaran surat kuasa dan biaya salinan putusan jamak dilakukan oleh panitia pengganti dan panitera muda hukum” kata peneliti MaPPI FHUI, Siska Trisia dalam diskusi di Bakoel Coffie Jakarta (Hukumonline.com, 08/12/2017).
Tidak berbeda jauh dengan temuan di atas, keterlibatan aparat penegak hukum dalam setiap kasus korupsi yang bermodus pungli itu bisa kita lacak dari fenomena yang terjadi akhir-akhir ini di NTT.
Temuan perhimpunan Mahasiswa Katolik (PMKRI) Cabang Ruteng misalnya, ada oknum lakalantas dari daerah tersebut yang menyodorkan rekening pribadi kepada setiap pengemudi yang melanggar aturan lalu lintas.
Dugaan adanya pungli itulah yang kemudian menyatukan seluruh PMKRI Cabang Ruteng mendesak Kapolres Manggarai untuk segera mengungkapkan kasus tersebut ke publik. (Vox NTT, 11/12).
Masih di daerah yang sama, Aldo Febrianto, Kasat Reserse dan Kriminal Polres Manggarai diinformasikan terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Tim Saber Pungli Polda NTT. Ia diduga menerima suap dari salah satu kontraktor di Manggarai. Karena terindikasi kuat, pada akhirnya dia dimutasi dari jabatannya. (Florespst.co, 11/12).
Data yang terurai di atas sebenarnya hanya sebagian dan kebetulan terungkap dari begitu banyak modus pungutan liar yang sering kali tidak kita sadari. Seperti misalnya, ada oknum yang menetapkan biaya layanan hukum di luar ketentuan dan tidak disertai tanda bukti bayar.
Kemudian dalam kasus tertentu, aparat penegak hukum sengaja memperlama pelayanan jika tidak memberi uang tip atau uang yang diminta. Hal lain adalah berkaitan dengan penanganan perkara yang berlarut-larut, praktik pencaloan dan penyimpangan prosedur lainnya.
Tidak mengherankan laku semacam inilah yang membuat kepercayaan sebagian masyarakat terhadap aparat penegak hukum cenderung menurun drastis. Masyarakat pada akhirnya mengambil jalan sendiri dalam menyelesaikan setiap kemelut yang dihadapi meski seharusnya perlu dan wajib mendapatkan layanan hukum.
Menghambat Akses Keadilan
Pungli apa pun modusnya, merupakan bentuk korupsi yang menghambat akses keadilan. Masyarakat adalah subjek yang menjadi korban dari perilaku semacam ini. Bagaimana tidak, masyarakat yang kurang memahami seperti apa lalu lintas hukum itu berproses, justru dijadikan objek untuk kemudian ditindas dan perlakukan semena-mena.
Lebih mengkhawatirkan, sebagian masyarakat telah menganggap pungutan liar ini sebagai suatu yang wajar. Bahkan mereka menganggap apabila tidak membayar pungutan liar akan berdampak pada kualitas pelayanan hukum yang diterima.
Dalam soal layanan publik, pungli adalah pemicu yang membuat ketidakadilan itu semakin lebar. Masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “uang” dengan sangat mudah mendapatkan apa yang diinginkan.
Untuk itu apabila ketidakadilan dan ketidakmerataan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan bangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada tahap tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa secara keseluruhan.
Seharusnya terhadap situasi seperti ini, aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa maupun hakim harus menjadi orang pertama memberikan contoh untuk menjunjung tinggi mekanisme, prosedur dan tata cara penegakan hukum yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Namun tatkala itu diabaikan oleh aparat penegak hukum, masyarakat seakan memelihara kucing dalam karung. Pasalnya rakyat yang menaruh kepercayaan besar kepada mereka untuk memperoleh keadilan kepastian dan kemanfaatan hukum justru berbalik badan dan membiarkan masyarakat berjuang sendirian.
Karena itu jika masyarakat enggan mengadu masalahnya ke pengadilan jangan diasumsikan dan menjadi parameter untuk menakar kualitas penegakan hukum kita yang semakin membaik. Mereka (rakyat) sebenarnya merasa apatis dengan laku aparat penegak hukum yang sering memicu ketidakadilan.
Dampak praktik pungutan liar inilah yang selanjutnya membuat kualitas layanan publik kita baik di tingkat pengadilan mau pun bentuk layanan hukum lainya menjadi lebih buruk. Sangat beralasan ketika WORLD BANK, dalam WORLD DEVELOPMENT REPORT 2004 , memberi stigma bahwa layanan publik di Indonesia sulit diakses oleh orang miskin dan pemicu ekonomi biaya tinggi (Hight Coast Economy) yang pada akhirnya membebani kinerja ekonomi makro, alias membebani publik (masyarakat).
Perkuat Pengawasan
Dari sejumlah data di muka, kita menemukan bahwa pungli itu jamak dilakukan oleh aparat penegak hukum. Pada hal kalau kita cermati setiap satuan penegak hukum memiliki kode etik dan aturan internal sebagai landasan untuk mereka bertindak secara bertanggung jawab dan profesional.
UU No. 25 tahun 2009 tentang layanan publik misalnya mewajibkan negara melalu aparaturnya, termasuk aparat penegak hukum melayani warga negara untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dengan menyediakan layanan publik yang transparan, efektif, berkeadilan, memperkuat demokrasi hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan perlindungan.
Namun kenyataan menunjukkan aturan yang ada lebih banyak diabaikan. Layanan publik bukannya dilakukan secara terbuka dan berkeadilan, malah justru dilakukan secara tertutup dan memicu ketidakadilan bagi masyarakat.
Layanan Publik bukannya menjunjung tinggi demokrasi hak asasi manusia melainkan menciptakan pelanggaran HAM baru. Penganiayaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian setor Ruteng terhadap seorang aktivis PMKRI yang menuntut keterbukaan soal layanan Publik itu adalah fakta yang mengindikasikan tidak humanisnya layanan publik kita.
Ini hanya satu soal. Masih banyak fakta di tempat-tempat yang memperlihatkan memburuknya kualitas pelayanan publik kita dengan praktik pungutan liar.
Mengurai dan menciptakan layanan publik yang ramah, berkeadilan dan berperikemanusiaan tentu menjadi harapan kita semua. Karena itu hal yang perlu kita dorong sebagai masyarakat adalah memperketat pengawasan terhadap aparat penegak hukum.
Kita apresiasi Tim sapu bersih pungli (tim saber) bentukan Presiden Jokowi yang konsen menangani praktik Pungutan. Namun upaya ini harus konsisten termasuk untuk menyikat oknum penegak hukum yang nakal dan bermain-main dengan tugasnya sebagai pengayom dan pelayan masyarakat.
Karena itu pengawasan internal setiap aparat penegak hukum, baik Kepolisian, Kejaksaan kehakiman maupun lembaga-lembaga lainnya harus dioptimalkan. Pimpinan dari lembaga-lembaga ini harus memiliki nyali untuk mendorong integritas anggota-anggotanya dan menindak tegas mereka yang dengan tahu dan mau menyimpang dari tugas utama sebagai aparat penegak hukum.***