Oleh: Ferdy Hasiman
Perhelatan pemilihan kepala daerah di Manggarai Timur berpotensi merusak tatanan demokrasi lokal. Demokrasi sebagai sistem terbuka dan inklusif. Demokrasi mestinya membuka ruang bagi siapa saja yang kompeten untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, sehingga berciri inklusif dan terbuka.
Demokrasi berjuang keluar dari kultur sekterian, dominasi keluarga, geng-gengan dan piramida politik. Piramida politik artinya sejumlah orang kuat, bertengger di puncak piramida kekuasaan dan mayoritas orang-orang kecil berada di dasar piramida.
Dalam konteks Pilkada Manggarai Timur, jika dilacak track-record para calon yang akan maju menunjukan demokrasi jauh dari hawa kesetaraan.
Demokrasi sebagai sistem terbuka dan inklusif berubah wajah menjadi sistem tertutup. Sistem tertutup itu nampak pada rekrutmen calon dari Partai Politik (Parpol ) yang akan maju. PDIP dan Nasdem misalnya mencalonkan Marselis Kerong-Paskal Sirajudin.
PDIP sebagai partai pemenang pemilu seharusnya mencermati secara teliti siapa yang akan diusung. Marselis ini lama tinggal dan merantau di Papua sebagai polisi. Menjelang akhir masa jabatannya sebagai polisi dia memutuskan kembali ke Manggarai dan karena kedekatannya dengan Kapolri, Tito Karnavian, dia diangkat menjadi Kapolres Manggarai selama beberapa bulan.
Selama beberapa bulan memimpin Kapolres Manggarai, Marselis tak menunjukan prestasi yang gemilang. Dia gagal membersihkan dan melakukan reformasi di kepolisian. Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Iptu Aldo Febrianto yang “diduga” memeras kontraktor di Manggarai menunjukan kelemahan itu.
Dari pengakuan Direktur PT Manggarai Multi Investasi (MMI), Aldo tidak seorang diri melakukan pemerasan, namun ada personel lain di Polres Manggarai. Pengakuan ini mau menunjukan ada jaringan kejahatan di polres Manggarai dan ini harus ditangani secara serius. Tetapi, Marselis kelihatan lebih sibuk memoles citra untuk maju dalam Pilkada Matim.
Banyak kasus korupsi lain lagi yang tak diusut tuntas, bahkan ada kasus-kasus korupsi yang harus berakhir damai. Pendekatan konflik seperti ini hanya bisa laku terjual di Papua, bukan di Manggarai. Manggarai butuh Kapolres tegas untuk memberantas korupsi, bukan hanya yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan, tetapi juga yang melibatkan kepolisian sendiri.
Bagaimana mungkin Marselis kemudian bisa memimpin wilayah administrasi dan birokrasi yang besar di Manggarai Timur, sementara dalam lingkup kecil polres Manggarai saja dia tak sanggup. Yang kita harapkan dari dia adalah ketegasan, kejujuran moral, berintegritas, bukan malah berdamai dan toleran dengan korupsi.
Tidak seharusnya PDIP sebagai partai besar mengusung Marselis untuk maju di Pilkada Manggarai Timur. Dia tak menunjukan prestasi gemilang. Tetapi untuk urusan finansial barangkali Marselis sudah siap. Boleh jadi faktor ini yang membuat PDIP kepincut mengusung Marselis.
Tak ada free rider dalam partai politik kita. Ini juga mau menunjukan rapuh dan lemahnya sistem kaderisasi dan tak ada meritokrasi dalam tubuh PDIP Manggarai Timur. Ketika partai besar, sekelas PDIP, mengusung calon di luar partai, sesungguhnya ini menjadi refleksi dan pukulan telak bagi partai politik. Partai politik adalah dapur demokrasi, sudah seharusnya dia harus melatih, mendidik kadernya agar memiliki kecakapan dalam memimpin.
Untuk masuk ke pentas demokrasi diperlukan perjuangan panjang; bagaimana mengenal akar rumput dan mengenal Daerah Pemilihan. Dengan itu, sang kader memiliki modal sosial. Kader berbekal modal sosial akan meminimalisir politik uang karena sudah dikenal kalangan akar-rumput.
Namun, PDIP masih pakem dengan kebiasaan lama, yaitu, pragmatisme tata-kelola kepartaian. Bagi PDPI, kerja politik semata-mata hanya memenangi suara dalam pemilu. Semuanya berjalan seperti hukum rimba dalam pasar tanpa usaha kaderisasi dan pendidikan politik memadai. Itulah sebebanya PDIP merekrut Marselis di ambang pintu Pilkada Matim.
Yang lebih fatal lagi ketika PDIP tak mencermati secara teliti track-record sang calon. Dia orang Mukun-Manus dan masih memiliki hubungan sangat dekat dengan bupati Manggarai Timur, Yoseph Tote. Marselis dan Yoseph Tote masih memiliki hubungan darah yang sangat dekat. Saya sangat curiga, Marselis Kerong itu ingin melanjutkan politik kekerabatan orang manus.
Ada kesan umum di masyarakat, selama ini birokrat di Matim adalah birokrat orang Manus, karena pemimpinnya orang Manus. Boleh jadi, Marselis maju dalam Pilkada Matim untuk kepentingan ini juga. Memang masih ada calon lain yang memiliki relasi dekat dengan bupati, tetapi tak terlalu kentara, seperti Stefanus Jaghur calon wakil bupati dari Ande Agas yang diusung PAN.
Stefanus juga masih memiliki hubungan keluarga dengan bupati, tetapi agak jauh. Birokrasi berbasis kekerabatan seperti ini banyak kita temukan. Tentu bukan hanya di Manggarai Timur, tetapi juga ada di daerah lain, seperti Banten, Kalimantan Barat yang didominasi Dayak-Melayu.
Birokrai harus bersandar pada tiga prinsip dasar, rasional, netral dan impersoanal. Impersonal itu jangan memasukan urusan pribadi atau hubungan pribadi dalam urusan pribadi.
Beberapa bulan silam calon wakil dari Marselis, Pak Paskalis mau mengakomodasi permintaan para kepala desa terpilih untuk syukuran di Borong. Ini kan tidak bisa. Ini kan sudah memasukan urusan personal dalam birokrasi. Ini merusak birokrasi yang harus netral, rasional dan impersonal. Politik kekerabatan seperti ini juga dalam politik lokal paska desentralisasi menjadi isu sentral dan menarik perhatian kalangan akademisi politik dan pemerhati politik lokal di tanah air.
Kita melihat di Sulawesi Selatan ada politik kekerabatan keluarga Limpo yang mulai menjejaki karier politik dari kabupaten Gowa, sampai jenjang gubernur Sulawesi Selatan. Begitu juga keluarga Ratu Atut di Banten. Jadi dalam lingkup, NTT, benih-benih politik kekerabatan seperti ini sudah mulai terjadi di Manggarai Timur sejak kabupaten ini resmi memisahkan diri dengan kabupaten Manggarai. Hanya publik barangkali tak jeli melihat.
Peneliti Pada Alpha Research Database, Indonesia/Pengamat Ekonomi-Politik