Redaksi, Vox NTT-Hampir semua orang sepakat bahwa menjadi seorang pemimpin publik apalagi dalam budaya ketimuran, perilaku moral menjadi salah satu syarat utama. Sebabnya, seorang pemimpin sudah pasti menjadi panutan dan acuan bagi mereka yang dilayani.
Perilaku amoral seperti pemerkosaan, pencurian, sex bebas, narkoba, kekerasan, dan korupsi yang sekarang merajalela adalah bukti dari krisis moral dan keteladanan yang cukup akut tersebut.
Menjelang suksesi pemilihan Gubernur NTT pada Juni tahun ini, persis topik itulah yang sedang hangat diperbincangkan.
Situasinya menjadi dinamis ketika salah seorang calon gubernur diduga terlibat dalam skandal seks bersama pembantu rumah tangganya sendiri.
Sang Cagub memang membantah soal tudingan itu, namun rekaman video, foto dan tulisan terus beredar membuat publik bertanya-tanya.
Sayangnya, kasus ini merupakan delik aduan, dimana korban atau keluarga korban yang harus mengadu ke polisi, baru polisi mengusutnya. Dengan kata lain, jika tidak ada yang mengadu ke polisi, maka kasus ini akan tetap samar tanpa kepastian hukum.
Terlepas dari topik yang menerpa salah satu cagub ini, persoalan moral memang menjadi sorotan ke semua pihak. Semua cagub dalam pilgub NTT harus dikupas sisi moralnya masing-masing.
Beberapa catatan berikut bisa menjadi dasar pertimbangan mengapa urusan moral penting dikupas.
Pertama, kalau dalam setiap masa kampanye yang baik-baik boleh ditunjukkan, kenapa yang buruk-buruk tidak? Padahal, yang baik dan yang buruk harus sama-sama disiarkan sehingga menjadi bahan pertimbangan bagi publik pemilih.
Kalau seorang calon pernah membantu orang lain, pernah berbuat baik, lalu tindakan moralnya itu dibangga-banggakan kepada publik, lalu kenapa tindakan lainnya yang amoral ditutup-tutupi? Jangan sampai kita memakai kacamata kuda. Hanya liat satu warna. Yang baik kita terima dan kita bangga-banggakan, lalu yang buruk kita tolak dan kita kecam.
Kedua, kenapa saat Pilkada? Karena ini saatnya masyarakat tahu siapa calon pemimpinnya, apa baik dan apa buruknya. Lalu kenapa tunggu Pilkada baru yang buruk-buruk dibuka? Karena kalau baru dibuka sesudah Pilkada maka sudah terlambat, nasi sudah jadi bubur, surat suara sudah ditusuk, kita sudah memilih pemimpin yang salah.
Ketiga, seharusnya yang ditolak itu adalah berita bohong, bukan menolak membahas moral calon pemimpin. Berita yang bukan berita bohong harus diterima untuk ditimbang-timbang. Jadi kalau berita tentang laku amoral seorang calon itu bukan berita bohong, kenapa mesti ditolak?
Keempat, demokrasi akan sehat sejauh rasionalitas masih jalan, bukan emosionalitas. Demokrasi akan sehat sejauh kita memakai akal sehat, bukan memakai kesan sesaat.
Jangan sampai karena seorang calon terlanjur disukai, kita pun lantas menolak sisi buruknya untuk ditampilkan. Padahal di situ kita punya peluang untuk menimbang-nimbang, siapa pilihan yang tepat dan layak untuk memimpin NTT ke depan.