Oleh: Markus Makur
Pekerja Media, Kontributor Kompas.com dan The Jakarta Post
Frans Sarong, Mantan Wartawan Kompas meniti karier sebagai seorang jurnalis mulai dari bawah. Sarong merupakan jurnalis langka dari Manggarai Timur, Flores dan Nusa Tenggara Timur. Ia mengetahui benar bahwa menjadi seorang jurnalis di media besar, apalagi sebut Kompas di saat itu menginspirasi anak negeri Indonesia untuk bekerja di tempat yang dituntun oleh Jakob Oetama.
Sebutan media Kompas di Indonesia menjadi impian semua orang untuk bisa bekerja di sana. Memang tidak gampang untuk meraih impian bekerja di Kompas. Hanya dengan kerja keras dibarengi kerja cerdas dalam merangkai kata menjadi kalimat yang humanis. Bahasa-bahasa humanis menjadi kunci kekuatan media Kompas. Bahasa-bahasa kemanusian yang dirangkaikan dalam sebuah kalimat yang menggugah nurani pembaca untuk terus membacanya kembali.
Satu dari sekian ratus orang Nusa Tenggara Timur yang tembus dan bekerja di media sekaliber Kompas adalah Fransiskus Sarong. Semua orang muda saat ini memiliki hasrat dan keinginan untuk bekerja sebagai jurnalis di Harian utama Kompas.
Sebelum Frans Sarong bekerja di media sekaliber Kompas, ada Rikard Bagun, dari Kampung Wetik, Kolang, Kecamatan Kuwus, Manggarai Barat yang terlebih dahulu menekuni dunia jurnalistik di media Kompas. Bahkan, juga ada putra terbaik dari Nusa Tenggara Timur yang bekerja di media Kompas atau groupnya. Namun, Sarong sangat berbeda dengan yang lainnya. Barangkali yang lain adalah lulusan sekolah Filsafat di Negeri ini maupun sekolah sastra di Negeri ini.
Sarong sangat unik dan langka daripada yang lainnya. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas Swadaya Ruteng, di Kota Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai, Flores, NTT. Tamat 1976. (Saat itu penulis baru lahir-red). Tamat Sekolah Menengah Atas di Kota Ruteng, dia jedah setahun di kampung halamannya. Dia tidak memaksakan kehendaknya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi karena dia mengetahui kondisi orangtuanya. Selama itu Sarong membantu orangtua dengan bekerja serabutan mencari uang untuk meneruskan hasratnya memperoleh gelar yang bergengsi dengan menyandang gelar sarjana.
Sarong merupakan tipe orang dari kampung yang bekerja keras dengan caranya untuk kepentingan kuliahnya di masa depan. Dia memahami betul bahwa meraih impian dan hasrat yang tinggi melalui dunia pendidikan. Tidak ada cara lainnya. Ia membantu orangtua berkebun karena mereka dihidupkan dari hasil bumi yang diolah tangan mereka sendiri.
Ia berkebun dengan sistem ladang lahan kering di sekitar kampungnya maupun ditempat jauh dari kampung. Selain berkebun, ia mencari peluang dengan berdagang dan menjadi tengkulak amatiran. Membeli kopi dan menjual kembali di kampung halamannya maupun ke Borong, yang kini menjadi Ibukota Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT. Juga membeli beras dan menjualnya lagi. Dia pernah menjual sarung yang dibelinya di Kota Ruteng kemudian dijualnya kembali di kampung halamannya. Asalkan dapat untung sedikit. Kerja serabutan berdagang setahun menghasilkan uang sebanyak Rp 80.000.
Uang itu kemudian sebagai modal untuk pesta sekolah. Dalam bahasa Kolor, Poka Sawar limbang sama. Dan ia adalah perintis budaya pesta sekolah di Manggarai Raya bagian selatan yang sampai saat ini dikenal luas dan menjadi budaya baru, khususnya di Manggarai Timur. Tidak puas dengan lulusan Sekolah Menengah Atas, Ia melakukan perjalanan dari kampung ke kampung dengan berdagang dadakan yang membuatnya dikenal luas oleh masyarakat setempat.
Ia memahami benar akan masa depannya sehingga ia tidak mau hanya menyandang gelar tamatan Sekolah Menengah Atas. Lalu, impiannya, pada tahun 1977, Frans Sarong melanjutkan pendidikan ke Universitas Nusa Cendana Kupang, kuliah di Fakultas administrasi, jurusan administrasi Negara. Mungkin dalam benak mengambil jurusan itu agar kelak bisa menjadi pegawai Negeri Sipil di tanah kelahirannya di Nusa Tenggara Timur maupun di Kabupaten Manggarai. Tetapi kehendak Tuhan berbicara lain kepadanya dengan meniti karier menjadi wartawan pemula di Kota Karang itu.
Tahun 1982 ia meraih gelar sarjana muda dari universitas bergensi di Nusa Tenggara Timur saat itu. Saat itu tidak mudah masuk kuliah di Universitas Negeri Cendana Kupang, hanya orang-orang yang memiliki kemampuan lebih yang bisa lulus seleksi dengan standar tinggi.
Karena tidak puas dengan gelar sarjana muda, Sarong sempat melanjutkan kuliah sarjana di Univeritas yang sama untuk meraih gelar doktorandus. Namun, tidak sempat rampung. Padahal, tinggal kuliah kerja nyata (KKN) dan skripsi. Sarong nampak dan tetap berhasrat serta tergiur menjadi wartawan. Ia sewaktu Sekolah Menengah Atas di Kota Ruteng sempat membuat artikel yang unik dan baik.
Sejak itu ia bergerilia bekerja sebagai wartawan lepas pada berbagai surat kabar, semisal Warta Mahasiswa, Kantor Berita Antara, Harian Berita Yudha dan mingguan DIAN (terbitan Ende) di Kupang hingga akhirnya berlabuh dan bersandar sepenuhnya pada profesi kewartawannya pada hari Kompas.
Ia memiliki talenta dalam menulis berita yang apik dengan angle-angle unik dengan gaya humanis yang dimulai dari dalam dirinya sendiri. Ia memahami benar menulis features humanis mampu menggugah dan membius pembaca agar berulangkali membaca artikelnya.
Akses ke Kompas tidaklah mudah, sebenarnya berawal dari keputusan managemen DIAN menugaskannya mengikuti magang selama empat bulan di Kompas, di Jakarta (1984). Ia tidak memikirkan lagi gelar sarjananya melainkan ia bergelut dengan kerja keras dan kerja cerdas di media Kompas yang berawal dari magang.
Ketika menjelang hari-hari terakhir magang di Jakarta, Kepala Desk Daerah Kompas-ketika itu Pak Aven Kuang-menawarinya menjadi calon Koresponden Kompas untuk wilayah Flores, Nusa Tenggara Timur. Karena hasil liputan-liputannya dari tanah Flores mampu menaikkan oplah koran Kompas di Jakarta, maka Sarong kemudian resmi bergabung dengan Kompas dengan ditempatkan di Ende untuk wilayah Flores. Liputan-liputan humanis dengan gaya features sesuai dengan amanat hati nurani sebagai motto Kompas. Cukup lama menjadi jurnalis Kompas di Ende, (13 tahun). Tahun 1998 dipindahkan ke Kota Karang Kupang.
Ketika penulis menggali informasi yang berkaitan ketertarikan menjadi jurnalis setahun lalu dalam perjalanan dari Borong ke Bajawa, Sarong menuturkan bahwa ia berangkat dari ketertarikan menulis artikel lepas semasa duduk di bangku Sekolah Menengah Atas Swadaya Ruteng. Namun, saya lupa judulnya. Berangkat dari artikel itu, ada seorang guru Sekolah Menengah Atas Swadaya Ruteng memberikan saran bahwa Frans cocok di dunia tulis menulis. Salah satunya adalah bekerja menjadi seorang jurnalis. Saat itu menyandang status seorang wartawan sangat langka dan unik. Tidak sembarang orang menjadi seorang jurnalis.
Selanjutnya, ada dua orang penting yang selalu dikenang Frans Sarong dalam hubungan dengan profesi jurnalisnya.. kedua orang itu adalah Pater Gabriel Koran, SVD dan Pak Thom Wignyanta (alm)-masing-masing sebagai pemimpin umum dan pemimpin redaksi DIAN (1984). Atas restu kedua orang inilah Frans Sarong berkiprah dan berladang di Harian Kompas. Frans Sarong sangat memahami maksud dan tujuan dari HarianKompas. Ia apik dan lihai memainkan kata-kata menjadi sebuah kalimat yang runut dan sistematis. Nalar dan logikanya dipadukan dalam sebuah kalimat yang asyik dibaca serta menginspirasi orang lain untuk belajar dari cara merangkaikan kalimat. Jenaka dalam berkalimat membuat gaya liputan features tidak ketinggalan zaman.
Berkat pengabdian melalui kata-kata yang dirangkaikan menjadi sebuah kalimat yang asyik, Pimpian harian Kompas memberikan kepercayaan kepadanya menjadi Kepala Biro Kompas wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada 2003 lalu. Ia disebut-sebut sebagai kepala biro paling lama, tujuh tahun. Seiring usia semakin mendekati pensiun, ia meminta manajemen Kompas Jakarta agar dirinya diganti sebagai Kepala Biro Kompas Bali, NTB dan NTT. Permintaan itu dikabulkan pihak Kompas, dan sejak 2010 kembali lagi ke Kota Karang Kupang dimana ia pernah meniti karier menjadi wartawan lepas. Kole Beo Kupang dan Manggarai Timur menjadi wartawan biasa.
Kepada penulis belum lama ini sebagai pemberi semangat untuk tetap mengabdi pada bahasa humanis, ia menceritakan suka duka dan asam garam menjadi wartawan. Namun, pengabdian total pada bahasa humanis akan membuah hasil yang gemilang dalam hidup. Mengabdi pada bahasa humanis adalah kunci kekuatan di media Harian Kompas. juga menjadi wartawan menjadi pilihan yang bermula dari dalam diri sendiri. Karena menjadi jurnalis adalah pilihan yang akan memadukan hati dan akal budi demi merangkaikan bahasa-bahasa humanis.
Dalam buku kumpulan liputan features dengan judul serpihan-serpihan budaya NTT, Frans Sarong keluar masuk kampung untuk menggali liputan humanis dan budaya yang diwariskan leluhur di seluruh Nusa Tenggara Timur. Buku setebal 309 halaman ini termasuk jejak kariernya mengupas seluruh cerita-cerita dan kisah-kisah unik budaya Nusa Tenggara Timur. Ia menulis dengan fakta sejarah budaya Nusa Tenggara Timur serta dirangkaikan dengan kalimat sederhana yang mudah dipahami oleh pembaca dari level sekolah Menengah Pertama sampai kaum intelektual di seluruh Indonesia.
Frans Sarong atau nama by line di Harian Kompas Frans Sarong, lahir di Kampung Mbapo, Desa Lembur, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur. Ia lahir dari keluarga petani yang hari-harinya mengabdi untuk bertani lahan kering. Frans anak kelima dari 10 bersaudara. Jumlah anggota keluarga yang begitu banyak. Tentu saja memberatkan bagi keluarga petani. Riwayat pendidikan Frans kurang mulus, sekolah dasar di SD Katolik Rende, Desa Lembur. Tamat dari sekolah dasar tahun 1970. Sekolah Menengah Pertama diselesaikannya di SMP Pancasila Borong tahun 1973. Lalu melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas Swadaya Ruteng dan tamat 1976. Ia sempat berdagang keliling dari kampung ke kampung untuk membantu orantuanya.
Mengabdi Total pada Bahasa Humanis
Sepanjang karier menjadi jurnalis Harian Kompas, Frans Sarong tetap memiliki komitmen yang kuat untuk mengabdi pada bahasa-bahasa humanis. Ia mengenal dan memahani benar tentang arah dari Harian Kompas, yang mengabdi penuh dalam humanis interest atau mengabdi pada kemanusiaan melalui rangkaian-rangkaian kalimat yang diwartakannya.
Dan itulah sosok Frans Sarong yang sudah 30 tahun hingga pensiun sebagai wartawan di Harian Kompas dengan mengabdi penuh pada bahasa-bahasa humanis. Ia mengabdi pada humanis di seluruh karier jurnalistik.
Melalui karya-karya pewartawan itu, Ia sudah berbuat dan berjasa bagi Manggarai Timur dan NTT melalui pena hati dan mata tajam untuk membahasakan hal-hal biasa di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai persoalan hidup dan sosial dan lain sebagainya. Ia mengetahui benar apa yang harud di abdikan melalui pena seorang jurnalis untuk membawa sebuah perubahan sosial kemasyarakatan.
Peka Terhadap Masalah Kemanusiaan
Sejak berkarya di Harian Kompas di Ende, saat itu Maumere, Kabupaten Sikka terjadi tsunami. Hasil-hasil liputan features humanisnya mendapatkan apresiasi serta menggugah orang di Jakarta untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Lalu, bantuan dari orang yang peduli dari Jakarta disalurkan melalui Harian Kompas. Lalu, Harian Kompas membentuk Yayasan kemanusiaan, dengan nama Dana Kemanusiaan Kompas (DKK). Lalu, bantuan tiba di Kabupaten Sikka waktu itu.
Bukan hanya itu yang dibuatnya di wilayah Nusa Tenggara Timur pada umumnya dan Manggarai Raya khususnya. Ketika ada bencana tanah longsor di Gapong, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai. Ia ditugaskan khusus dari kantornya untuk meliput bencana alam tersebut. Ia terbang ke Manggarai dari Kupang demi mengabdi pada bahasa-bahasa humanis. Alhasilnya, hasil liputan features menggugah nurani Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengunjungi lokasi bencana tersebut. Lalu, mengalirlah bantuan kemanusiaan ke wilayah itu, termasuk bantuan kemanusiaan dari Harian Kompas.
Tidak hanya untuk Kabupaten Manggarai, khusus untuk Manggarai Timur, ia pernah sebagaimana diliput penulis bahwa ia pernah meliput khusus tentang bencana angin puting beliung bersama dengan lawan politiknya saat ini. Ia tetap mengabdi pada bahasa-bahasa humanis sehingga menggugah nurani seluruh pembaca di seluruh Indonesia, dan akhirnya Bantuan Kemanusiaan Kompas bagi orang yang mengalami bencana seperti di Kecamatan Ranamese dan kecamatan lainnya di Manggarai Timur. Selain itu, bantuan kemanusiaan juga khusus pembangunan air minum bersih di wilayah Manggarai Barat, Manggarai Timur dan Ngada dan Sikka.
Suaranya sangat dipercaya oleh manajemen Harian Kompas serta Yayasan Kemanusiaan Kompas karena ia sangat dipercaya dengan kejujuran dan bernurani dalam mengabdi dengan total.
Mengabdi Untuk Rakyat Manggarai Timur
Kini Frans Sarong berpasangan dengan Kasmir Don, Paket Sarong-Kasmir dengan tagline “Kekuasaan itu poin bukan koin” maju pada helatan pesta demokrasi untuk merebut kekuasaan untuk mengabdi dan sebagai pelayan masyarakat dengan sungguh dan total. Bukan koin lagi yang dicarinya melainkan poin atau pengabdian yang lebih sungguh dan total demi membawa perubahan Manggarai Timur yang masih terseok-seok, walaupun masih ada pembangunannya, namun tidak secara keseluruhan.
Pasangan ini diusung oleh Koalisi Partai Golkar dan Gerindra. Perjuangannya juga tidak mudah dengan mendapatkan hadangan-hadangan yang sangat menyayat hati. Namun, cara-cara itu tidak mempan bagi Tuhan karena saat injure time atau detik-detik terakhir waktu pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum Manggarai Timur, pasangan ini memperoleh dukungan penuh dari Koalisi partai ini dan berhasil mendaftarkan di KPU Manggarai Timur sebagai Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Timur 2018-2023.
Kedua pasangan ini berhasil keluar dari lubang jarum yang kemungkinan tak diinginkan lawan politiknya untuk maju. Lawan politik menghadang dengan berbagai isu miring yang dilemparkan ke masyarakat. Namun, rahmat dan kehendak Tuhan tetap berpihak kepada pasangan ini untuk maju. Tuhan mengetahui isi hati nurani dari kedua pasangan ini untuk membebaskan Manggarai Timur dari keterisolasiaan infrastruktur dasar yang menjadi sorotan media massa selama ini.***