Oleh Marsel Koka
Aku terjaga pada sebuah pagi yang belum pantas disebut sebagai pagi. Malam masih terlalu pekat. Fajarpun masih diam di balik bukit di ujung timur.
Pada kebisuan malam dan sayap-sayap pagi yang masih samar-samar ini, aku terjaga dan memaksakan diri untuk bangun dari pembaringanku. Remah-remah ngantukpun masih tak mau pergi dan terus menumpuk di sudut-sudut mataku.
Di tempat ini tidak ada yang lain selain aku, keheningan dan kebisuan malam. Ku berusaha untuk merangkul kembali malamku sembari berdamai dengan mimpi-mimpiku, yang sempat datang menghiasi tidur panjangku dari tadi. Tetapi aku semakin terjebak dalam kekacauan saraf yang semain luas.
Mataku semakin enggan untuk tidur lagi. Di luar sana juga sama, malam masih terlalu tebal dan hawa dingin dengan dasyatnya memanggut tubuhku kecilku. Embun pagi masih setia memeluk dedaunan dan rumput yang tumbuh dengan tenang dalam keheningan malam.Kesunyian panjang yang sudah mengambil alih sejak tadi malam juga enggan untuk pergi hingga pagi ini.
Suara-suara jangkrik dan cacing tanah yang selalu ramai bersuara merebut kesunyian malam pada hari sebelum-sebelumnya juga sudah jarang terdengar dan bahkan tak pernah terdengar lagi sejak beberapa bulan terkahir.
Mungkin pagi ini mereka telat bangun sehingga terjebak dalam indahnya mimpi-mimpi mereka. Ataukah mungkin mereka telah mati termakan zat beracum yang disiram beberapa warga pemilik kebun itu beberapa waktu yang lalu.
Maklum karena beberapa warga di tempat saya ini lebih suka dan sudah terbiasa menggunakan bahan kimia untuk membasmi rumput di kebunnya. Mereka tak mau lagi bekerja keras dan menguras tenaga sehabis-habisnya. Mereka mau yang instant, cepat dan praktis. Maka tak heran jika rumput liar dan makhluk-makhluk kecil nanmulia ini juga turut lenyap dalam peradaban dan keegoisan zaman.
Barangkali mereka juga telah turut mati bersama teriknya matahari dan kekeringan panjang yang semakin karuan mendera bumi kami. Musim hujan yang seharusnya datang memeluk bumi kini belum mau menunjukkan batang hidungnya. Butiran-butiran beningnya masih enggan membasahi tanah yang semakin kering dan keropos.
Menanti hujan saat ini bak pungguk merindukan bulan. Semuanya serba tidak pasti. Para petani kecil di kampung-kampung pun mulai ketar-ketir memikirkan nasib dan masa depan mereka. Mereka siap gigit jari jika hujan tak mau memihak dan jatuh cinta lagi bersama mereka. Kemiskinan dan rawan pangan menjadi ancaman serius yang teramat nyata satu saat nanti.
Wajar sekali jika para petani ini patut bergelisah, sebab mereka sangat yakin bahwa mereka selalu merasakan akibat dari sistem kerja alam. Mereka harus takut sebab, mereka tidak punya pegangan dalam hidup, dan biasanya mereka sering diabaikan dipermainkan seenaknya oleh para pemimpin mereka.
Kalapun terjadi kelaparan mendera kampung-kampung udik di pelosok negeri ini, para petanipun berjuang sendirian dan bahkan mati dalam kelaparan itu, sedangkan para petinggi dalam negara ini memilih untuk cuci tangan, kongkalikong dan mengkambinghitamkan para petani.
Lalu memang wajar kalau mereka cemas, sebab mereka tidak pernah menikmati hidup dalam kesetaraan dan kewajaran sebab wakil-wakil terhormat di negara ini lebih suka memikirkan urusan saku dan kantongnya masing-masing dari pada mengurus nasib para petani kecil.
Mereka lebih suka ribut pada hal-hal yang tidak urgen ketimbang memperhatikan kesedihan dan penderitan manusia serta bumi tempat manusia bersandar diri.
Aku masih tetap membungkuk di tempat tidur usangku. Aku tak tahu setan apa yang membangungkan dan membawaku sampai sejauh ini. Terus dan terus kucoba sekuat mungkin membendung pikiranku yang sudah karuan terbang kemana-mana dan ingin kembali tertidur sampai pagi benar-benar disebut pagi, namun memang mataku seakan-akan enggan tuk terlelap dan pikiranku semakin kacau. Semakin ku berjuang memeluknya, semikin dia menjauh dan bahkan datang menyerang seluruh kerja saratku.
Dalam keheningan yang semakin sunyi dan pekat ini kucoba sekali lagi menenangkan pikiran dan berdamai dengannya. Lalu pelan-pelan kumencoba masuk dan mengerti mengapa kekeringan masih tetap saja panjang di bumi kita sedangkan hujanpun semakin tidak peduli pada bumi yang semakin haus padanya. Saya menduga bahwa bumi dan alam kita saat ini sedang marah pada manusia. Marah akibat tingkah laku manusia yang semakin tidak etis dan enggan untuk ramah padanya. Jengkel pada tingkah manusia yang semakin arogan dan tak tahu diri.
Tubuhnya kini sedang sakit sebab manusia zaman ini lebih suka menggeruk, melukai, merobek, melubangi, menebang dan membakar tubuhnya secara kasar, liar dan serampangan.
Lihat saja isi hutan, pohon dan pepohonan yang dulu berdiri kokoh dipuncak-puncak gunung, di lembah sungai dan di lereng-lereng bukit kini tak lagi menampakkan wajah eloknya.
Naluri keserakahan sudah lebih awal datang menebang, dan membakar, dan membabatnya habis-habisan. Hak hidup mereka dibungkam dan dicabut dan kini semakin terancam sebab keegoisan manusia sudah semakin membatu di hati.
Di kamar sempit ini aku semakin tersiksa sebab hampir setengah dari malamku berlalu dalam kekosongan. Tubuhku terasa semakin ringan sebab aku tak mampu menggayung stamina dari malam yang pekat ini.
Di sini masih sama, tidak ada yang lain selain aku, kesunyian dan malam yang hitam ini. Matahari di ujung pagi masih terlelap dalam diam. Suara-suara ayam kampung yang sering berkokok dengan remain pertanda sebuah pagi hampir tiba pun sudah tak terdengar lagi.
Beberapa bulan lalu peyakit hebat yang bernama sampar itu dengan ganas membasmi dan memakanseluruh tubuh mereka. Mereka mati dengan penuh kepiluan.
Ini bukanlah hal baru cerita dikampung kami ini. Sudah banyak kali penyakit sampar menggulung dengan ganas ribuan ayam di kampung kami.
Namun orang-orang di kampung kampung tetap berjuang dengan caranya agar membiarkan mereka eksis, sebab bagi kami ayam adalah mahluk yang palingberarti sebab ia jenius lagi sakral.
Dia bukan saja sebagai daging yang paling bergizi tetapi disatu pihak dia dilihat sebagi penjaga pagi yang membuat engaku mengerti dan sadar tentang sebuah hari.
Dalam kebudayaan kami dia juga dipakai sebagai penghubung lidah manusia kepada Yang Tertinggi dalam ritus pintu manuk. Sebuah pesta adat bisa ditunda dan bahkan gagal kalau hewan yang satu ini belum menampakkan dirinya.
Tetapi ironisnya pemerintah lewat dinas terkait terkesan mosa bodoh dan seolah tidak andil dengan kejadian ini. Mereka jarang turun kampung untuk melakukaan sosialisasi atau kegiatan semacamnya. Maka sekali lagi mereka terkubur dalam kebisuan.
Secara tersamar-samar saya terhentak lagi dengan suara anak kecil yang menangis sejadi-jadinya di ujung kampung kami. Entah apa, aku juga tidak tahu tetapi ia dan ibunya bergulat sepanjang malam tanpa ampun. Malam ini mungkin menjadi malam yang kelam buat dirinya dan juga mamanya sebab mereka berdua juga belum sempat tidur. Aku menduga pasti anak itu lagi sakit. Sebab sore tadi saya sempat bertemu ibunya yang hendak menemui dan meminta bantuan dari seorang dukun ternama di kampung kami. Kebiasaan di kampung memang cukup lain.
Kalau ada orang sakit pasti yang dipanggil adalah dukun untuk mengobati si sakit. Mereka tidak biasa untuk berobat ke rumah sakit. Selain karena RS itu sulit dijangkau karena sangat jauh, mereka juga terkurung oleh mahalnya biaya pengotaban di apotek, klinik dan rumah sakit. Sehingga jalan terbaik adalah mempercayakan kesaktian dukun di kampung kami.
Kadang memang peyakit itu bisa lenyap seketika.Tetapi tak jarang justru menimbulkan konflik serta permusuhan dalam kampung sebab sang dukun lebih sering dan mudah mengkambinghitamkan orang lain sebagai biang dari sakit seseroang. Maka tak heran kalau kampung kami menjadi sangat rentan terhadappermusuhan dan percecokanantar sesama warga.
Bayangkan saja dalam dunia yang semakin maju ini orang dikampung saya masih percaya pada suanggi sebagai pencabut nyawa manusia. Mereka melihat manusia sebagai yang paling berkuasa dari Allah. Sesuatu yang sulit dimengerti.
Anak itu memang selalu sakit dan sering menangis sejak ia dilahirkan. Mungkin ia sedang marah pada sikap ayahnya yang kurang ajar dan tidak peduli pada nasib dia dan ibunya.
Saya tahu anak itu hanya hidup dengan ibunya. Ayahnya yang bejat dan tidak tahu diri itu sudah lama pergi meninggalkannya saat dia baru dilahirkan.
Anak itu adalah hasil dari hubungan gelap antara ibu dan ayahnya. Hari-hari hidupnya pun dilewatkan bersama kakek, nenek serta mamanya. Di kampung kami memang banyak lelaki yang tidak bertanggung jawab. Mereka lebih mudah mempermainkan istri-istri mereka lalu dengan kasar pergi entah kemana menelantarkan istri dan anaknya.
Hukum dan aturan adat tidak lagi mereka hiraukan, bahkan dipermainkan dengan bebas bahkan didepak jauh-jauh. Hal ini diperparah lagi oleh ulah para kepala kampung dan tokoh masyarakat yang kadang membekingi, melindungi tindakan bejat dari para lelaki ini.
Apalagi budaya kami menganut sistem patrineal yang menempatkan laki-laki sebagai yang paling berkuasa dalam keluarga. Mereka mempunyai otoritas yang besar untuk bisa mempermainkan segala sesuatu. Sehingga tidak heran kalau diskriminasi dan kekerasan selalu menjadi hal yang wajar bagi seorang lelaki. Tak jarang mereka dengan bebas memukul, memaki, dan melukai istri serta anak-anaknya. Sungguh sebuah kebudayaan yang sulit diterima dan perlu dirombak.
Akupun masih terjaga di pembaringanku. Mataku seakan tak ramah lagi memeluk ngantuk. Pikiranku yang tadi sempat tenang, kini tercampur emosi yang meluap-luap mengingat nasib anak kecil yang juga masih tetap menangis di ujung kampung itu. Kini suara adzan magrib di bagian barat kampung kami terdengar kerasa memecah kesunyian panjang.
Lalu di ujung kampung lonceng gereja pun sahut-menyahut bergaung mememecah keheningan pagi ini. Perlahan-lahan hentakkan kaki mulai terdengar dan lalu lalang melintasi rumahku. Mereka seakan tak peduli pagi yang masih pekat dan dingin di luar sana. Maklum, karena kebanyakan orang di kampung kami setia dan taat bergama. Di kampung ini dihuni oleh orang-orang dari berbagai keyakinan yang berbeda. Ada orang Kristen, Muslim, Hindu, Budha dan Konghucu.
Mereka semua hidup bersama dalam damai dan keharmonian yang akrab. Sangat jarang terdengar konflik kampung ini sejak nenek moyang mereka mendiami tanah ini. Mereka sudah terbiasa hidup dalam perbedaan. Bagi mereka perbedaan bukan sebuah masalah besar untuk dipecahkan, tetapi merupakan kekayaan yang harus dijaga selamanya.
Aku masih berusaha untuk kembali tidur dan tak peduli pada kecongkakan malam ini. Sebab aku terjaga pada sebuah pagi yang belum pantas sebagai pagi. Namun usahaku buyar berkali-kali. Aku benar-benar tak berdaya. Malam hingga pagi ini sugguh jahat. Segala daya dan upayaku punah satu persatu. Ibarat mengayung air laut yang mustahil tak akan pernah habis begitu pula dengan usahaku untuk meraih tidur malamku.
Pondok-Rogate
Maumere, 08 November 2017
Cerpen yang Tak Selesai Tapi Selalu Punya Pesan
Oleh Hengky Ola Sura
Redaksi Seni Budaya VOX NTT
Dalam catatan redaksi VOX NTT, cerpen Marsel Koka kali ini adalah cerpen yang kedua setelah Duka Lelaki Senja. Secara pribadi Marsel memang khas dengan gaya bercerita yang panjang, gaya bertutur yang meliuk dan selalu tersaji dengan berbagai kenyataan. Maka membaca cerpen Pada Sebuah Subuh, kita dihadapkan pada aneka persoalan yang tersaji. Hasilnya, ya cerpen ini memang seolah selalu tak selesai. Tak hidup dengan unik dalam sukma pembaca.
Secara keseluruhan cerpen ini terbilang istimewah hanya belum dikemas dengan apik untuk penyelesaian konflik dari semua deret persoalan. Mulai dari kekeringan yang melanda kampung, musim hujan yang tak jelas. Juga para politisi dan pengambil kebijakan yang tak menghiraukan penderitaan rakyat. Ada lagi persoalan macam penyakit warga kampung yang berserah pada dukun kampung karena tak berdaya dihadapan mahalnya biaya kesehatan.
Deret persoalan ini seharusnya jadi unik dengan menukikan semuanya secara tuntas pada satu konflik juga penyelesaian konflik. Sayangnya ini tak nampak. Yang ada adalah kita semua yang membaca cerpen ini seperti menyaksikan bahwa kita ikut terseret dalam mimpinya Marsel dan enggan bangun dari tidur kita. Terlepas dari banyaknya persoalan yang tersaji saya tetap percaya bahwa Marsel bakal terus hadir dengan keunikan cerpen-cerpen selanjutnya. Cerpen Marsel kali ini hadir seperti tak selesai tapi selalu punya pesan yang menegaskan kepada kita semua untuk hidup selaras alam, punya kepedulian dengan sesama, tidak sewenang-wenang bertindak dengan jabatan yang kita embani. Dan yang terpenting adalah punya tanggung jawab pribadi dengan apa yang kita hidupi.