Redaksi, Vox NTT-Kendati asal mula orientasi politik adalah kebaikan umum, namun daya pesonanya yang cukup kuat terbukti ampuh menyedot para pemimpin ke dalam korupsi dan gaya hidup hedonistik.
Uang, tahta dan popularitas menjadi gairah kekuasaan yang lekat dengan diri seorang pemimpin politik dari zaman dulu sampai zaman sekarang.
Akibat daya kendali diri yang lemah tersebut, ruang politik seperti dihuni oleh politisi maniak kekuasaan yang ketagihan berpolitik, meski miskin nilai. Bahkan pada level tertentu seperti pengidap narkoba yang berani ‘merampok’ bahkan ‘melukai’ dirinya sendiri untuk mendapatkan setetes kenikmatan.
Persaingan politik akibatnya berjalan tanpa etika, nilai dan moral. Pertarungan politik menjadi ladang pembantaian manusia terhadap manusia dan alam sekitarnya. Organisasi kekuasaan yang seharusnya menyelenggarakan pemerintahan untuk kesejahteraan rakyat berubah menjadi ladang perburuan kuasa yang diselimuti kobaran nafsu serakah.
Itulah sebabnya mengapa korupsi, kolusi, nepotisme, gaya hidup materialistik dan hedonistik menjadi trend yang kental melekat dalam diri pemimpin zaman now. Kita bahkan susah beroptimis bahwa di balik pesta demokrasi lima tahunan yang akan berlangsung tahun ini, dapat melahirkan pemimpin yang pro terhadap perubahan.
Pesta demokrasi lima tahunan yang menghabiskan segala sumber daya, hanya menjadi kesibukan tanpa makna ketika pada akhirnya terjerumus ke dalam iming-iming nikmatnya kekuasaan.
Visi-misi dan janji-janji manis selama kampanye, akan selalu berakhir tragis dalam rintihan pilu rakyat jelata. Kondisi Indonesia khususnya NTT saat ini tetap nasibnya tak tentu, tetap miskin bahkan mungkin akan terus miskin.
Padahal kekuasaan politik pada dasarnya sebagai alat perjuangan untuk membebaskan manusia dari ketidakadilan, penindasan, kemiskinan dan kebodohan.
Dalam konteks NTT, kemiskinan dan keterbelakangan selalu menjadi stigma yang terus melekat sejak awal provinsi ini terbentuk.
Dinamika kepemimpinan dari zaman ke zaman belum mampu mengeluarkan daerah ini dari masalah-masalah mendasar seperti kemiskinan, human trafficking, rawan pangan, dan rendahnya mutu pendidikan.
Sejumlah masalah yang pelik ini membutuhkan seorang pemimpin yang mampu memanfaatkan kekuasaannya secara bijak dan benar. Seorang pemimpin yang benar-benar sadar bahwa kekuasaannya adalah alat pembebeasan rakyat dari rintihan tangis kemiskinan dan kemelaratan.
Karena itu, gubernur NTT yang diharapkan bukan orang yang pandai memainkan pencitraan atau politik bunglon. Bukan ‘pemain’ yang lincah mengubah dirinya sesuai keadaan dan kondisi rakyat. Bukan pula orang yang hanya cerdas dan pintar secara ilmu dan pendidikannya.
NTT membutuhkan seorang gubernur yang mampu menaklukan nafsu tubuhnya dari godaan kenikmatan kuasa. Dia harus mampu mengendalikan nafsu tubuhnya yang sakau akan uang, kuasa, popularitas, perempuan, dan gairah kekuasaaan lainnya, agar kekuasaan yang melekat dalam dirinya itu bisa membawa kebaikan.
Seorang gubernur dalam konteks kemiskianan NTT tidak akan mampu membebaskan rakyatnya jika belum mampu membebaskan dirinya dari cengkraman nafsu tubuh yang membelenggu kekuasaan dalam jabatannya.
Kini pesta demokrasi menuju pilgub NTT semakin semarak terdengar. Dentingan musik kampanye mulai bergema dari kampung ke kampung. Manuver politik para calon berangsur dinamis bahkan memanas.
Dari hiruk pikuk ini, satu pertanyaan galau kemudian muncul, mampukah gubernur yang akan datang menaklukan nafsu dirinya? Mari kita tengok rekam jejak para calon sebelum nafsu itu membunuh mimpi dan harapan kita.