Oleh: Inosentius Mansur *
Kita akan memasuki tahun politik. Tidak diragukan lagi bahwa tahun politik selalu dikaitkan dengan kekuasaan. Maka tidak heran jika sebagian besar kontestan yang ingin bertarung dalam tahun politik selalu berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan kekuasaan itu.
Problemnya, cara yang mereka gunakan untuk mendapatkannya acapkali mengabaikan aspek etik, nir-edukatif dan anti-pluralisme. Berbagai isu sensitif coba diproduksi, direproduksi dan direkayasa seturut alur desain pragmatik untuk dijadikan komoditas politik demi memenangkan orientasi elektoral. Efeknya adalah momentum Pilkada selalu berpotensi “menciptakan” distorsi dalam ranah sosial.
Tak hanya itu, nafsu akan kekuasaan juga menyebabkan elite politik mengorbankan rakyat. Rakyat dijadikan komoditas politik dan diinstrumentalisasi untuk mencapai kepentingan parsial.
Ruang publik kita telah menjadi forum mobilisasi politik “tipu-tipu” yang tidak mengedukasi masyarakat untuk menjadi warga demokrasi yang sehat.
Kalau tidak dilakukan langkah antisipatif, maka hal seperti ini akan menjadi habitus dalam berpolitikan kita. Lebih dari itu, hal seperti ini juga berpotensi meminggirkan rakyat dari gelanggang politik partisipatif.
Kritik
Dalam keadaan seperti ini, kita membutuhkan kehadiran pers. Pers bisa menangkal bahaya diintegrasi dan instrumentalisasi rakyat.
Pers mesti menjadi alat edukatif yang mencerdaskan masyarakat dan membentengi rakyat dari upaya politisasi dan jebakan para pemburu kuasa.
Pers harus memastikan bahwa rakyat tetap independen dan secara rasional memberikan keputusan untuk memilih calon pemimpin yang memiliki kelayakan tertentu. Pers mesti meredam viralisasi manipulasi yang bertujuan menjerat rakyat agar menjadi obyek eksploitasi.
Hal seperti ini dapat dilakukan dengan selalu mengedepankan berita-berita yang fair atau apa adanya. Rakyat layak untuk mendapatkan informasi yang benar tentang setiap calon. Pers berkewajiban secara moral dan etik untuk menyampaikan informasi-informasi yang memberi ruang bagi rakyat untuk merefleksikan keterlibatan mereka dalam demokrasi elektoral.
Namun, persoalannya, adalah pers acapkali menjadi alat kampanye politik dan dengan demikian memback-up hasrat pragmatis elite-elite politik. Pers diinstrumentalisasi dan dikonstruksi sedemikian rupa untuk mendukung frame politik pragmatik. Ya, harus diakui dengan jujur bahwa pers (terkadang) menjadi alat propaganda politik.
Pers acapkali tidak berjalan sesuai perannya dalam menguatkan civil society dan membantu rakyat untuk berpikir dan bertindak selaras demokrasi. Pers seringkali mengikuti selera politik dari elite ataupun kelompok kepentingan tertentu. Bahkan terkadang juga, pers bertindak layaknya pengamat yang “mempersekusi” orang tertentu lewat dalil-dalil yang tidak etik dan mengabaikan aspek moral.
Saya memang tidak bisa menginventarisasi serta memastikan keterlibatan pragmatik dari pers (media) tertentu dalam politik praktis. Tetapi, saya juga paham bahwa ada media yang menjadi corong dari elite politik tertentu.
Mudah sekali membaca beberapa berita yang dipublikasikan oleh media tertentu dan selalu membela orang atau kelompok tertentu. Dia akan memuji-muji orang/kelompok tertentu dan selalu mempublikasikan kelebihan-kelebihannya.
Sementara di sisi lain, media yang sama seringkali mendiskreditkan orang atau kelompok tertentu dengan mengeksploitasi segala kekurangan yang ada padanya. Apa saja kekurangan dari orang tertentu, diviralkan dan dijadikan sebagai dasar untuk “menghajarnya” secara publik.
Hal seperti ini tentu saja mengorbankan rakyat. Sebab rakyat akan digiring untuk memilih calon yang telah dipuja-puji oleh media tertentu.
Penulis tidak sedang menuduh bahwa pers sudah berafiliasi secara pragmatik dengan elite ataupun kekuatan politik tertentu. Namun demikian, mesti diakui juga bahwa pers memang terkadang menyangkal perannya sebagai the fourth estate.
Kita tidak mungkin membantah bahwa dalam praksis publik, pers acapkali berpihak pada kelompok kepentingan tertentu dan secara masif menyerang kelompok yang lainnya. Pers telah dikapitalisasi. Pers terkadang menjadi alat yang mendegradasi keadaban berdemokrasi dan menghancurkan martabat politik elektoral.
Independen
Kita berharap agar pers tetap memainkan peran sebagaimana mestinya. Pers harus memastikan paritisipasi publik dalam tahun politik tidak terkontaminasi oleh upaya-upaya kanalisasi secara destruktif oleh elite-elite politik tertentu.
Pers mesti melindungi rakyat dengan mengadakan upaya literasi tentang pentingnya partisipasi publik dalam pentas demokrasi elektoral.
Pers mesti menggalang kesadaran publik dengan membantu rakyat untuk melihat visi-misi politik dan rekam jejak calon pemimpin.
Pers harus membantu rakyat untuk terlibat dalam diskursus kritis. Pers mesti membantu rakyat agar mampu melakukan kajian akademik dan elaborasi empirik atas agenda-agenda politik dari setiap calon pemimpin. Pers tidak boleh dikanalisasi dan dijinak apalagi menjadi tim kampanye politik dari calon tertentu.
Pers juga mesti mampu memobilisasi kesadaran rakyat agar tidak menjadi matra yang distir untuk kepentingan tertentu. Pers mesti tetap menjadi andalan utama dalam menyampaikan apa yang benar kepada rakyat dan bukannya apa yang diinginkan oleh elite politik tertentu. Pers mesti mengafirmasi kebebasanya berupa hak untuk mengomunikasikan ide, opini, dan informasi (Eferte: 1984). Oleh karena itu, pers mesti memfasilitasi khalayak memahami isu politik (Nadhya, 2011). Pers harus menyampaikan yang benar kepada rakyat.
Saat semua elite politik mereduksi tahun politik menjadi momentum untuk mendapatkan kekuasaan, pers mesti menyadarkan mereka bahwa tahun politik mesti memberi efek edukatif bagi rakyat. Artinya rakyat diberi edukasi untuk menjadi pelalu politik aktif dan bebas tanpa tekanan dan upaya instrumentalisasi.
Saat elite politik hanya menjadikan tahun politik sebagai momentum mendapatkan kursi jabatan, pers mesti mengembalikan hakikat tahun politik ini sebagai momentum mencari pemimpin artikulatif yang mendengarkan keluahan rakyat dan dimanifestasikan dalam program liberatif.
Saat rakyat seringkali digoda dan dijebak untuk masuk dalam perangkap kelompok kepentingan tertentu, pers mesti mengeluarkan mereka dari situ. Pers mesti menjadikan rakyat agar tetap menjadi subyek aktif lagi kritis. Hanya perslah yang bisa menjadikan tahun politik ini terhindar dari upaya privatisasi oleh sekelompok elite. Ini semua dapat terealisasi jika pers benar-benar independen.
* Pemerhati sosial-politik dari Seminari Ritapiret – Maumere