Jakarta, Vox NTT-Sehari menjelang penetapan calon kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum, salah satu bakal calon kepala daerah Provinsi NTT yang juga masih menjabat sebagai Bupati Ngada, Marianus Sae, terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi pada Minggu, 11 Februari 2018.
Penangkapan terhadap Marianus Sae ini menambah daftar panjang kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, khususnya di sektor sumber daya alam. Sebut saja Rita Widyasari Bupati Kutai Kartanegara dan Nur Alam Gubernur Sulawesi Tenggara beberapa waktu lalu.
Melky Nahar, Direktur Divisi Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Indonesia menyebut Operasi Tangkap Tangan ini sebagai peringatan bagi publik untuk lebih cermat lagi memandang politik elektoral, khususnya Pilkada Serentak pada Juni 2018 mendatang.
Momen politik elektoral seperti Pilkada, Pileg dan Pilpres, kata dia, selalu berkaitan erat dengan praktik korupsi, khususnya di sektor sumber daya alam. Apalagi biaya politik yang demikian besar, dimana untuk menjadi Walikota/Bupati setidaknya dibutuhkan biaya mencapai Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar, sedangkan untuk menjadi Gubernur bisa mencapai Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar.
“Kebutuhan biaya yang demikian besar ini tidak sebanding dengan jumlah kekayaan yang dimiliki para calon kepala daerah” pungkas Melky dalam press release yang diterima VoxNtt.com, Senin (12/02/2018).
Untuk menutupi kekurangan biaya tersebut, lanjutnya, para kandidat giat mencari sponsor melalui praktik ijon politik dan mencari sumber keuangan lainnya melalui praktik korupsi.
“Apa yang terjadi dengan Marianus Sae patut diduga sebagai praktik korupsi untuk menutupi kebutuhan biaya Pilkada Serentak 2018 mendatang,” tegasnya.
Dikatakan, Marianus Sae yang diusung PDI Perjuangan dan PKB ini, sesungguhnya bukan figur yang bersih.
Dalam konteks pertambangan, JATAM menyebut Marianus Sae menerbitkan 5 Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada 2010, tahun dimana ia terpilih dan dilantik menjadi Bupati Ngada. Salah satu perusahaan yang diberikan izin adalah PT Laki Tangguh Indonesia, milik Setya Novanto dengan luas konsesi mencapai 28.921 hektar.
Marianus pun pernah dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri pada 20 September 2013 atas dugaan manipulasi izin tambang PT Laki Tangguh, dimana Izin Usaha Pertambangan terbit sebelum adanya permohonan tertulis dari pihak PT Laki Tangguh.
Selain pertambangan, Marianus juga tercatat menerbitkan Surat Izin Lokasi kepada Perusahaan Perkebunan Kemiri Reutealis Trisperma , PT Bumiampo Investama Sejahtera, anak perusahaan PT Bahtera Hijau Lestari Indonesia (BHLI) seluas 30.000 hektar pada 2011.
Akibatnya, lahan masyarakat di Kecamatan Wolomeze diambilalih, hutan produksi masyarakat ditebang seenaknya.
Sumber: Rilis JATAM
Editor: Irvan K