Oleh: Rudy Haryatno
Mahasiswa STFK Ledalero Maumere
Geliat korupsi terus terjadi di tengah arus demokratis, mulai dari pusat hingga desa. Dalam laporan statistik Anti Corruption Clearing House per 31 Desember 2017, dipaparkan bahwa di tahun 2017 KPK melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan rincian: penyelidikan 123 perkara, penyidikan 121 perkara, penuntutan 103 perkara, inkracht 84 perkara, dan eksekusi 83 perkara.
Sementara pada tahun 2015 dan 2016, dicatat masing-masing penyelidikan 87 dan 96 perkara, penyidikan 57 dan 99 perkara, penuntutan 62 dan 76 perkara, inkracht 38 dan 71 perkara, dan eksekusi 38 dan 81 perkara.
Dari data ini jelas bahwa terhitung dari tahun 2015-2017 persoalan korupsi terus meningkat di tengah gelombang dan spirit demokratis.
Di tengah menjamurnya organisasi-organisasi, LSM-LSM dan seruan anti korupsi, toh kasus korupsi terus saja menggunung. Mengapa demikian?
Peningkatan kasus korupsi di tengah arus demokrasi salah satunya terjadi karena pada saat masa pemilu/pilkada para kandidat cenderung menggunakan “money politik.”
Money politik yang dimaksudkan di sini adalah selain membeli suara dengan uang atau barang, juga ketergantugan para kandidat pada uang dalam memenangkan kompetisi. Kita memang akui bahwa kontestasi pemilu/pilkada membutuhkan modal dan biaya yang tidak sedikit.
Namun ironisnya, dana pembiayaan atau modal itu (terkadang) diperoleh dari suap dan konsensus gelap dengan pihak ketiga, pihak swasta misalnya. Bukan tidak mungkin, korupsi niscaya terjadi pada saat kandidat menggenggam kuasa legal.
Aksi kotor ini dilakukan untuk membayar atau menutupi sumber dana gelap yang membiaya kompetisi menuju kekuasaan. Jadi bagi saya, momen pemilu/pilkada bukan hanya wadah demokrasi yang melahirkan pemimpin baru, tetapi juga merupakan lahan persemaian benih korupsi.
Benih Korupsi dalam Moment Pilkada
Di tengah hiruk pikuk kotestasi pilkada serentak tahun ini beredar informasi perihal beberapa kandidat yang terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK. Harian Pos Kupang, 13 Februari 2018 menampilkan beberapa nama kontestan pilkada di beberapa daerah yang berada dalam ligkaran korupsi.
Sebut saja, Siti Mashita Soeparno dan Amir Mirza Hutagalung, Rabu 30 Agustus 2017, menjadi tersangka suap pengelolaan dana jasa pelayanan kesehatan di RSUD Kardinah dan fee proyek 2017. Keduanya adalah bakal calon wali kota dan calon wakil wali kota Tegal.
Pada Kamis 17 November 2017, kontestan Pemilihan Wali Kota (Pilwali) Mojokerto, Wali Kota Mojokerto, Mas’ud Yunus terjerat kasus suap DPRD Mojokerta.
Pada Selasa, 17 Januari 2018 giliran kontestan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kaltim, Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari terjerat kasus pencucian uang senilai Rp. 436 miliar.
Selanjutnya, kontestan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jombang, Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko terjerat kasus dugaan suap dana Puskesmas Rp. 25. 550.000 dan USD 9.500, Sabtu 3 Februari 2018.
Kemudian, pada Minggu 11 Februari 2018, kontestan Pilgub NTT, Bupati Ngada, Marianus Sae terjerat kasus dugaan suap fee proyek senilai Rp. 4,1Miliar.
Fakta terjerat OTT beberapa kontestan tersebut di atas mengundang reaksi beragam. Reaksi yang paling dominan adalah kecewa dan senang.
Reaksi kecewa tentu terlahir dari para pendukung tersangka. Sementara, reaksi senang mengalir dari para kontestan dan pendukung kandidat lain.
Namun bagaimanapun, fakta OTT mendukung atau paling tidak sedikit membenarkan hipotesis saya pada awal, bahwa pilkada meruapakan lahan bagi persemaian benih korupsi. Memang secara hukum mereka belum terbukti bersalah. Namun setidaknya, dari beberapa bukti yang dikemukakan oleh KPK, ada indikasi modus korupsi.
Korupsi merupakan penyakit sekaligus fakta politik yang paling dibenci oleh rakyat Indonesia secara umum. Bahwasannya, korupsi menjadi salah satu biang kemandekan pembangunan kesejahteraan rakyat. Dalam kurun waktu 6 bulan mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2017, Indonesia Corupption Watch (ICW) mencatat ada 226 kasus korupsi.
Kasus dengan jumlah tersangka 587 orang itu merugikan negara Rp 1,83 triliun dan nilai suap Rp 118,1 miliar. Ironis bukan? Angka ini sangat fantastis. Bisa dapat dipastikan bahwa rakyat semakin melarat jika aksi korupsi tidak mati. Pada titik ini muncul pertanyaan, apakah demokrasi tidak punya daya melumpuhkan geliat korupsi para pemimpin-wakil demos (rakyat)?
Partisipasi Rakyat
Secara sederhana, demokrasi dipahami sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Adagium “dari rakyat” berarti pemerintah atau pemimpin dalam negara demokrasi dipilih atau ditentukan langsung oleh rakyat.
Hal ini nyata dalam pemilu dan pilkada. Sementara ungkapan “oleh rakyat” berarti rakyat punya kewenangan untuk ikut berpartisipasi dalam mengkaji kebijakan yang bertalian dengan kepentingan publik. Atau paling tidak, demokrasi diidealkan menjamin keberlangsungan kontrol rakyat (popular control) terhadap urusan publik atas dasar kesetaraan warga negara.
Sedangkan, ungkapan “untuk rakyat” berarti jalannya pemeritahan benar-benar berorientasi pada upaya meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi, dalam pemerintahan demokratis, demos mempunyai kedudukan sentral. Karena itu, rakyat mempunyai kekuatan dalam upaya mengatasi geliat korupsi yang menjadi salah satu virus dalam ruang demokrasi.
Kekuatan demos dalam mengatasi korupsi dapat dilihat dari peristiwa OTT yang terjadi pada beberapa kontestan pilkada. Tertangkap atau terjeratnya beberapa kandidat kepala daerah oleh KPK melalui OTT merupakan satu tanda nyata perihal kesadaran demokrasi warga negara.
Rakyat tidak lagi apatis terhadap kehidupan politik. Perilaku elite politik yang “dicurigai” tidak lagi direspon dengan aptisme. Sebagian besar rakyat Indonesia mulai reaktif dan responsif terhadap geliat elite yang berindikasi berlaku destruktif, korupsi misalnya. Bertolak dari reaktifisme dan reponsifisme sebagian besar rakyat, KPK bisa turun ke lapangan dan menangkap pelaku atau aktor politik yang (diduga) “selingkuh”.
Tanpa adanya laporan dari rakyat, KPK niscaya tidak mengetahui perihal aksi “perselingkungan” para (calon) elite negara dengan pihak lain (swasta) di ruang gelap, entah di pusat atau di daerah.
Di sisi lain, dari peristiwa OTT beberapa kandidat kepala daerah, KPK serentak menjadi penyulut spirit demokratis rakyat. Sikap responsif dan reaktif KPK terhadap laporan rakyat serentak menghadirkan kepercayaan diri pada rakyat. Rakyat semakin merasa diakui hak suaranya. Eksistensinya sebagai demos tidak lagi dipasung. Demokrasi telah menyediakan ruang yang besar bagi rakyat untuk berekspresi dan berpartisipasi.
Demokrasi menyediakan ruang partisipasi bagi rakyat sebab dalam sistem demokrasi, pemerintahan itu ada pada tangan rakyat. Adanya pengakuan terhadap kedaulatan rakyat. Rakyat mempunyai posisi sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam negara demokrasi, seperti Indonesia, “baik/tidaknya” kehidupan bernegara bergantung pada sejauh mana partisipsi rakyat.
Karena itu, rakyat mesti berpartisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aksi partisipatif itu tidak hanya berlangsung pada saat musim pilkada tetapi juga dalam setiap gerak-gerik kebijakan pembangunan bangsa. Rakyat mestinya tidak hanya melaporkan para kandidat yang dicurigai ada indikasi korupsi-suap/beli suara misalnya, tetapi juga berani mengkawal dan “memata-matai” para pemimpin atau wakil rakyat secara umum.***