Oleh: Edi Hardum,
Wartawan dan advokat,
Anggota Presidium DPP Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), tinggal di Jakarta
Beberapa bulan lalu, Wakil Bupati Manggarai, Viktor Madur, mengeluarkan pernyataan kepada pers yang mengatakan, Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kabupaten Manggarai, tingkat kehadiran di kantor bagus, namun kualitas masing-masing pribadi masih rendah.
Pernyataan seperti ini tentu berdasarkan hasil kerja dari para PNS yang tidak memuaskan atau tidak mencapai terget. Dalam sebuah tim kalau semua anggota tim atau sebagian besar anggota tim tidak menguasai apa yang mereka kerjakan bersama tentu hasilnya tidak sesuai dengan yang ditargetkan.
Pernyataan orang nomor dua di Kabupaten Manggarai ini ditanggapi beberapa PNS Manggarai secara tidak langsung. Ada yang menanggapnya lewat status di facebook. Mereka mengatakan hasil kerja PNS Manggarai tidak maksimal karena perekrutan dan penempatan pejabat dan staf tidak sesuai latar belakang ilmu dan kemampuan para PNS.
“Bagaimana kualitas bagus, perekrutan dan penempatan pejabat dan staf tidak sesuai bidang dan kemampuan !” tulis seorang PNS Manggarai di akun facebook-nya.
Sebagian lagi dari mereka berpendapat bahwa penempatan pejabat dan staf di Kabupaten Manggarai umumnya berdasarkan prinsip suka dan tidak suka (like and dislike). Pimpinan Pemkab Manggarai mengabaikan prinsip menempatkan orang sesuai bidang dan kemampuannya (the right peope on the right place).
Kualitas sebagian besar PNS rendah bukan hanya terjadi di Kabupaten Manggarai, tetapi juga di Manggarai Barat, Manggarai Timur dan NTT seluruhnya. Bahkan, sebagian besar daerah di Indonesia dan di tingkat pusat seperti di kementerian dan lembaga setingkat menteri juga berkualitas rendah.
Berdasarkan testimoni sejumlah ASN dan PNS yang saya cermati, kualitas PNS rendah karena, pertama, perekrutan PNS lebih besar dilakukan berdasarkan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), warisan gaya Orde Baru.
Konon, perekrutan PNS yang tidak kentara KKN-nya bahkan nihil, terjadi dalam perekrutan yang dilakukan paling akhir yakni dua tahun lalu. Hal itu terjadi kerena ujian perekrutannya dilakukan secara online dan terbuka.
BACA: PNS Non-Sarjana Dominasi Birokrasi di NTT
Pada tahun-tahun sebelumnya masih mewarisi kebiasaan Orde Baru berdasarkan KKN. Sehingga tidak heran di sejumlah kementerian dan daerah, PNS-nya seperti organisasi kerajaan. Ada ibu dan anak, anak paman dan keponakan, dan lain-lain. Contoh nyata yang penulis saksikan ada di Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia.
Kedua, pengangkatan pejabat dan penempatan staf baik di pusat dan daerah berdasarkan prinsip like and dislike sebagaimana disebutkan di atas, bukan berdasarkan kualitas dan kompetensi (the right people on the right place).
Kalau di daerah, prinsip suka dan tidak suka ini lebih kepada penilaian apakah sang PNS ketika Pilkada berlangsung mendukung pasangan kepala daerah yang sedang berkuasa atau tidak. Kalau tidak, sudah pasti tidak mendapatkan posisi yang bagus, bahkan tidak dinaikkan eselonnya.
Kalau di pusat, manajemen suka dan tidak suka ini, pertama, lebih kepada pertimbangan keluarga dan sikap royal serta loyal. Royal artinya setoran uang kepada atasan atau sang menteri melalui orang-orangnya. Biasanya orang-orang menteri ini disebut staf khusus. Setoran uang kepada menteri ini umumnya lebih banyak dipraktikan di kementerian yang menterinya berasal dari Partai Politik (Parpol). Loyal artinya tidak membantah apa pun yang dikatakan atau dikerjakan atasan, meskipun itu salah.
Ada pun sistem lelang jabatan dan penempatan jabatan eselon direkrut melalui panitia seleksi, berdasarkan pantuan penulis hanyalah formalitas belaka. Pelaksanaannya jauh dari yang diharapkan. Orang-orang diangkat pada jabatan tertentu tetap berdasarkan keinginan sang menteri atau sang kepala daerah. Bagaimana caranya ?
Salah satunya adalah pertanyaan yang diajukan kepada orang yang tidak disukai atau bukan pesanan sang menteri atau kepala daerah, sama sekali tidak berhubungan dengan topik yang seharusnya ditanyakan.
Ketiga, tidak adanya penilaian kinerja untuk PNS. Karena perekrutannya KKN, penempatan dan pengangkatan juga berdasarkan KKN dan prinsip like and dislike sudah pasti tidak ada penilaian kinerja (reward and punishment).
Keempat, sebagian besar PNS saat ini terutama eselon III – I di kementerian, III-II di daerah merupakan sisa-sisa Orde Baru, yang enggan untuk berubah. Karena enggan berubah, maka mereka tidak ingin ada anak buah mereka lebih cerdas atau berkualitas dari mereka (bandingkan Rhenald Kasali, 2017:11).
Peran Birokrasi
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih rakyat. Dalam pengertian yang luas birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah.
Sistem pemerintahan di sini mencakup sistem administrasi, sistem manajemen pemerintahan, dan sistem kelembagaan yang meliputi struktur organisasi, pegawai, dan infrastruktur kelembagaan.
Pegawai pemerintah mencakup pegawai karier yakni pegawai negeri atau pegawai dari hasil pengangkatan dan pegawai non karier (pegawai atau pejabat dari parpol dan / atau hasil penunjukkan) sepanjang menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Sedangkan dalam pengertian sempit birokrasi dapat diartikan sebagai organisasi pemerintah atau birokrat.
Keberadaan birokrat dalam sebuah negara sangatlah penting. Karena pentingnya sebagian pakar mengatakan, negara dalam arti tertentu adalah pemerintah. Dan pemerintah dalam arti yang sempit adalah birokrat. Sehingga jangan heran dalam banyak literatur kita temukan birokrat disebut sebagai aparat negara (I Dewa Gede Atmadja, 2012: 51).
Di banyak negara yang sedang membangun, birokratlah yang menjadi inisiator dan perencana pembangunan, yang mencari dana dan menjalankan investasi pembangunan, yang menjadi manajemen produksi dan redistribusi outputnya. Singkatnya birokrat adalah aktor yang mahakuasa (omnipoten) (Mohtar Mas’oed, 1999:69).
Konsep birokrasi yang berkembang legal-rasional banyak berkembang di sejumlah negara di dunia adalah birokrasi yang diajarkan Max Weber dengan tiga karakteristik (Taufiq Effendi dalam bukunya,”Reformasi Birokrasi dan Iklim Investasi”, Februari 2013:40-42).
Pertama, hierarki. Organisasi dan administrasi disusun berdasarkan tingkatan yaitu ada yang mengawasi (superordinasi) dan yang diawasi (subordinasi).
Kedua, diferensiasi atau spesialisasi. Pembagian tugas menurut keahlian untuk organisasi besar yang mengelola sumber dsaya yang besar dan kompleks, sangat diperlukan.
Ketiga, kualifikasi atau kompetensi. Pegawai harus memiliki kompetensi atau kualifikasi dalam arti “fit” untuk pekerjaannya sesuai dengan keterampilan atau tingkat pendidikannya.
Namun, menurut Taufiq Effendi di negara-negara maju konsep birokrasi yang dirumuskan Weber sudah ditinggal. Yang dipakai adalah rumusan birokrasi yang dirumuskan Ludwig von Mises.
Menurut Mises (1944) manajemen birokratis dan manajemen demokratis, bertentangan. Manajemen demokratis adalah yang paling baik dalam pemerintahan karena lebih bersifat koordinatif. Atasan tidak memonopoli kebenaran.
Sedangkan manajemen birokratis sangat salah dan menyesatkan. Ia berpendapat bahwa manajemen birokratis diperlukan dalam kondisi tertentu, misalnya birokrat harus tunduk penuh pada peraturan perundang-undangan. Namun ada konsekwensi yaitu jika birokrat hanya menjalankan aturan birokrat bekerja tanpa ada kreasi kewenangan diskresi.
Pemikiran Mises tersebut kemudian banyak dijadikan dasar penerapan prinsip-prinsip good governance dan konsep learning organization dalam bisnis dan pemerintahan.
Banyak orang tentu sepakat. Konsep birokrasi Max Weber soal hierarki yakni organisasi dan administrasi disusun berdasarkan tingkatan yaitu ada yang mengawasi (superordinasi) dan yang diawasi (subordinasi) yang selalu dipraktikan di Indonesia sejak dulu.
Dalam pelaksanaannya banyak penyimpangan yakni yang namanya atasan atau yang mengawasi tidak bisa dikritik atau merasa tak ada salah. Yang diawasi atau bawahan yang mencoba melakukan kritik atau memberi masukan dia pasti tidak diberi peran seperti sebagai yang terjadi di banyak kementerian dan pemerintahan daerah di Indonesia, terutama di NTT dan Papua serta Papua Barat, yang merupakan tiga provinsi terkebelakang di Indonesia.
Dalam tataran inilah birokrasi Indonesia terutama masa Orde Baru disebut birokrasi yang feodalistik. Seorang atasan sangat feodal. Birokrasi seperti ini rentan adanya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Presiden Jokowi, ketika menjadi calon Presiden 2014, berjanji, salah satu yang menjadi prioritasnya adalah reformasi birokrasi. Namun, sudah tiga tahun lebih pemerintahan Jokowi berjalan, janji ini belum sepenuhnya jalan, terutama di daerah, lebih utama lagi di NTT.
Kita berharap, gubernur dan wakil gubernur terpilih NTT dalam Pilgub Juni 2018, salah satu unsur penting yang harus dikerjanakan adalah penataan birokrasi dengan menerapkan konsep birokrasi ala Mises yang mendepankan asas demokrasi, dimana dipentingkan koordinasi antara atasan dan bawahan, dan atasan tidak memonopolisi kebenaran.
Agar koordinasi ini berjalan bagus tentu pengangkatan dan penempatan pejabat birokrat dan staf harus berdasarkan prinsip the right people on the right place. Selain itu yang paling penting adalah perekutan birokrat (PNS dan ASN) harus menggunakan merit system. Jauhkan sistem KKN.
Birokrasi ala Mises adalah birokrasi anti KKN dan anti prinsi like and dislike karena yang dipentingkan adalah prinsip-prinsip good governance dan konsep learning organization dalam bisnis dan pemerintahan.
Penataan dan pembenahan birokrasi di NTT ini penting karena menurut penulis, salah satu yang membuat NTT sebagai salah satu provinsi terkebelakang adalah manajemen dan kualitas birokrasi yang rendah.
Memang penulis tahu bahwa gubernur dan wakil gubernur tidak bisa terlalu jauh untuk mengintervensi penataan birokrasi di seluruh kabupaten dan kota, karena kabupaten dan kota juga memiliki otonomi. Namun paling tidak gubernur dan wakilnya harus memberi teladan dan menjadi trigger (penggerak) dalam membenahi dan membentuk bikrorasi yang sehat dan berkualitas.
Penulis yakin birokrasi yang berkualitas, inovatif dan kreatif serta manajemen birokrasinya bagus, maka pembangunan sebuah daerah berjalan cepat sesuai yang diharapkan. Semoga !