Oleh:Markus Makur
Pekerja Media, Kontributor Kompas.com dan The Jakarta Post
Orang Manggarai, Nusa Tenggara Timur memiliki kearifan tersendiri dalam menghadapi situasi tertindas. Cara orang Manggarai melawan tidak secara frontal dan vulgar melainkan secara halus melalui ungkapan-ungkapan kiasan yang diwariskan leluhur.
Mereka selalu mengungkapkan “Lelon kaut le morin agu ngaran” untuk menyampaikan peringatan terhadap penguasa maupun aparat penegak hukum yang lalim.
Kalau goet ini diterjemahkan maknanya kurang lebih ‘biarkanlah Tuhan yang bertindak’. Biarkanlah Tuhan yang mengatasi persoalan manusia di dunia ini.
Ungkapan ini tidak hanya dimaknai perlawanan verbal orang Manggarai atas situasi ketidakadilan dan ketidakberdayaan, tetapi juga simbol ketidakpercayaan terhadap ‘pemimpin dunia’ untuk menciptakan kebaikan bersama.
Ungkapan ini tidak hanya terjadi dalam ranah kehidupan sosial, tetapi juga dalam politik dan ekonomi.
Ketertindasan Infrastruktur Dasar
Salah satu persoalan yang hingga kini ‘menindas’ orang Manggarai adalah soal infrastruktur dasar. Masalah ini sangat lekat dengan wilayah kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Maka ungkapan “lelon kaut le morin agu ngaran” juga sering dituturkan menghadapi situasi semacam ini. Kekurangan air, jalan, listrik, irigasi, pelayanan pendidikan dan kesehatan menjadi salah satu faktor mendasar rakyat miskin terus dililit kemiskinan.
Ungkapan ini menunjukkan rakyat dilupakan, dipinggirkan oleh penguasa yang sedang berkuasa. Padahal amanat dan kepercayaan telah diberikan lewat suara dalam pesta demokrasi.
Ungkapan-ungkapan itu selalu berhubungan dengan morin agu ngaran sebagai sang pencipta kehidupan. Bahkan dilantunkan dalam lagu-lagu lokal orang Manggarai Raya, seperti lagu Aku Retang Bao, Sangku Lerong dan masih banyak lagi.
Ungkapan “lelon kaut le morin agu ngaran” merupakan kritikan pedas terhadap penguasa yang tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Lebih jauh ungkapan ini bermakna biarkanlah Tuhan langsung mengurus rakyat. Biarkanlah sang pencipta memenuhi kebutuhan dasar rakyat.
Di balik ungkapan ini, juga terselip pesan moral serta ajakan untuk berubah.
Ungkapan itu seharusnya ditangkap oleh penguasa yang sedang berkuasa maupun yang sedang maju sebagai bahan refeksi diri.
Penguasa dan calon penguasa harus memiliki rasa malu dengan ungkapan sederhana ini karena merupakan simbol kegagalan dirinya untuk menciptakan kebaikan bersama.
Ungkapan itu seharusnya membangkitkan hasrat dan gairah dari penguasa untuk keluar dari zona nyaman kekuasaan. Dia harus mampu menaklukan godaan kenikmatan kuasa agar kuasa itu menjadi daya yang hidup untuk perubahan.
Pemilihan pemimpin baru di Manggarai Timur yang sudah memasuki tahapan kampanye terbuka dan tertutup ini juga harus dimaknai dalam langgam refleksi kritis itu .
Hemat saya yang paling mendasar adalah pemimpin itu sendiri harus gelisah dengan masalah sosial. Dia harus gelisah ketika ungkapan ‘lelon kaut le morin agu ngaran’ sering keluar dari mulut rakyatnya.
Seorang pemimpin yang diharapkan harus punya dorongan ‘magis’ mencari sesuatu yang lebih. Dia tidak cepat puas ketika disanjung dalam ritual atau menerima status quo, melainkan cenderung gelisah mencari sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih besar yakni demi kemuliaan rakyatnya.