Butiran Ke 10
Jemari kekasihku
Meremas erat butiran ketiga
Mulutnya mengunyah lidahku
Sambil daraskan pujian
Kepada ibu lelaki yang dituduh penjahat
Aku ingin mengoyak pakaian kekasihku
Sebelum jemarinya berhenti
Pada butiran kesepuluh
Dan ikut daraskan
“doakanlah kami yang berdosa ini
Sekarang dan waktu kami mati”
Maumere 2015
Hanya Saja
Teriakan menyalamimu
Begitu keras terdengar
Di telinga
Tidak hanya sekali,
Mungkin sebanyak
Mereka yang makan
Roti pemberian anakmu
Hanya saja,
Hati dari pemilik teriakan
Tidak sekeras seruan bibirnya
Ledalero, 15 Oktober 2014
Salib
Kayu berat yang pernah kau pikul
Kini sering bergantung pada dahi, dada dan kedua bahuku
Saat aku hendak bersua denganmu pada tanah tempatku melangkah
Saat aku terbaring lemah
Saat aku ada di semua
Berharap untuk selalu berani menggantungmu saat aku bersama mereka
Ledalero, 14 September 2014
*Putra Niron, menulis antologi puisi Penyair Bukan Kami bersama Cici S. Ndiwa
Menikmati Kekayaan Imajinatif dari Puisi
Oleh Hengky Ola Sura
Redaksi Seni Budaya VOX NTT
Tiga puisi dari Putra Niron pada edisi pekan ini adalah puisi-puisi yang hadir dengan kekayaan imajinatif yang luar biasa istimewa. Jika dibaca sepintas saja maka kesan yang nampak adalah puisi-puisi yang datar, biasa dan monoton. Ketika mendalami Butiran ke 10, Hanya Saja dan Salib secara pribadi saya menemukan kedalaman imajinasi yang ikut memurnikan hidup keberimanan saya sebagai orang Kristen. Tiga puisi Putra kali ini adalah puisi-puisi dengan kadar religiositas yang kaya makna.
Pada puisi Butiran ke 10, ada kesan puisi ini seperti hendak mengeksploitasi tubuh. Putra Niron sebagai penulis bicara tentang perempuan yang ia sebut kekasih juga tentang Maria sebagai ibu dari kisah tentang hidup dan penederitaan dari Yesus Sang Almasih. Kelihaian Putra nampak dari ia ia menyusun baris-baris katanya yang menghadirkan tanda juga penanda. Dari sini saja secara amat kuat kita bisa menarik satu kedalaman kesaksian dari dua orang yang saling mencintai dalam doa-doa yang terpintal dari sosok perempuan yang disebut Putra sebagai kekasih.
Pada puisi Hanya Saja saya kira puisi ini dipersembahkan khusus kepada Bunda Maria. Sebagai seorang frater (calon imam Katolik) Putra Niron dalam puisi-puisinya kali ini bicara tentang kesaksian yang harus juga hidup dalam diri para pembaca. Puisi Hanya Saja mengajak pembacanya untuk lebih’lantang’ menunjukan satu cara bersikap yang meluap dari hati yang penuh dengan ketulusan dan bukan penuh dengan perilaku yang sekedar tampak untuk dipuji atau dilihat. Penekanannya adalah lebih pada cara hidup.
Pada puisi Salib, Putra secara amat telak menunjukkan satu cara pergulatan hidup yang dialaminya. Pada puisi ini pesannya pun bisa saja layak untuk hidup dalam pengembaraan-pengembaraan batin kita untuk mencerap segala yang kita alami, kita terima dan juga kita hidupi.
Terlepas dari semuanya cara Putra menghadirkan tiga puisinya kali ini lekat sekali dengan kekayaan imaginasi yang mewartakan bahwa puisi itu dekat sekali dengan kita.