Cerpen Ronny Manas
Lekuk pinggul pantai melilit kaki bukit utara Nian Tana Sikka hingga basah berbusa dijilat hempas lidah gelombang.
Lelaki penjinak makhluk bawah laut bertelut mengemas jala. Guratan letih disunting tua terpatri dalam keriput wajah. Helai rambut meranggas diterpa nafas alam, pantulkan umbar senyum senja yang lepas dari rumbai cakrawala.
Hari sungguh menepi dalam sayap malam. Di atas pundak karang berlumut, kutengadahkan mata menonton runtuh senja ke dalam pusara gulita.Seketika hasrat berjumpa gadis pirang itu mengubur niat untuk pergi.Waktu itu, kami bersua dalam tanya akan tempat ternama ini, lalu ikrar janji untuk tuntaskan keasingan malam ini.
Sesaat kemudian, gelap menghimpit sunyi pada poros buana. Erang alam tak meluruhkan yakin seluas bentang laut yang haram berganti busana,meski derai cemas mengguyur rasa. Kerlip lentera penakluk malam dalam medan tak bertulang itu membungkam desis risau dada laksana hening malamd alam anggunnya. Tamparan telapak ombak pada punggung karang melemah.
Sekonyong gadis itu melawat sisiku tanpa kata. Kubalik tubuh padanya sembari menawari sesungging senyum. Namun ia begitu dingin.Tetap bisu. Aku pun diam. Kami terdiam seperti saat mengungkap tanya yang sama tentang tempat yang sama lantaran tujuan yang sama dari dua insanasing. “Cinta menciptakan kesamaan,”bisik rasa jiwaku pada ambang jumpa malam itu.Pertama kali aku menotesi diaryku, 9 Juli 2005.
“Aku harap kamu belum kecewa dan marah karena keterlambatanku”, katanya mencairkan diam beku pada hasrat pertemuan malam itu.
“Segala yang terjadi memiliki alasan. Kecewa tak harus menjadi dalih untuk tiap kekeliruan,” aku meyakinkan dia sambil meremas jemari lentiknya.
Kedip nur gemintang di balik semburat awan kelam menggendong kami menuju tilam kebutaan indrawi. Tinggal jernih hati menuntun jiwa pada pengakuan akan kebenaran tertinggi yang meloroti takut akan mahagelap dalam rongga malam. Aku mencatat, “Cinta Mengalahkan Ketakutan” pada carik malam 22 Februari 2012.
Musim garap dengan terik memanggang kulit telah berlalu. Bayang arakan awan-gemawan menyulam wajah langit jadi murung. Rajut cinta dalam tarian malam teriring irama debur ombak pada telinga karang berduri memperpanjang horizon ziarah hati. Hari-hariku berlalu begitu cepat bertabur sepi, sedang malam gersang terbentang panjang tanpa mimpi. Rindu kian berkecambah dalam taman gelisah.
“Bila rindu menusuk hati dan menghapusnya lewat hadirku, jangan kau kembali lagi ke tempat ini saat kau telah kehilangan cahaya.Kita bukan manusia malam tapi anak-anak fajar. Janganlah kau cari aku di tengah keramaian kota karena aku tabu akan aroma nikmat dan pesta pora. Datangilah tempat yang kau tanyakan padaku dan kutanyakan padamu ketika kita bersua di pertemuan di pantai malam itu.”Bagaimana aku dapat menemukannya hanya dengan mendengarkan kata hati? Apa kata hatiku? Mungkinkah ia menungguku di jembatan antara langit dan bumi itu dalam hening kudus laksana pertapa di zaman baheula? Aku mencatat, “Cinta Menuntut Usaha Dalam Diri Untuk Menemukannya” pada serpih 2 Juni tahun itu.
Suatu sore, aku mendatangi persimpangan itu. Kosong melompong. Hanya terdengar usil alam dalam senandung lirih guguran daun kering. Sejenak dalam diam. Diam itu membangunkan lagi keping kisah perjumpaan itu dari mati surinya. Warna suara, kerling mata, wangi tubuh serta rambut terjuntai sepinggang tanpa narwastu memenuhi jiwaku, lalu memenjarakanku pada lorong pencarian buntu.“Mengapa kenyataan tidak menuruti kerinduan hati?” protesku. “Memang rencana Tuhan tak selalu sejalan dengan perasaan manusia. Namun, Dia selalu memiliki alasan kasih atas segala yang dilakukan bagi manusia meski menyakitkan.” Kesadaran ini meyakiniku menelusuri setapak menuju bukit itu. Jalanan lusuh parasnya. Tiada jejak-jejak menempel pada tubuhnya. Dalam derap kaki, aku mencatat lagi pada tepi 9 Agustus 2012: “Cinta Adalah Setapak Tempat Jejak-Jejak Hati Menoreh Kisah.”
Kupijaki lagi puncak bukit belum terbaptis itu pada 24 Oktober. Sebuah bangunan klasik di puncaknya. “Pasti ini tempat ziarah yang aku dan dia tanyakan saat berjumpa sore itu,” yakinku.Namun ragu sempat menyingkap layar keyakinanku.Tak kujumpai arca kudus untuk satu rangkul lengan dan semenit sembah dalam lengking doa tulus. Aku berhenti di sana dan menulis “Aku telah tiba padanya dan menemukannya.”Sementara itu, mentari menyusupi helai dedaunan pagar angsana di taman depan bangunan arkais itu. Lenggok kuntum mawar merias rupa tanah asri di ubun-ubun bukit itu.“Inikah tempat itu? Mengapa dia tak menungguku di sini? Ragu mengusik tanya pada asa yang bersemi. Aku pun menulis: “Benarkah cinta itu ada? ”Sekonyong-konyong ia menghampiriku dari belakang.“Cinta itu ada meski ia misteri.Ia bukan perkara rasio.Bukan pula tandingan logika.Tapi perkara hati. ”ujarnya sambil menuntunku ke dalam bangunan klasik yang menyimpan seribu tanya di kepala. Mungkin inilah tempat persembunyian para pertapa ratusan tahun lalu dari wabah kekejaman dunia. Kala itu, dunia tak lagi mengenal cinta.Hati tak lagi mencintai.Manusia hidup dalam semangat egoisme, hedonisme dan konsumerisme seperti sekarang. Dunia tak pernah lengang dari elegi pencabulan, pemerkosaan, perampokan, korupsi dan pembunuhan.
Lalu, mengapa engkau di sini? Mengapa aku juga ke sini dan mengapa kita mesti di sini? Apakah kita sama seperti para pertapa itu? “Segala sesuatu memiliki alasan.
Tiap alasan pun mengandung alasan lain dan menjadikannya alasan. Sebenarnya dunia dan hidup penuh alasan.” Lalu ia menyambung, “Aku dan kau berada di sini karena hati. Tempat yang kutanyakan dan kau tanyakan padaku dalam sore asing itu adalah hatiku dan hatimu. Hatiku mencari hatimu. Hatimu mencari hatiku. Kini mereka telah berpelukan dalam kedekatan kita. Mereka bersenandung girang dalam melodi desir darah. Mereka berciuman dalam kecup telapak tangan kita. Mereka berpagutan dalam simfoni debar jantung kita. Tak ada alasan lain untuk mati di pucuk keintiman jiwa kita.”
Aku tak kuasa membantahnya kecuali menulis ini, “Hidup penuh alasan. Hati adalah alasan tumbuh dan gugur kedamaian. Kejadian dalam hidup tercipta dari hati. Hatipun melahirkan cinta yang menjadikan segala sesuatu menjadi baik dan lebih baik. Dengarkanlah hatimu berbicara.” Kusampul catatanku dalam bingkai 23 Februari 2015.*
Catatan Yang Asing dari Diary Hati
Oleh: Hengky Ola Sura
Redaksi Seni Budaya VOX NTT
Membaca cerpen dari Romy Manas pekan ini adalah membaca luahan hati yang nestapa.
Sayangnya sosok-sosok yang hadir dalam cerpen ini adalah serupa orang-orang asing yang hidup dalam segala tanya tentang cinta.
Cerpen ini memang menciptakan kesan tunggal hanya tak runut dalam eksekusi tentang segala dari refleksi tentang cinta.
Dari kalimat pertama sampai akhir pembaca seperti disodorkan renungan tentang kisah dua anak manusia yang juga tak jelas kisahnya. Yang nampak tertulis ada kesan dramatik toh kesan itu sama sekali tak hidup dalam sanubari pembaca.
Untuk cerpen dengan tokoh-tokoh abstrak dengan segala jalan cerita yang abstrak memang butuh keakuratan mengelola cerita.
Jika tidak maka dari awal sampai akhir pembaca disodori kisah yang membuatnya tiba-tiba tak lanjut membaca. Salut untuk Romy yang telah sedang memulai cerpen dengan kisahan seperti ini.
Saya percaya segala yang bernama catatan harian kadang selalu asing di mata pembaca tinggal kelihaian untuk membuatnya menjadi hidup dalam sanubari ketika hadir menjadi sebuah cerita.
Jika tidak maka kisah ini akan juga membawa pembaca pada keterasingan yang dipaksa untuk juga ikut merenung kisah-kisah sang penulis diary.