Jakarta, Vox NTT- Berdasarkan pantauan VoxNtt.com, hari ini tiga media ternama nasional kembali memperlihatkan dinamika politik nasional, baik di bidang politik pangan, politik seputar pilkada, hingga kembalinya gerakan alumni 212.
Kompas misalnya, menurunkan berita utama tentang “Jebakan Impor Pangan”.
Dalam laporannya kompas menunjukan, saat ini kedaulatan pangan Indonesia sebagaimana dicita-citakan bangsa ini sejak era kemerdekaan mengalami ancaman.
Mempublis kembali studi yang pernah dilakukan Henry Kissinger sebagaimana terdaftar dalam United States National Security Council pada 10 Desember 1974, dimana Henry Kissinger menerbitkan studinya tentang implikasi pertumbuhan penduduk dunia terhadap kepentingan Amerika Serikat.
Kompas memperlihatkan bahwa salah satu rekomendasi dari hasil studi Kissinger itu adalah menjadikan pangan sebagai senjata bangsa.
Pemikiran Kissinger itu pun telah menandai sebuah babak baru dalam politik pangan, yang prosesnya dimulai sejak akhir 1960-an. AS dan negara-negara maju lainnya, melalui perusahaan transnasional, berlomba menguasai pangan dunia.
Pasar bebas yang digawangi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menjadi kuda troya kapitalisasi pangan itu.
Jika pada 1960-an negara berkembang merupakan eksportir pangan dan produk pertanian utama, akhir 1980-an mulai terjadi pergeseran peran.
Hingga pada awal tahun 1990-an, negara-negara berkembang telah menjadi importir pangan.
Indonesia termasuk salah satu negara paling terdampak politik global ini sehingga kini masuk dalam perangkap impor pangan, terutama gandum. Gandum awalnya masuk ke pasar domestik Indonesia melalui hibah kemanusiaan AS di bawah payung Public Law (PL) 480 pada 1969.
Beralih ke gandum
Rezim Orde Baru yang saat itu ingin mencari pangan alternatif beras yang harganya di pasar global sedang tinggi memberikan aneka kemudahan bagi industri penggilingan gandum menjadi terigu.
Industri ini pun memiliki kuasa besar untuk mempromosikan gandum hingga ke penjuru negeri.
Data terbaru dari United States Department of Agriculture (USDA), sebagaimana dirilis Kompas pada tahun 2017/2018 ini, Indonesia menjadi pengimpor gandum terbesar di dunia, menggeser posisi Mesir yang secara tradisional pemakan terigu.
Menurut studi USDA ini, tren peningkatan impor gandum dan produk turunannya di Indonesia, terjadi karena adanya pergeseran pola makan masyarakat.
Olahan gandum perlahan juga merajai meja makan masyarakat Indonesia dengan produk terpopulernya, mi instan.
Masalahnya, gandum hanya cocok ditanam di daerah subtropis sehingga sepenuhnya bergantung pada impor.
Proporsi gandum sebagai pangan pokok di Indonesia terus melonjak dari 21 persen pada 2015 menjadi 25,4 persen pada 2017. Berdasarkan data terbaru United States Department of Agriculture, tahun 2017/2018, Indonesia diprediksi jadi pengimpor gandum terbesar di dunia dengan volume 12,5 juta ton.
Volume impor gandum ini jauh lebih besar daripada impor beras 500.000 ton oleh pemerintah baru-baru ini.
Berbeda dengan impor beras yang memicu kegaduhan politik, impor gandum melenggang.
Proporsi gandum sebagai pangan pokok yang terus meningkat ini menjadi ancaman nyata kedaulatan pangan nasional.
Apalagi, yang paling tergeser oleh lonjakan impor gandum adalah ragam pangan lokal. Konsumsi pangan pokok di Indonesia pun menuju seragam dengan dominasi beras dan gandum.
Untuk keluar dari jebakan impor pangan, satu-satunya jalan adalah kembali pada keberagaman pangan lokal.
Konsep ketahanan pangan harus keluar dari bias Jawa yang serba beras, tetapi mesti berwawasan ekologi dan budaya Nusantara yang beragam.
Sementara Media Indonesia menurunkan berita utama tentang daerah rawan korupsi politik dan politik uang dalam Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) serentak 2018.
Dengan judul ”Pilkada dikepung politik uang” Media Indonesia (MI) mengupas tentang daerah yang menjadi titik-titik rawan korupsi. Dalam ulasannya mereka (MI) mengatakan, politik uang dikwatirkan merajalela pada pilkada serentak pilkada 2018.
Bahkan dalam perkiraan mereka bisa mencapai 50% dari 171 pemilukada terancam musuh utama demokrasi itu.
Kajian Indonesian Budget Center (IBC), dari 17 provinsi yang menghelat Pilkada, 10 di antaranya rawan korupsi politik dan politik uang.
10 Kabupaten tersebut di antaranya, Riau, Lampung, Jabar, Jatim, NTB, Kalbar, Kaltim, Maluku, Maluku Utara, Papua. Untuk Kabupaten/kota, dari 159 yang melakukan pilkada 95 dalam kategori rawan.
Deputi IBC, Elisabeth (Ibeth) Koesrini mengatakan, selain calon petahana, penyalahgunaan kekuasaan dan politik uang juga bisa dilakukan oleh calon-calon yang mempunyai relasi kekuasaan dengan Pemerintah Pusat.
“Semisal, Menteri, Gubernur, mantan Menteri, TNI, Polri aktif. Sedangkan di legislatif ada calon DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten kota dan juga ada dari kalangan ASN (Aparatur Sipil Negara).
Mereka adalah actor-aktor yang memupuyai relasi kuasa dan bisa mempengaruhi alokasi APBD atau kebijakan untuk kepentingan kampaye,” Ujar Ibeth di media center Bawaslu kemarin.
Direktur Eksekutif IBC, Roy Salam menambahkan, ada banyak modus yang dapat dilakukan petahana untuk melakukan politik uang, termasuk menjadikan APBD sebagai sumber dana kampanye.
“bisa berupa bantuan social, hibah atau dalam bentuk kebijakan. Semisal, banyak kepala desa yang diberangkatkan untuk kunjungan kerja atau studi banding tetapi isinya hanya jalan-jalan,” ucap Roy.
Untuk calon dari legislatif, kedok dana aspirasi bisa dipakai untuk dana kampanye mereka di daerah. ”Jadi tidak hanya calon petahana, ada banyak calon yang bisa menyalahgunakan uang atau fasilitas negara,” pungkas Roy.
Update Isu: Dari Galapagos Sampai Penetapan Jokowi Presiden
Sementara Ketua Bawaslu RI, Abhan menyampaikan, pihaknya telah menerima laporan sumber dana awal untuk kampanye dari seluruh calon.
Tanpa merinci ia menyampaikan, 11 pasangan calon melaporkan dana kampanye terbesar yakni Rp 1 miliar-13 miliar. Dia juga mengungkapkan, untuk mengawasi dana kampanye, Bawaslu bersinergi dengan KPK.
Anggota Bawaslu RI, Fritz Edward Siregar, mengingatkan semua calon untuk jujur melaporkan dana kampanye dan penggunaannya.
Bawaslu juga sudah bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mengawasinya.
“Perlu diingat bahwa UU Pilkada mengatur sanksi pidana bagi mereka yang (menggunakan) dana kampanye tidak semestinya, bahkan paslon bisa dibatalkan,” tandas Fritz.
Kasus Memalukan
Tak Cuma kontestan, korupsi politik ternyata juga dilakukan oleh penyelenggara dan wasit pilkada. Satgas anti politik uang polri pun sudah menangkap ketua Panwaslu, Heri Hasan Basri dan anggota KPU Garut, Ade Sudrajad, Sabtu (24/2) karena diduga menerima uang suap dari calon.
Penangkapan itu dilakukan atas laporan keduanya menerima uang, sedikitnya Rp 200 juta dan sebuah mobil.
“Ini berkaitan dengan dua Paslon yang sudah dibatalkan, tidak ikut Pilbup ternyata telah memberikan sejumlah hadiah kepada komisioner dan Ketua Panwas,” kata Diserse Kriminal Umum Polda Jabar, Kombes Umar Surya Fana.
Selain Ade dan Heri, imbuh Surya, Polda Jabar juga sudah menetapkan tersangka baru. Namun dia enggan menjelaskan jati dirinya. “Dia ini (diduga) pemberi suap,” katanya.
Bawaslu pun sudah memberhentikan sementara Heri, begitu juga Ade yang juga akan dinonaktifkan.
Selain Kompas dan MI, Tempo menurunkan berita utama tentang Alumni 212 yang digawangi FPI, pasca kasus penistaan agama yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan kembali melakukan aksi geruduk sidang Ahok.
Dengan judul berita ”Alumni 212 Geruduk Sidang Ahok? Bachtiar Nasir: Itu Hak MA, Tapi”.
Tempo mempublis ulasannya tentang aksi gruduk yang kembali dilakukan FPI dalam sidang Peninjauan Kembali atas vonis penistaan agama yang diajukan Ahok yang digelar Pengadilan Negeri Jakarta Utara hari ini, Senin 26 Februari 2018.
Alumni 212, gerakan aksi 2 Desember 2017 yang menuntut Ahok disidang saat itu, turun mengeruduk Gedung Pengadilan.
Ada pertanyaan yang menarik. Bahwasannya, apa yang membuat mereka turun kembali?
Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), Bachtiar Nasir mengatakan, meski PK yang diajukan Ahok adalah hak Mahkamah Agung dalam memutuskan, namun masyarakat tetap ingin menyampaikan pendapatnya atas sidang PK Ahok.
Bachtiar berdalih, itu adalah hak konstitusional warga negara.
“Teman-teman di lapangan saya pikir berhak untuk mengeskpresikannya secara konstitusional dan demokratis,” kata Bachtiar yang ditemui usai menghadiri milad pertama organisasi masyarakat Kebangkitan Jawara dan Pengacara di Aula Komplek DPR Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu 25 Februari 2018.
Saat ditanya jumlah masa yang diklaim para alumni 212 mencapai 5 ribu orang yang akan mengawal sidang PK Ahok, Bachtiar menjawab “Mudah-mudahan.”
Juru bicara Pengadilan Jakarta Utara Jootje Sampaleng mengatakan, Ahok mengajukan PK karena dua alasan.
Alasan yang diajukan Ahok adalah adanya kekhilafan hakim dalam memutus perkara dan adanya pertentangan yang nyata antara fakta dan kesimpulan hakim.
“Jadi kekhilafan hakim itu dia anggap suatu kekeliruan yang nyata,” kata Jootje Sampaleng pada Selasa, 20 Februari 2018.
Menurut Jootje, Ahok menggunakan putusan terpidana perkara pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Buni Yani sebagai referensi pengajuan PK tersebut. Namun, Ahok tidak mengajukan novum alias bukti baru dalam permohonan PK.
Penulis: Boni Jehadin
Diolah dari: Kompas, MI, Tempo