Kupang, Vox NTT- Jika sebelumnya publik Indonesia dihebohkan dengan aksi peringatan kartu kuning untuk presiden Jokowi dari BEM UI, di Kupang, ibu kota Provinsi NTT, aksi kartu juga dimainkan Senat Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) di DPRD NTT, Rabu, (28/2/2018).
Bedanya mahasiswa di Kupang memberi kartu merah kepada DPR RI terkait revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Pantauan VoxNtt.com, sambil melakukan orasi dan long march, masa aksi memegang kartu merah di tangan mereka sambil sesekali mengangkat kartu tersebut di hadapan pengguna jalan yang lewat.
Koordinator Umum Aksi, Veky Tameon saat diwawancarai usia beraudiens dengan DPRD NTT mengatakan, aksi kartu merah ini sebagai bentuk mosi tidak percaya terhadap lembaga DPR yang membungkam sikap kritis rakyat.
“Undang-undang ini merupakan bentuk kemunduran demokrasi di Indonesia. Ini adalah upaya untuk membungkam masyarakat yang ingin mengkritik DPR. DPR seakan menjadi lembaga yang otoriter. 250 juta masyarakat terancam dengan peraturan ini,” tegas Veky usai menggelar demo di Gedung DPRD NTT, Rabu, (28/2/2018).
Senat Unwira menilai revisi undang-undang ini hanya sebagai tameng untuk melindungi diri para anggota dewan dari segala kebobrokan oknum yang selama ini merusak citra DPR.
“Hal ini dapat menghambat pemberantasan korupsi dengan semakin sulitnya memeriksa anggota DPR yang diduga melakukan korupsi. Lama-kelamaan, ini akan membuat korupsi makin tumbuh subur di DPR. Karena itu, bagi kami melihat ada hal yang akan menciderai demokrasi di Indonesia,” kata Veky.
Sementara itu, Ketua Senat Unwira, Elfrem Woni mengatakan, sejak lahirnya revisi UU MD3 pada 12 Februari tahun 2018 lalu sudah menuai kontroversi di masyarakat.
“Sambutan kurang hangat dari publik menandakan ada yang tidak beres dengan UU MD3 ini,” kata Woni.
“UU MD3 ini dijadikan tameng untuk melindungi berbagai persoalan yang menyeret para wakil rakyat,” lanjutnya.
Menurut dia, UU MD3 mengandung banyak pasal yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan lainnya. Padahal aturan atau hukum yang dibuat, tidak harus lahir di atas aturan lainnya.
UU MD3 juga berpotensi mengerdilkan KPK yang sedang memantau korupsi di DPR. Dalam UU tersebut dikatakan kalau dipanggil DPR, tidak datang, bisa dipanggil paksa oleh polisi.
“Pemanggilan paksa ini termasuk kepada pimpinan KPK yang sebelumnya bukan menjadi kewenangan DPR. Langkah ini bisa menjadi intervensi DPR terhadap proses pemberantasan korupsi di KPK,” pungkas Woni.
Menanggapi aspirasi itu, wakil ketua DPRD NTT, Alex Ofong mengatakan sebagai lambaga perwakilan di daerah aspirasi yang disampaikan oleh senat mahasiswa Unwira Kupang itu akan meneruskan ke lembaga DPR RI.
“Kita juga melihat bahwa di media sosial sudah banyak beredar permintaan menolak revisi UU ini. Sudah sekian juta orang yang menandatangani ini. Maka hari ini apa yang dilakukan oleh teman-teman ini adalah bentuk aspirasi perlawanan terhadap arogansi DPR dan lembaganya. Tentu kita yang ada disini sepakat dengan teman-teman,” kata Ofong.
Penulis : Tarsi Salmon
Editor : Boni Jehadin