Labuan Bajo, Vox NTT- Kebijakan pembatasan hak-hak dasar warga Desa Papagarang, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat menuai pandangan pro dan kontra.
Sejak Pulau Papagarang ditetapkan dalam zona penyanggah Taman Nasional Komodo (TNK), hak-hak dasar mereka sebagai warga negara dibatasi. Itu seperti; hak kepemilikan tanah, mata pencarian, dan lain-lain.
Anggota DPD RI Adrianus Garu menilai kebijakan tersebut harus dilawan dan perlu dikaji ulang, berhubung sangat mengganggu hajat hidup warga Papagarang yang umumnya berprofesi sebagai nelayan. Apalagi warga menempati wilayah Papagarang jauh sebelum TNK hadir.
“(TNK) jangan merugikan masyarakat Labuan Bajo, harus dilawan!, masa kok tidak boleh mancing di (pulau) Papagarang, sementara di situ nelayan yang notabene hari-harinya kerjanya cari ikan, sontoloyo ini,” ujar Andre dalam diskusi dengan Forum Pemuda Lintas Partai Politik di Dapur Kota, SMAN 1 Komodo, Labuan Bajo, Sabtu malam, 3 Maret lalu.
Senada dengan Andre, Ketua DPC PKB Mabar Sirilus Ladur juga menilai, kebijakan pembatasan hak-hak dasar tersebut merupakan keputusan sepihak yang tidak berdampak pada kesejahteraan warga Desa Papagarang.
Menurut dia, kebijakan itu justru membuat masyarakat semakin terpuruk karena kehilangan matapencarian mereka sebagai nelayan.
Jika demikian pandangan Adrianus Garu dan Sirilus Ladur, berbeda halnya dengan SSI Dive Instructor di Labuan Bajo Stanislaus Stan.
Menurut Stanis, upaya mengizinkan warga Papagarang untuk menangkap bebas ikan di zona TNK bukan langkah solutif.
Dia beralasan, icon wisawata Manggarai Barat bukan saja binatang raksasa komodo, namun terumbu karang dan ikan yang menawarkan sejuta pesona keindahan.
Ketua Mabar Watch itu menjelaskan, ikan hanya bisa berteduh di mana ada terumbu karang. Selanjutnya, di mana ada terumbu karang pasti di situ merupakan dive spot.
Jadi, sangat mustahil para nelayan diizinkan memancing atau menangkap ikan di-dive spot tersebut.
“Pertanyaannya adalah, apakah demi para nelayan kita menghancurkan semua dive spot yang menjadi icon pariwisata yang berdampak kepada seluruh masyarakat Manggarai Barat?” tegas Stanis kepada wartawan di Labuan Bajo, Kamis (08/03/2018).
“Pertanyaan berikut, apakah juga demi pariwisata kita membunuh nasib para nelayan yang hidup dalam TNK?”
Menjawab dua pertanyaan penting tersebut lanjut dia, tentu saja tidak serta merta hitam-putih. Artinya, begitu mudah mengeluarkan kebijakan dengan mempertahankan nelayan dan mengabaikan spot dive.
Wakil Ketua DPD II Golkar Manggarai Barat itu menegaskan, mesti ada upaya semua pihak, baik pemerintah maupun swasta untuk membuat suatu terobosan.
Terobosan diyakini akan mampu menghilangkan rasa dependensi atau ketergantungan tinggi para nelayan terhadap mata pencarian sebagai nelayan.
Menurut Stanis, nelayan mesti diarahkan untuk melihat dan berbuat sesuatu yang lain. Hal itu misalnya; dive course, naturalist guide, pelayan restaurant, house keeping untuk hotel dan kapal, melatih cara membudidayakan ikan, lobster, dan lain-lain.
Selain itu, mendorong masyarakat nelayan untuk menjadi enterpreneurship.
Lalu, memberikan beasiswa pendidikan khusus bagi masyarakat nelayan yang ada di dalam Kawasan TNK.
Poin lain yakni, memastikan setiap perusahaan yang berhubungan dengan kepariwisataan mengakomodir masyarakat nelayan untuk bekekerja pasca mereka selesai mengenyam pendidikan.
Kemudian, membuka Balai Latihan Kerja khusus untuk masyarakat nelayan.
Masih ada solusi lain. Kata Stanis, bisa juga dengan kebijakan insentif khusus bagi warga tiga desa antara lain, Komodo, Rinca dan Papagarang.
Misalnya sebut dia, retribusi daerah dinaikan dari Rp 50.000 per kepala menjadi Rp 80.000. Catatannya sebanyak Rp 30.000 akan dibagi ke tiga desa tersebut masing-masing 10.000 per desa dari pungutan satu orang pengunjung.
“Dengan begitu maka akan ada sumber dana ekstra di tiga desa tersebut untuk menunjang program beasiswa pendidikan, pelatihan-pelatuhan, dan kegiatan lain yang memungkinkan bisa melibatkan seluruh masyarakat nelayan,” katanya.
“Saya sangat tidak sependapat jika kita berkutat pada persoalan apakah mempersempit atau memperluas atau mempertahankan zona TNK. Karena itu ibarat makan buah simalakama. Izin nelayan bebas mancing berarti hancurkan wisata bahari. Atau sebaliknya dorong wisata bahari dan mengabaikan para nelayan. Saya sangat berharap semua pihak bisa menawarkan win win solution,” ujarnya.
Penulis: Adrianus Aba