DI TEPI SUNGAI
sungai ini
mengingatkanku pada pergi
yang senantiasa mengalir
semacam kaki air
pada alis sungai
aku duduk mengenangmu yang kena tulah pergi
mengenangmu semacam menyaksikan
usaha anak-anak Ubrub
mendulang emas,
berulang ulang mata jari mereka memilah pasir dari emas
sebagaimana
aku berkali kali mencarimu yang disimpan
bebutiran pasir hati kepalaku
pencarianku kian tua,
letihnya
menjelma butiran hujan bulan ini
jatuhkan diri
ke dalam mata sungai
tercebur bersama kilaumu
(Ubrub 2018)
MALAMNYA ARSO 2
ini malam
bulan datang
nyala matanya redup
seumpama sumbu obor berburu ayah
nyala redup bulan senantiasa bulat sebagaimana wajah buah matoa
di papan tulis langit jauh
langkah kaki bulan pelan menulis:
setiap ibu seperti hutan dusun
tabah bila ditebang kicauannya
tapi setia bangun berkali kali menjadi rumpun pisang
pada warna maret
malam masih nyaring bernyanyi kodog
terdengar juga tangan angin seperti suara ibu, membaca kangen dan sepi
buat anak kunang kunang
yang mati kerlip di kota:
“apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti aku tungku tanpa api…”*
(Arso 2 / 2018)
*puisi W.S Rendra
HUJAN BOLA
sudah seharian hujan bola
mengguyur sorak lumpur dusun
membawa basah pada daun
kegembiraan seumpama
hujan
senantiasa berbicara dalam bahasa kuyup
memanggil siapa saja dengan suara gigil
anak anak dusun
bersahabat baik dengan bola
bila berjalan sama
disandarkan tatapannya
pada mata kaki lumpur mereka
bola…
di matamu selalu kau hujani
langkah sabar
sebelum berulang kami menendangmu ke arah gawang sebagai cita-cita
meski gagal berkali kali membentur lengan gawang
(Ubrub 2018)
(Catatan) Simile dan Metafora dari Puisi Gody Usnaat
Oleh Hengky Ola Sura
Redaksi Seni Budaya VOX NTT
Membaca puisi-puisi Gody Usnaat pada pekan ini adalah membaca peristiwa dan suasana alam yang teduh juga bersahabat. Gody yang kesehariannya ada di Tana Papua macam Arso sejatinya adalah juga seorang pejalan-pengembara. Semua yang dijumpai jadi kenangan penuh harap yang dibahasakan Gody menjadi puisi. Gody saya kira adalah penyair NTT yang layak dibaca sekaligus jadi pembanding bagi yang juga sedang bergelut dengan puisi. Tiga puisi dari Gody kali ini khas dengan perbandingan yang tepat sasar disematkan. Ada simile juga metafora nan apik yang menjadikan puisi-puisinya jadi lekat pada sukma pembaca. Sekalipun tak berada di Arso juga kisah tentang anak-anak Ubrub yang mengais reseki di sungai juga kegembiraan menendang bola saat hujan dari wajah anak-anak adalah satu cara penggambaran yang sempurna dalam bahasa puisi, yang membuat pembaca seolah ikut merasakan dan berada di sana.
Tanpa bermaksud melebih-lebihkan puisi-puisi Gody kali ini tapi membacanya seolah saya sedang hanyut dalam puisi-puisi bernyawa dari Lord Byron juga Gary Snider yang banyak juga menulis puisi tentang alam.
Akhirnya puisi-puisi Gody kali ini adalah puisi yang hadir khas dengan perbandingan macam simile dan metafora yang tetap selalu tinggal dan meninggalkan kesan mendalam.***