Di Perempatan
Yesus jatuh untuk keempat kalinya
Dan kita tak pernah tahu hal itu
Tiganya di Via Dolorosa
Satu lagi di perempatan lampu merah yang kadang macet
…….
Prtiittttt
Polisi meniupkan peluit
“Kau tak boleh lewat di sini. Ini bukan via Dolorosa”
Lalu Yesus dengan bibir yang ketar-ketir
menjawab
“Biarkan Aku disalibkan di sini
Bersama bocah kecil yang kau tabrak kemarin”
Tersesat
Di bibirmu yang selalu sunyi
Aku lupa pulang.
Semenjak saat itu
Aku selalu tersesat
Dalam doa pada bibirmu.
Kapan aku pulang
Kalau kau tak pernah menunjukkan
Jalan bagiku?????
Sang Penyair Tua
Ia masih terpekur di beranda rumah
Mengingat puisinya yang mati secara tragis
Di alun-alun kota.
Semua karena ulahnya
Ia sudah terlanjur menyangkal dirinya tiga kali
Dan puisinya selalu jujur
Mencintainya.
*Marno Wuwur, berasal dari Lamalera, Lembata. Tinggal di Seminari Ritapiret
Catatan Redaksi
Puisi-puisi Marno Wuwur yang ditayang pada pekan ini adalah karya perdana dari Marno yang dikirimkan ke redaksi. Atas pertimbangan kelayakan maka puisi-puisinya pantas untuk diperhadapkan pada pembaca.
Tiga puisinya mulai dari Perempatan, Tersesat dan Sang Penyair Tua adalah puisi yang hadir dengan cemerlang pada pemaknaan pembaca. Sekalipun baru pertama puisi-puisinya tayang pada Vox NTT toh jejak kepenyairan sebenarnya sedang dirancang Marno. Urusan menjadi penyair biarlah menjadi panggilan sendiri-sendiri tapi membaca Perempatan, Tersesat dan Sang Penyair Tua kita seolah sedang membaca puisi-puisi Joko Pinurbo.
Pada puisi Perempatan, Marno hadir menghentak hidup keberagamaan-keberimanan kita. Juga hidup sosial kita. Tiga puisinya pekan ini adalah seumpama upacara bersama, mengeksplorasi kenyataan yang kita alami dan bisa jadi banyak kita praktekan dalam cara pandang dan cara hidup yang banal.
Puisi Perempatan adalah puisi yang mesti jadi catatan khusus bagi semua pembaca untuk berefleksi. Bahwa setiap kali membaca puisi kita juga sedang melakukan re-kreasi dengan berbagai konteks dan situasi yang kita hidupi.