Oleh: Filmon Hasrin
Mahasiswa STFK Ledalero, Biro Diskusi PMKRI St. Thomas Morus Maumere
Setelah berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, banyak perubahan yang terjadi di pelbagai negara. Perubahan itu ditandai dengan adanya mesin-mesin canggih yang menggantikan aktivitas manusia. Mesin-mesin canggih itu lebih banyak digunakan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman dan bebrapa negara lain. Selain itu, banyak juga digunakan oleh negara-negara industri seprti Australia, China, termasuk Indonesia dan beberapa negara industri lainnya. Salah satu mesin yang paling banyak digunakan adalah robot.
Kita harus mengamini bahwa teknologi memang mempermudah dan mendukung guna memenuhi semua kebutuhan hidup manusia. Teknologi sudah terukir dalam pikiran manusia sebagai makhluk keterbukaan. Namun teknologi ini bisa mendatangkan kemelaratan, kesengsaraan, memacu pelanggengan sekalian penghapusan kerja keras dan terciptanya pengangguran.
Di Indonesia, selain robot, penggunaan mesin pemotong rumput semakin banyak begitupun mesin pengetam padi. Untuk industri rumah tangga sudah ada mesin cuci untuk pakaian dan piring. Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan perkembangan teknologi yang sedemikian pesat akan memengaruhi keterserapan tenaga kerja dalam industri dan berdampak terhadap peningkatan angka pengangguran. Lebih lanjut ia katakan bahwa Indonesia termasuk yang harus paling memikirkan dampak perkembangan teknologi karena pada 15 tahun ke depan jumlah penduduk bisa mencapai 280 juta jiwa, dan bisa bertambah lagi jadi 300 juta jiwa, Semarang (ANTARA News).
Bahayanya berdampak sangat besar terhadap masyarakat yang membutuhkan pekerjaan dan merupakan suatu pukulan telak bagi masyarakat yang tidak berpendidikan. Level pekerjaannya mereka sangat rendah dan tentu berbeda dengan mereka yang tamat sekolah atau yang berpendidikan. Sehingga beberapa pekerjaan seperti; mengetam padi, memotong rumput tidak bisa dieksekusi oleh mereka karena telah terisi oleh mesin pemotong rumput dan pengetam padi.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengklaim jumlah pengagguran Indonesia saat ini mencapai 5,5%. Data ini dikumpul sampai awal 2018, Selasa (27/2/2018). Itu artinya 94,5% yang mendapat pekerjaan. Bukan berarti pada titik ini kita berada dalam posisi kondusif. Namun, jika kita kembali menyimak apa yang disampaikan menteri keuangan, Sri Mulyani maka kita tengah dihantui oleh dampak perkembangan teknologi mesin. Apalagi jumlah penduduk semakin bertambah dan masih banyak masyarakat yang tidak berpendidikan. Karena itu mereka harus punya lapangan kerja yang sesuai dengan keadaan mereka saat ini.
Mungkin kita bisa menyimak apa yang terjadi di Amerika Serikat (AS) saat ini, di Amerika Serikat ada eksperimen yang mobilnya tidak pakai sopir, yang jelas kalau eksperimennya berhasil dan bisa dijual maka akan muncul mobil yang tidak punya sopir. Bagaimana dengan negara indonesia saat ini, seiring perkembangan mesin teknologi bersamaan dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah, tidak dimungkiri 15 tahun lagi mobil-mobil di Indonesia dijual tanpa memerlukan sopir.
Memang penggunaan mesin teknologi ini sedikit ambivalensi karena melahirkan hal positif dan negatif. Tetapi kita harus berani menukik lebih dalam dampak negatifnya, percuma kita menikmati barang-barang hasil produksi mesin teknologi toh eksistensi atau harga diri kita tunduk padanya. Belum lagi distir oleh pemilik modal (kapitalis) yang memiliki mesin industri tersebut, di situlah kita dipekerjakan secara tidak sehat. Buktinya angka kemiskinan di Indonesia sangat besar dan Indonesia digolongkan sebagai salah satu negara termiskin di dunia. Artinya tujuan muliah dari kapitalis untuk mensejahterakan kehidupan rakyat, sebagaian besarnya hanya sebagai ilusi semata.
Kebebasan
Sudah sangat kental, manusia tidak lagi berpikir dan bekerja keras karena telah digantikan mesin. Penghinaan dan pelecehan martabat dan kemampuan individu terus dilaksanakan lebih canggih dari “mesin canggih”. Terpaksa manusia harus mencocokan diri, merelakan diri diatur dan diperintah mesin. Lewis Mumford menjelaskan tentang peralihan kedudukan individu dalam masyarakat teknologis: mesin menjadi faktor dan manusia menjadi faktum.
Dari sudut kebebasan, kemandirian dan keutuhan diri, individu pada zaman teknologi ini sedang mengalami regresif dan ancaman daripada progresif dan harapan hidup dalam kebebasan. Individu tentunya telah kehilangan martabat sebagai pelaku utama menghasilkan mesin-mesin canggih. Potensi individu diboikot oleh mesin, martabat manusia dilecehkan dan kemampuannya direndahakan oleh benda yang punya kekuasaan tinggi. Kekuasaan dalam menguasi diri manusia. Individu menjadi mandek, gampang menyerah dan sekadar memberi tanggapan bila ada perintah dari mesin. Boleh dikatakan “mesin adalah sebuah benda mati dan tunduk buta pada kaidah dan sistem kerja yang sudah diprogramkan. Sementara manusia adalah mesin hidup yang dibekali akal budi dan berkat kemampuan berpikir ia mampu bertanya dan mempertanyakan, menerima dan menolak, turut atau melawan perintah.”
Solusi
Untuk mengatasi pengangguran ini, hemat saya yang paling penting ialah pertama, Membuat UU tentang batas pembuatan mesin teknologi. Tidak boleh memberikan kebebasan kepada pemerintah atau kaum kapitalis untuk mengadakan mesin secara berlebihan. Kedua, pemerintah atau kaum kapitalis harus mampu mengkritisi pekerjaan manusia, dalam arti pekerjaan mana yang sangat sulit dieksekusi oleh manusia baru bisa mengadakan mesin teknologi. Untuk pekerjan-pekerjan ringan tidak boleh menggunakan mesin karena itu bisa meninabobokan para pekerja. Ketiga, kita harus mampu memposisikan diri. Tidak boleh membiarkan diri diperintah oleh mesin. Teknologi sebenarnya tergantung intensi subjek yang memanfaatkan dan menguasainya.
Penerapan mesin teknologi tidak semuanya menjawab kebutuhan manusia. Manusia harus diberikan kebebasan untuk berjuang dan bekerja keras bukan dikerjakan oleh mesin. Dengan adanya kebebasan itu manusia mampu berpikir lebih dan berkreatif untuk mendatangkan segala apa yang perlu untuk kehidupannya. Kita hidup baik sejauh kita menghargai diri sendiri tanpa hidup di bawah tekanan seperti robot. Semakin manusia berjuang dan bebas untuk bekerja sesuai dengan lapangan pekerjaannya, di situlah ia menjadi manusia yang produktif. Manusia harus menolak intervensi mesin yang terlalu berlebihan supaya menghindari bahaya pengangguran.***