Maumere, Vox NTT-Ratusan pohon lontar (tuak) melambaikan daunnya saat kami sampai di Watugong, bagian utara Kota Maumere, Rabu (02/05/2018) pukul 10.00 wita.
Waktu tempuh dari Maumere, ibu kota kabupaten Sikka, kurang lebih 30 menit menggunakan mobil.
Sebelum beranjak ke titik kampanye, calon Gubernur NTT, Benny K Harman menyempatkan diri melihat langsung tempat produksi Moke tradisional Maumere yang terkenal hingga di kancah internasional itu.
Untuk bisa bertemu petani moke, mobil yang ditumpangi rombongan harus menyusup di antara pohon-pohon tuak yang usianya puluhan hingga ratusan tahun.
Petani tuak yang ada di tempat itu tampak kaget saat melihat BKH mendatangi mereka.
Mereka keluar dari pondok tempat pengolahan tuak satu per satu untuk menyalami BKH.
Di pondok berukuran 4×5 itu, pemilik kebun bernama Mustari (65) sedang sibuk memasak tuak.
Foto: BKH saat menjelaskan programnya dengan petani tuak
Anaknya yang keempat bertugas mengantar ember berisi tuak mentah dari pohon ke pondok produksi.
Tuak mentah itu kemudian diisi ke dalam periuk besar lalu dimasak hingga mendidih menggunakan sebuah tungku api.
Di atas periuk yang ditutup rapat itu, ada sebuah pipa bambu yang menghantar uap tuak ke sebuah jerigen.
Panjang pipa bambu ini sekitar 7 meter. Ujungnya diarahkan ke mulut jerigen penada yang ditanam di dalam tanah. Dalamnya sekitar 80 cm.
Foto: Jerigen penada tempat olahan moke tradisional Maumere ditampung
Tuak yang ada di dalam jerigen itu adalah moke jadi yang siap dijual ke pasar sedaratan Flores bahkan keluar daerah seperti Kupang, Makasar dan Pulau Jawa.
Dari kebuan tuak milik Mustari, menghasilkan 4 sampai 5 jerigen moke selama satu bulan. Jika dikonversi ke botol menghasilkan 50 botol dengan harga Rp.20.000 per botol. Sebulan Mustari bisa meraup 1 juta rupiah.
“Biasanya terjual semua pak. Sebulan kami bisa dapat 1 juta” kata ayah dari lima orang anak ini.
Foto: BKH saat meninjau langsung pengolahan moke di Sikka
Dari hasil jual moke, Mustari mengaku bisa membiayai dua anaknya yang sedang sekolah. Sementara, tiga anak lainnya sudah berkeluarga.
Butuh Perlindungan Hukum
Di balik gegap gempita bisnis moke di daerah ini, ternyata tidak berjalan mulus. Hal ini terkendala oleh perlindungan hukum yang masih lemah khususnya peraturan mengenai tata cara produksi moke.
Yunus Noce Fernandez, mantan anggota DPRD Sikka menyebut pada tahun 2013 lalu sudah ada peraturan daerah tentang moke. Namun perda tersebut hanya mengatur tentang tata cara minum, bukan produksi moke.
Lemahnya peraturan tentang minuman tradisional ini membuat produsen menjalankan bisnis penuh kehati-hatian. Begitu pula distributor dan konsumen, kerap mengonsumsi moke secara sembunyi-sembunyi.
Walaupun demikian, produksi maupun konsumsi moke sudah menjadi bagian dari budaya orang Sikka bahkan NTT pada umumnya.
Moke, sopi, laru dan sejenisnya sudah menjadi bagian dari ritual adat setempat. Begitu pula saat pesta sekolah, nikah, dan sambut baru. Bahkan saking dekatnya dengan masyarakat, moke di Maumere ibarat kopi di Manggarai. Belum bertamu namanya kalau belum disuguhkan secangkir moke.
“Itu tadi masalahnya pak, kita masih terkendala perlindungan hukum. Padahal kalau ditata dengan baik, moke bisa jadi bisnis yang menjanjikan” ungkap Yos Bajo, petani muda asal Watugong.
Mendengar keluhan para petani ini, BKH menawarkan produksi moke yang lebih berkualitas sesuai standar Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Jika menjadi gubernur NTT, mantan ketua komisi 3 DPR-RI ini akan mengeluarkan kebijakan khusus yang menjadikan moke bernilai ekonomis.
“Inikan heritage. Maksudnya cara produksi seperti ini hanya ada di Maumere. Karena itu tidak boleh punah” kata BKH.
“Kalau di Eropa ada wine, di Maumere ada moke yang diolah lebih modern lagi” tambah BKH.
Karena itu, BKH yang maju bersama Benny Litelnoni akan melindungi moke dan minuman tradisional lainnya dengan kebijakan khusus seperti perda.
“Supaya nanti usaha seperti ini bisa legal dan bapak-bapak ini tidak ditangkap polisi,” jelas BKH.
Selain itu, supaya minuman ini punya nilai ekonomis, pemerintah akan mendampingi petani tuak agar menghasilkan minuman yang berkualitas sesuai standar BPOM dan dinas kesehatan.
“Kita kan dimana-mana omong Balai Latihan Kerja (BLK). Nah, di sini nanti petani dilatih dengan ilmu dan teknik yang lebih modern lagi. Bisa jadi mokenya tidak satu rasa tapi bisa berbagai rasa seperti rasa apel, jeruk, anggur, dan lain-lain” jelas BKH.
Selain itu yang perlu dibenahi adalah soal kebersihan dan daya tahan moke (kadaluarsa).
“Kalau ini dibereskan maka minuman ini bisa bersaing dengan red label dan minuman Eropa lainnya. Kita ini kalau mau jadi provinsi pariwisata maka minuman lokal seperti ini juga harus bersaing di kancah internasional” tegas BKH.
Penulis: Irvan K