Kupang, Vox NTT- Organisasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Kupang St. Fransiskus Xaverius menggelar kegiatan Latihan Kepemimpinan Kader (LKK).
Kegiatan ini berlangsung sejak tanggal 7 sampai 12 Mei 2018, bertempat di Aula Kwarda Pramuka NTT dan diikuti anggota PMKRI Cabang Kupang, Maumere, dan Alor.
Untuk diketahui, Latihan Kepemimpinan Kader (LKK) merupakan pendidikan formal organisasi PMKRI. Anggota PMKRI biasanya mengikuti LKK setelah menjalankan pendidikan formal lain yakn; Masa Penerimaan Anggota Baru (MPAB) dan Masa Bimbingan (Mabim).
Ketua Panitia Pelaksana LKK, Filibertus Oswin Nua mengatakan, sebagai kaum muda yang menjadi harapan gereja dan bangsa, PMKRI mestinya secara cepat dan bijak untuk terus menepis arus negatif globalisasi.
Dampak negatif globalisasi bisa ditepis dengan cara memperkuat diri dan ikut terlibat dalam rutinitas organisasi.
Nua menegaskan, kaum muda yang menjadi agen of change mestinya menjadi garda terdepan untuk membangun kekuatan secara internal dan organisatoris untuk terus berproses menuju transformasi leadership.
Kekuatan agen perubahan bangsa bisa terwujud tentu saja salah satunya melalui pembinaan dan mengaktulisasikan diri dalam wadah pergerakan dan pembinaan kaum muda.
Menurut Nua, PMKRI Cabang Kupang membuka mata melihat segala persoalan yang telah terjadi pada masa kini dan yang akan datang dengan cara mempersiapakan diri menjadikan diri sebagai pemimpin visioner.
“Yang mampu membawa perubahan dan berpegang teguh pada prinsip kepemimpinan yang berintegritas, serta realistis demi terwujudnya bangsa dan gereja yang damai,” ujar Nua.
Ketua Presidium PMKRI Cabang Kupang, Markus Gani dalam pidatonya menyampaikan LKK merupakan pendidikan formal di tingkat cabang.
“Latihan Kepemimpinan Kader pada tahun 2018, Dewan Pimpinan Cabang mengangkat tema “Kemanusiaan, Keadilan dan Hukum” Mengapa demikian? Dengan adanya buruh migran yang ada di Nusa Tenggara Timur, DPC PMKRI Cabang Kupang melihat akhir-akhir ini, kasus buruh migran merupakan kasus yang kompleks,” ujar Gani.
“Untuk itu, persoalan fenomenal ini harus didiskusikan secara serius, kemudian memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada pemerintah untuk menyikapi persoalan ini,” lanjutnya.
Gani menambahkan, upah minimum regional yang naik 8,5% dari Rp 1.500.000,00 menjadi Rp 1.685.000,00, ternyata belum mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari warga di NTT.
Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyentil tentang kasus buruh migran di NTT.
Pada April 2018 sebut Gani, kasus kematian tenaga kerja Indonesia (TKI) mencapai 32 orang.
Menurutnya, PMKRI secara nasional maupun tingkat cabang harus menyikapi secara serius dan mendiskusikan persoalan tersebut dalam momentum LKK.
“Berbicara tentang human trafficking bukan saja kita berbicara tentang berapa banyak TKI yang meninggal, tetapi juga memperjuangkan berapa banyak upah kerja buruh,” tandasnya.
“Upah buruh kasar tiga puluh ribu hingga lima puluh ribu per hari dan kita kalikan dengan tiga puluh hari, tentu tidak mencapai upah minimum. Itu merupakan masalah kita bersama,” lanjut Gani.
Sementara itu, mewakili Anggota Dewan Penyatu (ADP) Siprianus S. Making dalam sambutannya mengatakan, menjadi anggota PMKRI wajib hukumnya membina diri.
Ia menegaskan, menjadi seorang kader berarti ada pengakuan dari orang lain, bukan diri sendiri.
“Tidak bisa karena saya bergabung di PMKRI mengikuti MPAB, MABIM, LKK, jadi, saya berbangga diri menjadi kader. Karena yang megakui anda kader adalah lingkungan sosial anda sendiri,” tegasnya.
Menurut Making, menjadi kader berarti mempunyai nilai lebih.
“Masing-masing kita punya nilai lebih yang harus ditonjolkan. Menjadi kader yang paripurna, apapun yang terjadi ia tetap emas, meski direndam dalam lumpur sekalipun,” imbuhnya.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Adrianus Aba