Oleh: Arischy Hadur*
Debat calon pemimpin daerah merupakan salah satu metode yang cukup sentral dalam skema perencanaan politik gagasan. Metode ini akan menyasar pada rasionalitas pemilih untuk menentukan gagasan kepemimpinan dan kepemerintahan yang paling sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Ini menjadi salah satu tujuan desentralisasi, yakni mendekatkan Negara pada kebutuhan msyarakat di aras lokal. Tanpa disadari, metode ini sebagai salah satu wadah penyalur kontrak gagasan, antara pemerintah dan masyarakat, antara pemimpin dan yang dipimpin, antara institusi demokrasi (baca: Partai Politik) dengan konstituennya, dan konsolidasi gagasan.
Seperti yang terjadi pada beberapa daerah lain, Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam rangkaian penyelenggaraan Pilkada Gubernur tahun 2018 pun menggunakan metode debat kandidat sebagai salah satu bagian rangkaiannya. Debat kandidat yang ke-2 yang digelar di Studio Inews Jakarta pada (8/5) kemarin, mengangkat tema Penataan Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi.
Tema Penataan Birokrasi menjadi sangat penting mengingat keberhasilan pemerintahan dalam penyelenggaraannya tidak terlepas dari tata organisasi pemerintahan (good organize government). Sedangkan korupsi, dalam studi Pemerintahan hanya merupakan salah satu bagian dari patologi birokrasi, yang juga tidak terlepas dari strategi penataan dalam konteks pengawasan internal dan eksternal pemerintahan. Sehingga bagi penulis, tema yang tepat adalah Patologi Birokrasi dan Strategi Penataannya.
Dengan demikian, panelis akan merumuskan berbagai macam bentuk patologi dalam konteks birokrasi di level Pemprov NTT, seperti spoil sistem (penempatan aparatur dan posisi jabatan yang tidak sesuai bidang), korupsi, Parkinsonion (Big Bureaucracy) atau struktur birokrasi yang gemuk/berlebihan, Orwellion (peraturan yang menggurita sebagai cara Negara mengekang kebebasan masyarakat) dan sebagainya (Sondang Siagian, 1994).
Review Gagasan Paslon
Terlepas dari pembahasan tema, adu gagasan antar Pasangan Calon (Paslon) Gubernur menjadi bagian yang cukup menarik. Secara garis besar, para Paslon mengkaji lebih banyak tentang Tata Kelolah Birokrasi yang Baik (Good Governance), Reformasi Birokrasi, Sistem Merit, reward dan punishment, serta reinventing government dan e- government dalam pelayanan publik.
Tema- tema ini diakui menjadi tema yang penting dalam kajian Ilmu Pemerintahan modern. Good governance merupakan konsep penataaan birokrasi yang memuat unsur transparansi, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, partisipasi, equility, sinergi, inovasi, dan lain- lain. Dalam debat kandidat ini, salah satu metode sentral untuk mendekatkan pemerintahan pada good governance adalah melalui Reformasi Birokrasi, Reinventing government (dalam konteks pelayanan publik) dan sistem merit.
Pasangan Nomor urut 1 (Esthon L Foenay- Christian Rotok) menggunakan seluruh konsep good governance dalam visi misi penataan birokrasinya yakni transparansi, akuntabilitas, responsif, equility, partisipasi, serta efektifitas dan efisiensi anggaran. Dalam konteks investasi dan perizinan, Eston- Chris kembali menekankan tentang transparansi unit perizinan, kepastian hukum, dan keterlibatan pemilik lahan dalam investasi.
Dalam menanggapi fenomena jual beli jabatan, pasangan Eston- Chris mengkampanyekan konsep platform jabatan yang melingkupi pendidikan, daftar urut kepangkatan, serta rekam jejak. Sedangkan dalam menanggapi pertanyaan pasangan nomor urut 4 (Viktor Bungtilu Laiskodat- Josef Nai Soi) tentang strategi sinergitas lintas pemerintahan, pasangan nomor 1 menegaskan tentang koordinasi, kerjasama terpadu, dan integrasi.
Pasangan nomor urut 2 (Marianus Sae- Emilia Nomleni) memperkenalkan konsep 2 Cita, yakni NTT berdaya dan NTT kerja dalam Visi Misinya, serta menekankan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas birokrasi. Dalam peningkatan kapasitas organisasi dan aparatur, pasangan ini menekankan pada sistem merit dengan konsep merit point sebagai indikator reward dan punishment pada aparatur, serta prinsip the right man on the right place dalam pengisian jabatan birokrasi.
Dalam konteks pelayanan publik, pasangan ini menawarkan penggunaan Standar Pelayanan Minimal (SPM), sistem pengaduan publik secara terbuka, serta pelayanan terpadu satu pintu. Menjawabi pertanyaan pasangan Nomor urut 1 tentang dana untuk membiayai Reformasi Birokrasi, pasangan Nomor urut 2 menegaskan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan meningkat seiring dengan terlaksananya Reformasi Birokrasi. Selain itu, peningkatan perekonomian masyarakat dan pemaksimalan BUMD juga akan menjadi modal peningkatan PAD dalam rangka membiayai Birokrasi.
Pasangan nomor urut 3 (Benny K Harman- Benny A Litelnoni) menekankan Birokrasi Profesional, akuntabilitas, dan transparansi dalam visi penataan Birokrasi. Hal ini ditempuh dengan reformasi kelembagaan melalui pembentukkan Unit Pelaksana Tugas (UPT), pembentukkan tim perencana reformasi birokrasi, reformasi mental (dilayani menjadi melayani), deklarasi anti suap, reformasi aparatur melalui lelang jabatan, insentif untuk prestasi ASN (rewarding), membentuk Standar Operasi Prosedural (SOP), serta merevisi Perda yang tidak mendukung reformasi birokrasi.
Dalam menanggapi masalah korupsi barang dan jasa, pasangan ini menekankan konsep sistem komunikasi dan informasi berbasis online dengan membentuk desk pengaduan online, membentuk tim perencana pemberantasan korupsi dan anti suap, serta menguatkan peran pengawasan atasan terhadap bawahan. Dalam konteks sistem merit berkeadilan gender, pasangan ini berkomitmen untuk membentuk sistem lelang jabatan yang tetap dalam konteks gender, tetapi tidak mengabaikan sisi profesionalitas. Sedangkan dalam menjawabi pertanyaan paslon nomor urut 2 tentang malpraktek pelayanan publik, paslon ini berpendapat bahwa setiap unit kerja harus memiliki SOP yang jelas agar tidak terjadi overlaping tugas, adanya jaminan kepatuhan (melalui aturan yang jelas, serta konsep pengaduan melalui hotline langsung.
Pasangan nomor urut 4 (Viktor Bungtilu Laiskodat- Josef Nai Soi),dalam visi penataan birokrasi dan penanganan korupsi menekankan pada visi birokrasi bebas KKN dan profesional melalui reformasi birokrasi dan peningkatan layanan dasar. Selain itu pasangan ini menekankan prinsip akuntabilitas, efektif dan efisiensi dalam unsur kelembagaan, tata laksana, perundangan, dan SDM.
Dalam konteks pengawasan, pasangan ini menegaskan bahwa pemimpin (Kepala Daerah) juga merupakan bagian dari pelayan, sehingga harus bisa juga dievaluasi. Dalam konteks peningkatan kinerja dan perbaikan sistem birokrasi, pasangan inimenggunakan konsep analisis jabatan dan beban kerja, pembentukkan SOP untuk memperjelas tupoksi dan domain kerja, serta rewarding dengan cara tambahan gaji bagi ASN. Dalam menjawabi pertanyaan pasangan nomor 3 tentang peningkatan kerja ASN, pasangan ini berpendapat bahwa birokrasi merupakan aset, dan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. ASN harus diarahkan pada pandangan berbasis kewirausahaan dengan membentuk sistem assesment centre.
Kontradiksi Konsep
Seperti yang telah diulas di bagian awal, hampir semua pasangan secara garis besar berbicara tentang Tata Kelolah Birokrasi yang Baik (Good Governance), Reformasi Birokrasi, Sistem Merit, reward dan punishment, serta reinventing government dan e- government dalam pelayanan publik.
Konsep- konsep ini merupakan hal baku yang dijalankan dalam pemerintahan, dan bahkan telah diatur di dalam regulasi perundangan diatas Peraturan Daerah (Perda) dalam hierarkis hukum. Misalnya, indikator reformasi birokrasi telah dirilis Direktorat Jendral Peraturan Perundang- Undangan Kemenkumham yakni; perubahan cara berpikir, penataan peraturan perundang- undangan, penguatan organisasi, penataan tata laksana, managemen SDM aparatur, penguatan akuntabilitas kinerja, serta kualitas pelayanan publik, dan juga diatur dalam Perpres No 81 tahun 2010 tentang grand desain Reformasi Birokrasi 2010-2025. Juga misalnya terkait pengawasan telah diatur dalam PP No 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintahan yang mengatur tentang pengawasan atasan terhadap bawahan dengan Inspektorat sebagai leading sectror di tingkat daerah.
Disini penulis ingin mengatakan bahwa konsep baku pemerintahan yang ada dalam debat Pilgub NTT ke 2 tahun 2018 merupakan praktek bernegara dan berpemerintahan yang sudah ada, lumrah, dan belum mampu menyelesaikan patologi birokrasi di Indonesia. Penulis menilai bahwa, kebanyakan gagasan yang dipaparkan tidak dalam konteks terobosan, tetapi mendalami konsep- konsep umum pemerintahan.
Sekalipun demikian, penulis mengapresiasi gagasan keberpihakan Paslon Eston- Chris akan keberpihakkannya terhadap pemilik lahan dalam syarat izin investasi, Konsep 2 Cita (NTT berdaya dan NTT kerja) milik Paslon Marianus- Emy, sistem e-government dari Paslon Benny K Harman- Litelnon, dan konsep mewirausahakan birokrasi (reinventing government) milik Paslon Viktor- Jos yang merupakan bagian dari inovasi birokrasi. Konsep- konsep besar ini secara umum sangat baik, namun tidak berarti kita mengabaikan cacat celah konseptual yang seringkali dikritik para ilmuwan sosial.
Pertama, dalam teori governance kita mengenal 3 pilar penting penyelenggara yakni negara, pasar, dan masyarakat. Dalam konteks NTT, Good Governance(GG) dalam prinsip transparansi dan akuntabilitas misalnya, memiliki kecendrungan dalam memproduksi data bagi pasar dan kelompok elite pemerintahan untuk menjual NTT sebagai daerah miskin. Keterbukaan ruang data perlu diantisipasi sebagai kampanye internasional agar memiliki ruang pantau terhadap potensi, celah regulasi, dan jalan masuk market.
Dalam hal ini, para paslon belum mampu memberikan terobosan yang meyakinkan publik bahwa asas akuntabilitas dan transparansi yang merupakan hasil reduksi teori liberal ini akan bergerak ke arah keberpihakan masyarakat. Jangan sampai kita terjebak dalam teori liberal, berikut jebakan pasar dalam pemanfaatan data pemerintahan. Transparansi dan akuntabilitas harus berparadigma evaluasi dan pembenahan. Selain itu, partisipasi dalam birokrasi pemerintahan provinnsi di NTT belum menemukan konteks. Yang perlu diciptakan adalah sistem partisipasi yang buttom up, bukan sekedar political will kepala daerah maupun fenomena elite capture. GG harus dikonsepsikan sedari sistem, bukan pada juklak- juknisnya.
Kedua, Reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi yang digagas paslon banyak menjelaskan tentang standar operasional, kepatuhan, pengawasan internal dan beragam hal lainnya. SOP dan kepatuhan perlu disadari berpotensi mengkerdilkan inovasi, menumbuhkembangkan mental “asal bapak/ibu senang”, serta menghidupi birokrasi sebagai robot yang hidup.
Terobosan dan inovasi tidak akan berkembang di dalam kultur birokrasi yang demikian. Siagan (1996) berpendapat bahwa formalisasi birokrasi akan menyebabkan biropatologi. Padahal, birokrasi diproyeksi untuk berorientasi pada target pelaksanaan visi dan misi. Kritik terhadap Birokrasi Rasional Weberian yang juga menjadi kontain reformasi birokrasi adalah Weber gagal menempatkan manusia sebagai subyek dalam birokrasi, yang tidak luput dari impersonal akan lingkungannya. Sehingga konsep birokrasi weberian adalah tidak nyata dan tidak pernah terjadi sebagai sistem yang utuh.
Seharusnya, birokrasi tidak sekedar berpatok pada standar dan kepatuhan, tetapi birokrasi harus lepas dari belenggu atasan bawahan dengan mengedepankan asas kemitraan antar- aparatur, lintas OPD, maupun lintas level pemerintahan (government to government) serta membentuk sistem relasi antara birokrasi, pasar, dan Civil Based Organization sebagai basis sosial masyarakat dalam mengakomodir kepenntingannya.
Ketiga, Sistem Merit. Sistem Merit beberapa kali disebut oleh paslon- paslon dalam debat kandidat ini. Sistem merit merupakan pengisian jabatan dengan berbasiskan pada profesionalisme/ keahlian. Dalam birokrasi, merit sistem sangat dekat dengan proses rekrutmen aparatur, mutasi, dan promosi jabatan yang juga mengenal senioritas birokrasi (kepangkatan). Disini, konflik senioritas dan keahlian berpotensi terjadi, karena dalam banyak kasus, pejabat birokrasi hanya memiliki salah satunya.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa sistem merit merupakan produk ilmu administrasi negara yang mengabaikan dimensi politik dalam birokrasi. Kepala Daerah merupakan jabatan politik, sehingga akan sangat sulit untuk menjauhkan dimensi politik dari sistem merit. Ini merupakan problem yang sangat sulit diatasi sejauh jabatan kepala daerah masih melalui proses elektoral.
Untuk itu, Pemerintah harus komit bahwa proporsi kriteria pengisian jabatan birokrasi lebih pada pendekatan profesionalitas atau senioritas. Selain itu, metode lelang jabatan pun harus didasari pada analisis prestasi aparatur dengan mengukur keberhasilan program , bukan mengikuti metode layaknya ujian nasional.
Keempat, sistem pengawasan internal. Beberapa Paslon dengan begitu mudah menyebutkan pengawasan internal pemerintahan merupakan jawaban akan penyimpangan penyelenggaraan pemerintahan. Pengawasan internal pemerintahan dengan Inspektorat sebagai leading Institusinya masih cukup dipertanyakan.
Kompas (3/12/14) merilis data bahwa pada tahun 2011, hanya 7 provinsi dan 96 kabupaten Kota yang memiliki kerangka kerja operasional pengendalian. Selain disfungsi kelembagaan, secara konseptual, terdapat kritikan terhadap asas pengawasan atasan terhadap bawahan yang menjadi asas pengawasan internal. Bagaimana mungkin inspektorat sebagai bagian dari OPD melakukan pengawasan terhadap kepala daerah? Pengawasan atasan terhadap bawahan pun merupakan wujud otoritarianisme birokrasi. Dalam konteks ini, bukan menjadi domain kewenangan Gubernur untuk merubah peraturan ini. Minimal, para paslon telah melihat ini sebagai celah yang patut diperkuat dalam visi- misi penataan birokrasinya dengan menanamkan kultur kemitraan aparatur dalam melakukan pengawasan internal pemerintahan.
Patologi birokrasi lainnya yang tidak sempat muncul dalam perdebatan ini adalah Parkinsonion (Big Bureaucracy) atau struktur birokrasi yang gemuk/berlebihan. Patologi ini akan sangat kontradiksi ketika para paslon berbicara tentang kesejahteraan ASN, karena Parkinsonion akan diselesaikan dengan righsizing organisasi, yakni dengan membentuk struktur organisasi yang miskin struktur dan kaya fungsi. Konsekuensi logisnya akan munculnya begitu banyak pemangkasan posisi, bahkan sampai pada kebijakan moratorium aparatur.
Penataan Birokrasi di NTT memerlukan gagasan yang melampaui batas “biasanya”. Penulis juga tidak ingin memungkiri bahwa selain desentralisasi, pemerintahan provinsi menganut sistem dekonsentrasi, yakni kewenangan pemerintah pusat yang dikerjakan oleh pemerintah daerah. Kita memahami bahwa jabatan gubernur juga dirumuskan sebagai Pemerintah Pusat yang ada di daerah. Konsekuensinya adalah adanya mandat langsung kewenangan, yang memungkinkan pemerintah provinsi dalam beberapa hal, hanya dalam kapasitas melaksanakan (bukan mengatur dan melaksanakan). Dalam hal ini, Pemprov memiliki batasan kewenangan dalam penataan birokrasi dan memerangi patologinya.
Sayangnya, panelis juga belum merumuskan pertanyaan penuntun yang menghubungkan penataan birokrasi terhadap penyelesaian permasalahan real masyarakat NTT, sehingga Paslon pasti akan lebih banyak berbicara strategi ketimbang tata pemerintahan. Padahal bagi Hegel, birokrasi adalah institusi yang menduduki posisi organik yang netral dalam struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara negara yang memanifestasikan kepentingan umum dan masyarakat sipil yang mewakili kepentingan khusus dalam masyarakat (Sulistio& Budi, 2007:07).
*Penulis Aktivis PMKRI, Penggiat Desa dan Pemerintahan Daerah