Bajawa, Vox NTT- Meski Kapolres Ngada AKBP Firman Affandy membantah tindakan anggotanya, namun Kapolsek Soa Ipda Wio Aloysius masih menyampaikan permohonan maaf kepada kakek Hendrikus Jehurut (60).
Dilaporkan sebelumnya, oknum polisi yang bertugas di Polsek Soa bernama Kamelus Tokan diduga telah melakukan tindakan tak senonoh dengan cara menelanjangi Hendrikus Jehurut, seorang kakek asal Desa Uluwae I, Kecamatan Bajawa Utara, Kabupaten Ngada.
Kejadian itu dilaporkan terjadi di ruang tahanan Polsek Soa pada Kamis, 31 Mei 2018 lalu.
Dugaan penyiksaan ini telah dibantah oleh Kapolres Firman. Bahkan ia menyatakan dugaan tindakan tak senonoh Kamelus Tokan kepada Kakek Hendrikus sebagaimana telah diberitakan sejumlah media massa adalah bohong karena tidak benar.
Baca Juga: Kapolres Ngada Bantah Anggotanya Telanjangi Kakek Berumur 60 Tahun
Namun demikian, Kapolsek Soa Ipda Wio Aloysius tetap menyampaikan permohonan maaf.
Proses permohonan maaf Kapolsek Aloysius berlangsung di Polsek Soa pada Senin kemarin, 4 Juni.
Beberapa pihak hadir dalam proses permohonan maaf tersebut.
Mereka ialah Kakek Hendrikus Jehurut dan kuasa hukumnya Yohanes Berachmans Ropa Cardoso, Ketua Asosiasi Wartawan Ngada Emanuel Djomba, Ketua AMPERA Ngada Yohanes Donbosko Ponong, staf pemerintah desa (PMD) kecamatan Bajawa Utara, dan 43 warga dusun Alowulan Desa Uluwae I.
Kapolsek Aloysius mengaku, sampai dengan saat ini dirinya belum mengetahui perbuatan anggotanya Kamelus Tokan terhadap Kakek Hendrikus.
Dia mengaku kaget setelah membaca berita di media online vigonews.com dan VoxNtt.com yang link-nya dikirim lewat pesan WhatsApp oleh Kapolres Ngada.
Baca Juga: Oknum Polisi di Ngada Diduga Telanjangi Seorang Kakek dalam Tahanan
Setelah membaca berita tersebut, dia benar-benar merasa terpukul dan kecewa dengan perilaku anggota yang melakukan tindakan kepada masyarakat tanpa ada komunikasi dengan pimpinan lembaga.
“Yang dilakukan oleh pak Tokan itu tindakan pribadinya sendiri, bukan atas persetujuan polsek secara kelembagaan. Mungkin di sisi lain juga, yang dilakukan oleh oknum polisi tersebut ingin menjatuhkan saya sebagai Kapolsek,” ujar Kapolsek Alyosius dengan nada kesal.
Kapolsek yang tinggal dua tahun lagi memasuki masa pensiunnya itu mengatakan, Kepolisian adalah mitra masyarakat. Dia sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Dalam setiap apel dan rapat internal di Polsek Soa, dia sendiri selalu mengingatkan kepada anggota agar meletakan harga diri dan martabat manusia di atas segala-galanya. Martabat manusia yang paling pertama dan utama.
Ternyata, kata Kapolsek Aloysius, semua peringatan itu diabaikan oleh anggotanya.
Dia menilai, kejadian pada 31 Mei 2018 lalu yakni dua oknum Polsek Soa atas nama Fery Ta’a dan Kamelus Tokan menjemput paksa Hendrikus Jehurut di Desa Uluwae I dan menjebloskannya ke dalam tahanan selama 3 jam, kemudian ditelanjangi hanya tinggal celana kolor merupakan tindakan tidak manusiawi.
“Yang dilakukan oleh anggota kami terhadap bapak Hendrikus, saya ingin menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada bapak Hendrikus dan semua keluarga besar di Desa Uluwae I,” kata Kapolsek Aloysius.
Sementara itu, Ketua AMPERA Ngada Yohanes Donbosko Ponong yang mengadvokasi tindakan arogansi aparat kemananan terhadap Hendrikus Jehurut meminta agar aksi yang dilakukan oleh oknum aparat Polsek Soa bernama Kamelus Tokan tersebut tidak boleh terulang lagi kepada warga masyarakat yang lain.
“Saya banyak mendapat informasi di Dusun Alowulan Desa Uluwae I bahwa oknum polisi yang satu ini selalu menggunakan jabatan polisi untuk teror, intimidasi dan tindakan sewenang-wenang kepada rakyat kecil, kaum lemah dan terpinggirkan,” ujarnya.
Mantan Sekjend PMKRI Cabang Ende ini menguraikan bahwa, program Anggur Merah yang diluncurkan oleh Pemerintah Provinisi NTT adalah program untuk mensejahterakan rakyat dengan sistem simpan pinjam dengan bunga 1% setiap bulan.
Peminjaman itu, kata dia, akan dikembalikan pokok tambah bunga selama setahun.
Pada saat pinjaman awal sudah sekalian dipotong dengan bunga 1% selama setahun.
“Contoh kelompok bapak Hendrikus Jehurut ini besar pinjaman Rp 3.125.000, potong bunga 1% selama setahun Rp 375.000. Jadi mereka tinggal terima Rp 2.750.000. Dan pada saat pengembalian 12 Oktober 2018 mereka tetap kembali Rp 3.125.00. Terus penggelapannya di mana?, semantara sekarang baru bulan Juni,” tanya Bosko.
Bosko menambahkan, tindakan polisi di era reformasi mesti berbeda dengan di rezim orde baru.
Jika polisi itu pengayom dan pelindung masyarakat, maka harus memberikan yang terbaik dalam pelayanan dan mengedapankan aspek kemanusiaan.
Dalam diri polisi saat ini tidak boleh ada fosil-fosil orde baru.
Tunjukan pengabdian polisi yang reformis, karena sudah ada Undang-undang yang mengatur tentang reformasi birokrasi Kepolisian.
“Orang yang korupsi miliar rupiah saja tidak ditelanjangi. Ini hanya masalah Anggur Merah yang masih sifatnya asas praduga tak bersalah kok hukumannya sangat tidak manusiawi. Jangan sampai pak Tokan ada konspirasi dengan bendahara Anggur Merah Ragina Lihing,” tegas Bosko.
Senada dengan itu, Kuasa hukum Kakek Hendrikus, Yohanes Berachmans Ropa Cardoso mengatakan, setiap tugas Kepolisian mesti memperhatikan aspek prosedural.
Pemeriksaan, jemput paksa dan penangkapan seseorang mesti memperhatikan rujukan aturan dan dibuat dalam bentuk surat pemberitahuan agar pihak keuarga bisa mengetahuinya.
Aparat penegak hukum juga mesti harus memperhatikan hak-hak hukum seseorang.
Sebab seseorang yang sudah statusnya terdakwa atau terpidana masih memiliki hak-hak hukum yang mesti dilindungi.
“Apalagi kasus Anggur Merah ini yang masih sifatnya praduga tak bersalah,” ujar Mans Cardoso.
Menurut Mans yang juga mantan aktivis PMKRI Cabang Ende ini, dalam manangani persoalan Anggur Merah pihak kepolisian mestinya tidak boleh melakukan intervensi yang terlalu jauh.
Jika memperhatikan Undang-undang administrasi Negara, kata dia, dana Anggur Merah akan dilakukan audit internal oleh pihak pemerintah dalam hal ini inspektorat.
Dalam audit itu ternyata ditemukan penyimpangan. Sebab itu, kepada anggota kelompok Anggur Merah diberikan waktu selama tiga puluh hari untuk melunasinya.
Jika dalam waktu tiga puluh hari anggota tersebut lunas, maka tidak bisa dilimpahkan ke penegak hukum.
“Kalau misalnya sudah lebih dari tiga puluh hari belum bayar, baru auditor pemerintah melimpahkan kepada pihak Kepolisian atau Kejaksaan,” ujar Mans Cardoso.
Akhir dari rapat mediasi ini disepakati dua hal pertama, sampai dengan saat ini Polsek Soa secara kelembagaan belum meregistrasi kasus Anggur Merah dari Desa Uluwae I.
Kedua, meminta kepada Polres Ngada agar bisa terus memeroses hukum oknum polisi Kamelus Tokan sesuai dengan Undang-undang kode etik Kepolisian.
Penulis: Arkadius Togo
Editor: Adrianus Aba