Oleh Inosentius Mansur *
Eksistensi para figur calon pemimpin (selanjutnya disebut figur) dalam pesta demokrasi amatlah strategis. Mereka menjadi “magnet” elektoral yang memiliki daya pikat politis. Maka tidak heran jika kelebihan dan kekurangan mereka acapkali diviralkan, dieksploitasi dan ditematisasi seturut selera publik.
Efeknya, rakyat tersegmentasi dan terfragmentasi bahkan menjadi kelompok politik partisan. Hal seperti ini berpotensi menyebabkan rakyat terpolarisasi dalam framing sosial. Rakyat dikapling-kapling dan terbelah: mendukung figur yang satu dan menolak figur yang lainnya. Diskursus seputar demokrasi elektoral pun seakan-akan hanya berkaitan dengan figur saja. Dengan kata lain, merekalah (baca: figur) yang menjadi sentral dalam perhelatan elektoral.
Problem
Menurut saya, sentralisasi diskursus elektoral pada figur saja merupakan problem dalam demokrasi. Dikatakan demikian, karena yang mestinya diutamakan dan dipresentasikan kepada publik adalah gagasan-gagasan konstruktif. Namun yang terjadi adalah pengkultusan terhadap figur.
Rakyat (hanya) dihipnotis untuk menggenjot daya elektoral setiap figur. Rakyat digunakan sebagai kekuatan politik untuk memperkokoh agenda seting tertentu. Rakyat digiring agar “tergila-gila” dengan figur yang satu dan diindoktrinasi agar membenci figur yang lainnya. Rakyat tidak menjadi entitas kritis untuk menantang visi dan misi politik setiap figur lewat kritik dan pemikiran solutif. Rakyat “didoping” agar “kecanduan” dengan para figur itu. Figur dinarasikan sedemikian hebat atau juga sedemikian jelek. Hal seperti ini mengakibatkan rakyat menentukan pilihan hanya sesuai narasi itu dan bukannya sesuai elaborasi rasional terhadap setiap figur.
Efeknya setiap figur tidak diharuskan untuk lebih profesional: menguasai persoalan-persoalan publik secara komprehensif, detail dan agar sanggup mendesain program-program solutif. Mereka juga tidak ditantang agar mampu mengelola setiap konflik sosial sehingga tidak menyebabkan destabilisasi. Para figur kini menjadi pusat perhatian dan bermetamorfosis menjadi “dewa” baru dalam politik elektoral. Hal-hal yang berkaitan dengan figur seperti asal-usul, manuver dan identitas (agama dan suku) menjadi referensi dalam diskursus. Sementara komitmen mereka dalam menciptakan kebaikan bersama diabaikan. Bahkan ada hal-hal privat yang mestinya tidak boleh dipublikasikan, justru menjadi santapan empuk publik.
Ini merupakan pemandangan tidak elok dalam perhelatan elektoral. Pada akhirnya, rakyat dikanalisasi sehingga keterlibatan elektoral mereka dibatasi pada usaha untuk mendukung atau menolak figur, tanpa disertai alasan dibalik itu.
Melampaui Figur
Pelibatan rakyat pada momentum elektoral yang terbatas (dibatasi) pada figur saja menyebabkan sebagian rakyat berpikir bahwa kontestasi elektoral adalah tentang figur saja dan bukannya tentang kontestasi yang cerdas, ugahari dan tentang bagaimana cara menciptakan kesejahteraan sosial.
Platform, ideologi dan aspek-aspek solutif tidak lagi diselami secara mendalam. Terobosan-terobosan restoratif yang termanifestasi dalam program dan tindakan transformatif liberatif dieliminasi. Kesanggupan setiap figur dalam merancang implementasi, menciptakan sinkronisasi dan kontektivitas programnya tidak lagi menjadi hal penting.
Karena itulah kita berharap agar rakyat tidak diperangkap dalam agenda politik denalaritatif. Selera politik jangka pendek mesti disingkirkan. Rakyat harus diberi ruang untuk mengkritisi agenda setiap figur. Demokrasi elektoral bukanlah ajang untuk mendapatkan posisi semata, tetapi saat tepat untuk memilih figur solutif. Karenanya, demokrasi elektoral mesti memproduksi perdebatan-perdebatan yang mengerucut pada konstruksi kekuasaan sesuai harapan rakyat. Dengan demikian, pemberian ruang dan kebebasan kepada rakyat untuk mendalami program setiap figur dalam mengatasi persoalan-persoalan sosial adalah hal niscaya.
Sampai di sini, mesti ada kesadaran kolektif bahwa pentas elektoral bukanlah kontestasi para figur saja, tetapi juga kontestasi cara berpolitik yang edukatif. Rakyat tidak hanya dibatasi untuk memilih figur. Rakyat mesti diajarkan untuk menjadi pelaku politik etis yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam menyukseskan dan melahirkan kontestasi elektoral yang berbobot. Kontestasi elektoral juga mesti menjadi momentum kontestasi gagasan-gagasan konstruktif. Itu berarti bukan hanya parade para figur, tetapi juga parade gagasan-gagasan politik dalam membangun, menata, mengelola serta memajukan bangsa dan daerah. Dengan demikian, rakyat dibantu untuk menginventarisasi dan mencermati program-program unggulan, efektif dan kontekstual dari setiap figur.
Di sini, elite politiklah yang berperan penting. Elite politik harus selalu membuka cakrawala publik dengan mengusung tema-tema liberatif. Elite politik tidak boleh menjadi mafia elektoral dengan membohongi rakyat sehingga hanya memahami kontestasi elektoral sebagai kontestasi figur saja. Jangan mengarahkan rakyat untuk mengidolakan ataupun membenci figur demi orientasi politik. Arahkanlah rakyat untuk sama-sama memikirkan kepentingan bersama.
Di sini, rakyat perlu dihargai sebagai person yang memiliki otoritas, kehendak dan kebebasan dalam menentukan keputusan elektoral. Sentilan Reichmann dalam bukunya Philosophy of the Human Person (1985) perlu direfleksikan. Dikatakanya bahwa manusia mampu mengontrol dan mengatur kehendaknya lewat pilihan-pilihan dan keputusan. Merupakan sebuah imperatif agar setiap manusia dihargai sebagai person yang mampu mencari dan menentukan kebenaran dalam hidupnya.
Demokrasi elektoral bukanlah tentang siapa yang memimpin, tetapi terutama tentang rakyat yang mengutamakan dialeketika akal dan hati nurani dalam membuat keputusan dan menentukan pilihan yang tepat yang ia yakini sebagai kebenaran. Rakyatlah yang menentukan pilihan lewat “diskursus” nurani.
Dengan demikian, konstruksi agenda dan diskursus elektoral merupakan artikulasi dari apa yang dialami, dirasakan dan diharapakan rakyat. Jangan sampai paradigma pragmatik dengan pendekatan makro hegemonik-kapitalis yang terungkap dalam pengkulutusan terhadap figur amat kuat mewarnai perdebatan elektoral lantas menyingkirkan aspek-aspek mikro yang justru sesuai dengan harapan rakyat.
Alangkah disayangkan jika elite politik memperalat rakyat agar mengidolakan figur tanpa memperhatikan aspek-aspek yang lebih esensial. Keikutsertaan rakyat dalam agenda elektoral tidak boleh dibatasi pada diskursus tentang figur saja. Lebih dari itu, rakyat perlu dilibatkan dalam usaha menciptakan kebaikan bersama sesuai cita-cita Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Diskursus elektoral mesti melampaui figur, betapapun figur itu memiliki kecapakan dan elektabilitas. Jika terjebak dalam diskursus tentang figur saja, bukan tidak mungkin kalkulasinya akan mengutamakan kepentingan segelintir orang. Figur pun menjadi pintu bagi masuknya virus-virus destruktif dan bukanya menjadi tokoh yang merancang agenda-agenda kerakyatan. Rakyat mesti menjadi entitas berwawasan kebangsaan serentak merasa bertanggung jawab bagi kemajuan demokrasi. Hanya dengan itu, kontestasi elektoral memperlihatkan konsep dan praksis elektoral yang melampaui figur. Kontestasi elektoral kita pun menjadi lebih bermutu.
* Pemerhati sosial-politik dari Ritapiret, Maumere – Flores – Nusa Tenggara Timur