*Islam dan Katolik berasal dari rahim yang sama
Larantuka, Vox NTT- Jumat siang (15/06), ada yang berbeda di desa Honinghama (sebutan untuk desa Tua Goe Tobi), salah satu desa di Witiama, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur.
Ribuan warga dari anak-anak, orang muda, dan orang tua berbusana Kebaya, Kewatek dan Nowi (pakaian adat), berbaris sepanjang lorong menuju Kantor desa setempat.
Rupa-rupanya siang itu penduduk desa setempat merayakan perayaan Idul Fitri bersama.
Warga setempat terbentuk dalam dua rombongan besar. Keduanya yakni rombongan warga yang beragama katolik dan rombongan warga beragama islam.
Umat katolik berkumpul di depan Kapela Ludovikus (Kapela setempat). Sedangkan rombongan umat muslim berbaris sepanjang lorong menyambut rombongan umat katolik.
Dari titik awal penyambutan di buat semacam gapura yang dihiasi oleh jalur kuning.
Umat katolik disambut oleh warga umat muslim yang berbaris sepanjang lorong menuju kantor desa Honinghama.
Pada pintu masuk halaman kantor desa, umat katolik disambut oleh ustad dan kepala imam masjid desa setempat.
Diungkapkan Maksimus Masan Kian, acara halal bil halal dengan tema “Dengan Semangat Idul Fitri 1439 H, bersama kita wujudkan Kerukunan Antar Umat Beragama dan Kerukunan Umat Beragama Dengan Pemerintah Menuju Lewotana Yang Aman dan Damai” merupakan acara rutin tahunan yang selalu dilakukan oleh masyarakat desa setempat.
Hal itu sebab sudah diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka.
Diceritakannya agama islam dan agama katolik di desa Honinghama, disebarkan oleh dua orang bersaudara yang merupakan dua anak dari keturunan bangsawan atau anak tuan tanah desa setempat, yakni Ama Kia Beda dan Ama Horon Tewa.
Ama Kia Beda menyebarkan agama katolik dan Ama Horon Tewa menyebarkan agama islam.
“Di sini, di Honinghama tidak ada sekat antara umat katolik dan umat muslim. Kami berasal dari satu rahim yang sama. Islam dan katolik di sini bersaudara. Kakak dan adik. Acara ini merupakan tradisi yang selalu kami lakukan karena sudah diwariskan secara turun-temurun. Acara ini selalu dilakukan tiap tahun dengan tema yang berbeda sesuai kondisi yang dihadapi oleh masyarakat setempat dan situasi negara Indonesia,” ungkap Maksi.
Saling menyapa, bersalam-salaman, dan pelukan menghiasi acara kebersamaan itu.
Sambil warga bersalam-salaman, warga dihibur dengan nyanyian bernuansa islami, nyanyi-nyanyian daerah dan seruan persaudaraan dari pangung utama.
Setelah selesai penyambutan barulah acara ramah tamah dimulai dengan pembacaan tata acara, sambutan-sambutan, dan isi acara.
Banyak acara yang dikemas untuk menceriakan suasana di siang itu. Ada pembacaan puisi dari orang muda, tarian Cindei, dan tarian Dani dana.
Acara ditutup dengan soleh (tarian khas adat Adonara).Terik matahari disiang itu tidak mematahkan semangat warga setempat dalam acara kebersamaan itu.
Sunguh indah susana persaudaraan yang terjalin antara umat katolik dan islam di siang itu.
Banyak pesan moral yang dipetik dari perayaan kebersamaan Idul Fitri di desa Honinghama.
Rangkaian aksi terorisme melalui serangan bom bunuh diri, berkembangnya paham radikalisme, dan berkembangnya isu SARA yang memecah belah kehidupan berbangsa dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia menjadi keprihatinan warga di desa Honinghama.
Hal ini diungkapkan oleh Yohanes Kopong Lama Tokan, Kepala Desa Honinghama.
Diungkapkan Kopong Tokan, salah satu kunci untuk menjaga kerukunan antar umat beragama adalah dengan jalan memperkuat ketahanan ibadah. Selain itu tekun menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing.
“Kita harus tekun dalam menjalankan tugas ibadah baik Katolik maupun Islam sehingga umat dapat memiliki ketahanan iman yang kuat. Jika ketahanan iman tidak kuat maka akan mudah dipengaruhi oleh paham-paham radikal yang memecah belah persatuan antar umat beragama,” tegas Kopong Tokan.
Kesuksesan acara halal bi halal ini tidak lepas dari keterlibatan seluruh warga dan pemerintah desa setempat. Kerja sama dan semangat gotong royong adalah kuncinya.
“Dimulai dari pembuatan tenda atau panggung, hingga hidangan makanan untuk makan siang disumbangkan secara suka rela oleh warga. Snack ringan yang disiapkan ini juga adalah pemberian secara suka rela dari warga sesuai dengan kemampuan tiap kepala keluarga (KK). Dari segi pendanaan, pemerintah desa (Pemdes) menyumbangkan 2 juta rupiah. Sumbangan Pemdes ini berlaku juga untuk hari raya keagamaan Katolik, misalnya pada masa Natal dan Paskah. Semua iniberkat kerja sama dansemangat gotong royong dari warga,” ungkap Kopong Tokan.
Penulis: Sutomo Hurint